Konten dari Pengguna

Ritual Marapu di NTT, Upacara Adat untuk Kematian dan Penguburan Orang Meninggal

Alfonsinamelsasail
Kelana dulu. Perihal cerita, kita bagikan nanti!
26 September 2023 5:52 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfonsinamelsasail tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumentasi pribadi. Kuburan megalitikum di kampung adat Rende
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumentasi pribadi. Kuburan megalitikum di kampung adat Rende
ADVERTISEMENT
Kampung Adat Prailliu, Sumba Timur, NTT, Agustus membuka banyak pintu bagiku untuk melihat sisi lain dari kematian yang dirayakan atau diupacarakan layaknya merayakan kelahiran. Aku mendalami bagaimana masyarakat adat melakukan ritual kepercayaan melalui diskusi dengan bapa Raja dan beberapa penduduk lokal yang melengkapi dan membungkus kesimpulan cerita kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Ritual ini dalam bahasa yang mungkin akan lebih muda dipahami oleh kami sebagai orang awam yang tidak begitu mengenal istilah kepercayaan marapu secara menyeluruh.
Bulan agustus kemarin aku berangkat ke Sumba Timur untuk turut serta dalam kegiatan pengabdian masyarakat dengan salah satu komunitas sosial. Sebagai anak perempuan yang lahir dan dibesarkan di daerah timur Indonesia, aku tidak berekspektasi apa-apa, dan bahkan aku tidak merasa akan ada perbedaan yang signifikan antara budaya di Maluku dan yang ada di Sumba.
Aku hanya berangkat dengan tujuan ingin berbagi apa yang aku dapat di tanah Jawa dengan adik-adik di timur sehingga mungkin bisa memotivasi mereka untuk terus semangat belajar dan mengejar mimpi.
Rasa ini timbul karena jika kuamati dari beberapa daerah timur yang sudah sempat aku kunjungi, kutemui bahwa tidak banyak perbedaan budaya atau makanan, serta ritual dengan budaya timur di daerah asalku.
ADVERTISEMENT
Namun siapa sangka bahwa daerah timur yang satu ini sungguh berbeda, mulai dari budaya, ritual, dan kepercayaannya sangat berbeda dengan adat istiadat yang ada dan yang pernah kujumpai.
Salah satu yang sangat unik dan menarik perhatianku adalah kepercayaan marapu, di mana salah satu ritualnya adalah merayakan dan mengadakan upacara untuk kematian dan penguburan, orang mati kok dirayakan? Begitulah kira-kira yang muncul di benakku ketika kugali sedikit cerita budaya daerah cantik dan indah dengan perbukitannya yang memukai ini.

Mereka Tidak Pergi Begitu Saja

Sumber: Dokumentasi pribadi. Tempat yang digunakan untuk sembayang, tidak boleh diinjak atau dipegang
Merayakan orang yang berpulang merupakan salah satu budaya yang ada di Sumba Timur, dan budaya ini disebut dengan kepercayaan Marapu, berdasarkan sumber cerita yang saya dapatkan dari salah satu penduduk desa adat Rende.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan ini sudah diakui oleh negara sebagai salah satu kepercayaan kecil yang bisa dicantumkan di KTP oleh penganut kepercayaan tersebut. Kepercayaan marapu sendiri merupakan terhadap leluhur-leluhur yang telah mendauluhi dan meninggalkan budaya yang harus dihidupkan oleh semua keturunannya yang masih terus menetap di dunia “manusia”.
Kepercayaan ini 60% lahir dari budaya yang sudah ada sejak awal, serta diwarnai oleh ritual dan adat. Sama halnya dengan agama yang kita anut di Indonesia, kepercayaan Marapu ini adalah pegangan masyarakat adat di kampung-kampung adat yang ada di Sumba Timur.
Walaupun jelas kebanyakan orang Sumba sudah memeluk agama yang awalnya diwajibkan oleh negara, tetap saja kepercayaan ini masih sangat melekat dan dihidupkan berdampingan dengan agama yang dipeluk.
ADVERTISEMENT
Memberi sesajen untuk leluhur, meminta pertolongan, ketenangan, dan kenyamanan dalam menjalankan hidup adalah sebagian kecil dari beragam ritual yang dilakukan oleh masyarakat adat, dalam hal ini agar tetap menjaga budaya dan kepercayaan yang mereka pegang. Salah satu ritual yang bisa dibilang menjadi ritual atau perayaan adat besar dari kepercayaan marapu adalah perayaan atau upacara adat kematian dan penguburan.
Kematian artinya mengakhiri kehidupan mereka di dunia manusia, maka dari itu menurut kepercayaan masyarakat sangat perlu untuk dirayakan “hari terakhir” mereka dengan adat istiadat yang “layak” untuk menghargai perjalanan hidup selama di dunia.
“Kami percaya bahwa apapun yang kami lakukan untuk merayakan upacara kematian atau penguburan adalah bagaimana kami memberi bekal, persediaan untuk menyertai jalan orang yang berpulang ini menuju Tuhan, hal inilah kenapa tidak boleh melakukan prosesi adat atau upacara penguburan di malam hari, jenazah membutuhkan cahaya untuk menerangi jalannya menuju ilahi atau menuju yang Maha Besar”
ADVERTISEMENT
Dari semua penjelasan panjang yang di sampaikan oleh bapa raja kampung adat Prailliu terkait kematian yang dirayakan bahkan membutuhkan lebih banyak biaya jika dibandingkan dengan upacara kelahiran, bisa kusimpulkan dalam kalimat sederhana yang bisa mewakili semua penjelasan itu.
Bahwa kepercayaan marapu yang dipercaya oleh masyarakat adat Sumba memiliki makna bahwa orang yang meninggal atau berpulang terlebih dahulu “Mereka tidak pergi begitu saja” yang artinya bahwa, mereka akan tetap hidup bersama dengan orang-orang Sumba, hanya saja berada di dimensi yang berbeda dan menjadi perantara antara manusia dan Tuhan pencipta mereka.
Jenazah akan didiamkan dalam satu rumah yang dikhususkan atau biasanya disebut dengan rumah jenazah untuk meletakkan jenazahnya, dan selama berbaring menunggu waktu penguburan jenazah tersebut akan dilayani oleh hamba atau sebutan untuk orang-orang yang mendapatkan tugas secara khusus melalui upacara adat dalam bertanggung jawab atas jenazah tersebut.
ADVERTISEMENT
Jenazah diperlakukan layaknya memperlakukan orang hidup, diberi makanan dan minum sesuai jadwal makan pada umumnya, diajak bicara, dilayani, dan kegiatan ini tidak boleh berhenti selama waktu menuju upacara penguburan.
Sumber: Dokumentasi pribadi. Salah satu contoh rumah adat yang digunakan sebagai rumah jenazah.
Tidak semua orang yang meninggal bisa dikuburkan secara langsung, biasanya akan didiamkan dulu di rumah jenazah, masyarakat adat di Sumba memiliki rumah jenazah sendiri, ada salah satu rumah adat yang dikhususkan sebagai rumah yang akan digunakan untuk meletakkan jenazah yang belum bisa dimakamkan, karena dari pihak keluarga belum memiliki cukup biaya untuk melakukan prosesi atau acara adat penguburan.
Secara adat, jenazah akan dibalut oleh kain adat yang dibawa oleh masyarakat atau keluarga lain ketika melayat, kain tersebut akan dibaluri pada jenazah dalam posisi membungkuk, hal ini melambangkan posisi bayi ketika masih dalam rahim ibu, dan didiamkan di rumah adat, menunggu keluarganya mengumpulkan biaya yang cukup untuk melakukan acara adat penguburan.
ADVERTISEMENT
Tidak semua orang yang meninggal juga akan diadakan acara yang besar, tergantung apa yang dikehendaki keluarga dari pihak yang meninggal dan bagaimana perannya dalam masyarakat.

Kebiasaan Lama yang Tetap Dipertahankan

Sumber: Dokumentasi pribadi
Seperti pada penjelasan awal, kepercayaan marapu lahir dari budaya atau kebiasaan masyarakat adat sejak dulu, berdasarkan cerita dari bapak kepala desa adat Prayawang, Rende, adanya tradisi jenazah tidak langsung dikuburkan dikarenakan Sumba berada pada lokasi yang berbukit, dan di zaman dulu tidak ada akses yang cukup memadai untuk mengabari keluarga yang tinggalnya jauh, bahwa salah satu keluarganya sudah meninggal.
Maka dari itu, orang di zaman dulu atau yang sudah hidup duluan akan menggunakan kuda berhari-hari, bahkan berminggu-minggu untuk menyampaikan pesan kepada sanak saudara yang tinggal di tempat jauh bahwa ada keluarga yang meninggal.
ADVERTISEMENT
Waktu tempuh pergi dan pulang inilah yang menjadi alasan jenazah tidak langsung dikuburkan. Dalam proses menunggu keluarga yang datang, jenazah akan dihamayangkan atau disembayangkan secara adat, dan ritual-ritual untuk menjamu semua orang yang turut menemani keluarga yang berduka.
Untuk menghindari bau karena sudah berhari-hari tidak dikuburkan, jenazah biasanya dibungkus dengan kain adat atau kain tenun yang terbuat dari bahan-bahan alami, diwarnai dengan berbagai akar, daun, dan batang tanaman-tanaman yang bisa menghilangkan bau, akar tanaman yang bisa menangkas bau busuk atau bau tidak sedap dari mayat yang sudah lama tidak dikuburkan.
Sumber: Dokumentasi pribadi,Mama Raja yang sedang menjelaskan tentang baga
Salah satu contoh tanaman yang sering digunakan adalah akar mengkudu dan kayu cendana, jenazah atau mayat akan dibungkus setebal mungkin agar tidak menghasilkan bau.
ADVERTISEMENT
Di era sekarang sudah banyak mengalami kemajuan, jenazah yang belum sempat dikuburkan akan tetap didiamkan dalam rumah adat, namun tidak lagi menggunakan bahan-bahan alami dalam proses menghilangkan bau karena sulit dicari. Sebagai salah satu alternatifnya, masyarakat biasanya akan menggunakan formalin sebagai penggantinya.
Sungguh kuakui bahwa Indonesia sangatlah kaya, banyak kepercayaan-kepercayaan kecil seperti kepercayaan marapu ini masih hidup di dalamnya, dan yang sangat membuat tertegun adalah bagaimana masyarakat adat masih berpegang teguh walaupun sudah tersentuh dengan hadirnya agama-agama yang disebarkan.
Masyarakat adat di Sumba masih tetap berusaha mencari celah untuk tetap mengkolaborasikan kepercayaannya dengan agama yang dinut agar tetap hidup dan mendarah daging serta selamanya bisa diceritakan kepada dunia.
Tidak salah sama sekali merayakan kematian, bisa dengan kesedihan, upacara adat seperti di desa adat yang ada di Sumba, dan bahkan acara penguburan yang membutuhkan biaya berjuta-juta. Masing-masing dari kita memiliki ritual, adat istiadat, dan kepercayaan yang masih dipegang dari leluhur kita, belajarlah agar kita tetap hidup dalam keberagaman yang menyatukan ini.
ADVERTISEMENT