Konten dari Pengguna

Karena di Setiap "Hai" Pasti Ada Selamat Tinggal

Alfons Hartanto
Bukan seberapa jauh kamu pergi, namun seberapa dalam kamu mencari
1 Juni 2017 16:19 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfons Hartanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Karena di Setiap "Hai" Pasti Ada Selamat Tinggal
zoom-in-whitePerbesar
Pagi ini ada sebuah berita yang sedikit banyak mengusik saya. Di tengah banyaknya berita mengenai ISIS dan Hari Lahirnya Pancasila, perhatian saya justru teralihkan oleh isu mengenai majalah "Hai" yang akan segera mengakhiri edisi cetak regulernya.
ADVERTISEMENT
Setengah masih tidak percaya dan berharap ini adalah berita hoaks, saya pun membaca artikel ini. Majalah yang setia menemani kehidupan remaja saya yang 'bingung' itu ternyata memutuskan untuk fokus pada platform online-nya.
Memang, di era informasi dituntut serba cepat ini, format majalah mingguan menjadi sesuatu yang serba salah. Dan wajar saja memang kalau pada akhirnya mereka harus hijrah ke media online. Tapi, sebenarnya membuka halaman demi halaman media cetak memberi pengalaman yang berbeda (paling tidak untuk saya).
Tanpa disadari berita ini membawa memori saya ke tahun-tahun awal 2000-an. Saat-saat dimana seragam putih-biru masih menghiasi lemari baju saya. Ya, perkenalan saya dengan majalah "Hai" memang terjadi cukup dini untuk remaja di usia saya kala itu.
ADVERTISEMENT
Menyisihkan uang jajan 2000 rupiah setiap harinya menjadi sebuah rutinitas yang cukup berat sebenarnya kala itu. Tapi demi melihat 'kece-kece'nya cewek Hai, mendengar jawaban-jawaban absurd bagman sayz, dan mencari referensi musik melalui chart lagu di dua halaman terakhir membuat satu porsi nasi uduk kantin ataupun setengah jam biling warnet (iya main di Kings masih rp 4000/jam dulu) yang saya korbankan itu sepadan rasanya.
Dari majalah ini juga rasanya saya mengenal "Gym Class Heroes" sampai "Trivium", hingga akhirnya karya-karya mereka mereka jadi akrab di telinga saya.
Tema-tema di setiap minggunya pun menarik, akrab dengan kehidupan sehari-hari, namun kadang menghasilkan kesimpulan yang tidak terduga. Mulai dari tren seragam sekolah (seragam wanita yang serba ketat saat itu), ilmu-ilmu mencontek (dari bermodal kebetan sampai kode-kodean dengan teman), sampai perselingkuhan (yang menurut mereka sah saja selama belum menikah). Kadangkala saya merasa banyak hal yang diajarkan majalah ini untuk saya.
ADVERTISEMENT
Hampir lima tahun mungkin saya menjadikan membaca "Hai" sebagai aktivitas wajib. Sampai akhirnya kesibukan sekolah dan teman-teman baru membuat saya meninggalkan majajalah yang satu ini. Tidak pernah sepenuhnya memang saya meningglkan "kitab"-nya para jejaka ini, dalam beberapa kesempatan di masa-masa kuliah saya masih sering juga mengintip majalah ini saat berkunjung ke tukang majalah langganan.
Tapi, rasanya mulai hari ini selamat tinggal untuk selamanya harus saya ucapkan (paling tidak untuk edisi reguler mingguan) untuk majalah "Hai".
Kumpulan sampul majalah Hai. (Foto: hai.grid.co.id)
zoom-in-whitePerbesar
Kumpulan sampul majalah Hai. (Foto: hai.grid.co.id)