Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Pembagian Tugas Rumah Tangga Dalam Pernikahan
10 Juni 2022 13:49 WIB
Tulisan dari Muhammad Ali Ashhabul Kahfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Pendekatan Antropologi Sosial dan Budaya di Indonesia
Dalam kehidupan di masyarakat, terutama masyarakat Indonesia, yang kaya akan sejarah dan nilai budaya yang turun-temurun, sering kali pernikahan dan hubungan rumah tangga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan budaya itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebelum mengkaji teori-teori ilmu sosial dengan teori-teori ilmu budaya dengan pendekatan antropologi, perlu diketahui terlebih dahulu tentang antropologi itu sendiri.
Sebenarnya, ilmu yang mempelajari manusia sangatlah banyak dan luas, salah satunya adalah ilmu tentang cara berpikir (perspektif) dan pola perilaku (kebiasaan atau kecenderungan manusia untuk melakukan sesuatu).
Ilmu yang mempelajari manusia berdasarkan cara berpikir dan pola perilaku inilah yang disebut dengan antropologi.
Antropologi hampir selalu dihubungkan dengan nilai sosial dan budaya, karena cara pandang dan sistematika dalam bersikap tidak lepas dari nilai-nilai sosial dan budaya yang telah tumbuh di masyarakat dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Nilai sosial dan budaya ini sangat bergantung pada wilayah, misalkan kebiasaan salim tangan sebelum berangkat sekolah di Jawa, yang bisa jadi aneh untuk orang-orang di Sumatera, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Antropologi, kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai yang dipegang manusia, dalam hubungannya dengan nilai sosial dan budaya, disebut juga antropologi sosial, sangat melekat untuk hubungan manusia itu sendiri.
Hubungan manusia baru, yang tercipta setelah usia dewasa (21-40 tahun) dan bersifat terikat secara sosial dan agama ataupun hukum adalah pernikahan.
Hubungan pernikahan di Indonesia, hingga saat ini, masih sangat mengikuti dan menganut aturan-aturan dan norma-norma sosial dan budaya, menyesuaikan daerah tertentu.
Dalam acara tunangan suku Tionghoa di Indonesia, gaun tunangan yang digunakan umumnya berwarna merah, dan pihak laki-laki harus melakukan lamaran ke pihak perempuan dengan berbagai jenis makanan untuk penyelenggaraan pesta kecil-kecilan sebagai sambutan acara.
Suku Jawa Tengah, dalam acara pernikahan sepasang calon pengantin harus menggunakan baju adat berwarna hitam dan riasan-riasan khusus sesuai budaya dari zaman nenek moyang, pemberian mahar tertentu, dan mengundang warga sekitar (yang biasanya juga diikuti dengan pemberian sumbangan dana bantuan sukarela untuk acara tersebut) sebagai bentuk bersosial.
Kebiasaan lainnya di Indonesia, yang cukup menonjol, misalnya untuk pernikahan masyarakat Padang di Sumatera Barat. Umumnya, pemberian mahar diberikan oleh pihak istri kepada suami, dan pihak keluarga istri biasanya sudah menyediakan rumah kepada calon istri tersebut, sedangkan pihak laki-laki hanya dianggap ‘menumpang tinggal’ saja, dan banyak lainnya.
ADVERTISEMENT
Hal-hal dan kebiasaan-kebiasaan ini menarik untuk dibahas karena hubungan manusia satu dengan yang lainnya yang paling kompleks, yang berkaitan dengan nilai sosial dan budaya, adalah pernikahan.
Berbeda dengan persahabatan, pernikahan menciptakan suatu ikatan sosial-budaya baru antara dua pihak keluarga yang tidak sedarah dan berbeda.
Pernikahan ini dalam banyak kasus dapat pula terjadi antara dua pihak keluarga dengan perbedaan sosial dan budaya yang sangat signifikan, sehingga sangat personal untuk jalan keluar masing-masing kejadian.
Dalam makalah ini, penulis akan memadukan teori-teori ilmu sosial dengan teori-teori ilmu budaya, dengan menggunakan pendekatan antropologi sosial-budaya, untuk gambaran mengenai pembagian tugas rumah tangga dalam beberapa kasus.
Bagaimana peran masing-masing istri dan suami dalam menjalankan aktivitas rumah tangga, sesederhana kebiasaan memasak dan mencuci, dan apakah kebiasaan-kebiasaan ini merupakan bentuk tanggung jawab yang selalu harus dilakukan ataukah bisa saja ditoleransi.
ADVERTISEMENT
Perkembangan zaman, terutama di era digital 4.0 telah sedikit banyak mengubah nilai-nilai tersebut, dan bagaimana ilmu-ilmu sosial dan budaya (antropologi) menjelaskan fenomena tersebut.
Antropologi dan Definisinya
Antropologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia berdasarkan cara pandang atau berpikir dan pola berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, yang akan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial dan budaya.
Manusia secara naluriah dan sosial cenderung akan bergabung membentuk satu-kesatuan, dari kesatuan kecil menjadi kesatuan besar berdasarkan persamaan yang dimiliki, yang merujuk pada suku-suku dan bangsa-bangsa.
Kesamaan ini dapat berdasarkan nilai sosial dan budaya, yang sangat erat dengan nilai sejarah dan wilayah tempat hidup. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika antropologi disebut juga dengan ‘ilmu bangsa-bangsa’.
Seiring perkembangan zaman, ilmu antropologi yang melibatkan nilai sosial dan budaya ini tentu juga akan berubah, karena perubahan pola pikir dan kebiasaan manusia menyesuaikan lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Perubahan ini dapat berupa kemajuan maupun kemunduran. Contohnya saja, manusia di zaman sekarang sangat canggih menggunakan smartphone dan laptop, terbiasa mengunduh dan beroperasi dengan aplikasi-aplikasi baru, dan menyelam dalam berita-berita di internet, serta aktif di sosial media.
Manusia di zaman sekarang, terutama semenjak pandemi Covid-19, yang mengharuskan beraktivitas kebanyakan dari rumah (bekerja, bersekolah, dan melakukan apa saja) membuka ruang mengeksplor diri, yang membuat manusia lebih berpikiran terbuka, bersamaan dengan laju penggunaan sosial media.
Bersamaan dengan kemajuan, umumnya akan datang pula suatu kemunduran (kemerosotan), misalkan saja manusia di zaman sekarang yang sudah lebih terbuka pikirannya tentang kesehatan mental, malah semakin banyak sekali yang merasa khawatir dan tidak nyaman, suka membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, mudah takut dan overthinking.
ADVERTISEMENT
Antropologi, secara definisi, menurut Suyono dalam Wiranata, berasal dari kata Latin, yakni ‘anthropos’ dan ‘logos’, yang masing-masing berarti ‘manusia’ dan ‘akal’.
Dengan demikian, antropologi adalah ilmu yang berusaha untuk mempelajari manusia sebagai makhluk dengan beraneka ragam perbedaan, perbedaan fisik, kepribadian, sosial di masyarakat, dan budaya.
Menilik pada ilmu tentang manusia, sebenarnya sangat banyak ilmu yang mempelajari manusia, namun dengan pendekatan yang bermacam-macam, contohnya biologi (hubungan manusia dengan sistem tubuhnya) dan psikologi (hubungan manusia dengan mentalnya, otak dan perasaan).
Antropologi sendiri mempelajari semuanya sebagai satu kesatuan secara meluas, yang juga berarti melihat ilmu biologi pada manusia dan sosial sebagai dua hal yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan (holistik dan integral), disebut juga sebagai antropo-biologi.
ADVERTISEMENT
Antropologi secara global terbagi menjadi dua jenis, sebagaimana di bawah ini:
1. Antropologi fisik
Antropologi fisik mempelajari manusia dan keanekawarnaannya terhadap sistem tubuh (biologi atau fisik manusia), atau disebut juga dengan antropo-biologi.
2. Antropologi budaya
Antropologi budaya mempelajari manusia dan keanekawarnaanya terhadap nilai sosial dan budaya; berdasarkan cara berpikir dan berperilaku.
Berdasarkan Koentjaraningrat dalam Wiranata, terdapat lima batasan penelitian dalam antropologi, yakni:
a. Evolusi manusia dan sejarah perkembangannya secara biologis
b. Perkembangan dan perubahan ciri-ciri manusia secara fisik
c. Perkembangan cara berkomunikasi, khususnya bahasa, yang digunakan manusia dalam kaitannya dengan sejarah
d. Asas-asas budaya yang dianut oleh manusia dan ketersebarannya di masing-masing suku bangsa dan wilayah
Pernikahan dan Rumah Tangga
ADVERTISEMENT
Pernikahan adalah suatu ikatan janji antara dua orang, pria dan wanita, yang diresmikan secara agama, hukum, dan sosial, sehingga kemudian masing-masing dari keduanya berperan sebagai suami dan istri, yang dapat melakukan hubungan seksual dan bereproduksi menghasilkan keturunan.
Acara pernikahan juga dapat dirayakan berdasarkan kebiasaan, adat dan budaya, serta kelas sosial. Pernikahan berasal dari bahasa Arab, ‘nikkah’, yang artinya ‘perjanjian perkawinan’, atau untuk kata lainnya ‘nikah’, yang artinya ‘persetubuhan’.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita yang membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pria akan berperan sebagai suami dan wanita sebagai istri, lalu pria berperan sebagai ayah dan wanita sebagai ibu ketika sudah memiliki anak.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, syarat pernikahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 6, haruslah memenuhi beberapa syarat berikut:
a. Adanya persetujuan dari kedua belah pihak
b. Apabila belum berusia 21 tahun, maka harus mendapat izin dari kedua orang tua, atau cukup perwakilan dari salah satunya saja apabila satu dari keduanya telah meninggal atau tidak mampu melakukannya
c. Apabila kedua orang tua telah meninggal atau tidak mampu melakukannya, maka dapat dilakukan oleh wali, yaitu orang yang mengurus ataupun keluarga yang masih memiliki hubungan darah
Kepuasan dalam pernikahan dapat dicapai apabila kedua belah pihak, suami dan istri, saling memahami satu sama lain, dan dengan rutin mengevaluasi hubungan mereka, terkait apakah hubungan tersebut sudah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak.
ADVERTISEMENT
Hubungan ini secara nyata dapat berupa pembagian tugas di dalam rumah tangga. Kebiasaan yang umumnya terjadi di Indonesia adalah ketidakseimbangan peran antara suami dan istri.
Istri yang merupakan seorang perempuan cenderung dipandang lebih menurut kepada pihak laki-laki yang dianggap lebih dominan (berdasarkan kebiasaan di zaman dahulu, di mana laki-laki bertugas untuk berburu sedangkan perempuan menjaga anak).
Namun seiring zaman, kebutuhan ekonomi juga meningkat sehingga pengeluaran rumah tangga sehari-hari juga semakin tinggi, dan perempuan menjadi pihak yang juga bekerja di luar rumah untuk membantu pemenuhan kebutuhan tersebut.
Perempuan di sisi lain juga telah memiliki hak dan kesempatan bersekolah dan berpendidikan yang sama seperti laki-laki, terlebih sejak emansipasi wanita oleh Ibu Kita Kartini sejak tahun 1879 (143 tahun yang lalu).
ADVERTISEMENT
Tuntutan lama dari aspek sejarah, sosial, dan budaya dengan kesempatan dan kemampuan yang dimiliki saat ini secara tidak langsung menciptakan suatu kondisi di mana perempuan bisa saja bekerja layaknya laki-laki, namun mengapa masih tetap harus menjalankan kegiatan memasak, mencuci, bersih-bersih, dan mengurus anak.
Hal ini menjadi suatu isu sosial yang dihadapi oleh banyak rumah tangga. Selain itu, budaya masyarakat Indonesia yang cenderung tertutup dan tradisional (budaya ketimuran), berbeda dengan budaya barat yang lebih konfrontasional dan saling siap untuk berdiskusi terkait tugas-tugas domestik secara blak-blakan.
Sikap saling tidak enakan atau tertutup di budaya ketimuran inilah yang menyebabkan pembagian tugas dalam rumah tangga menjadi suatu isu dan dilema dalam pernikahan, juga memberikan dampak tertentu terhadap tingkat kepuasan dalam pernikahan.
ADVERTISEMENT
Peningkatan perempuan bekerja, bersamaan dengan laki-laki, dalam suatu hubungan pernikahan, berdasarkan data tahun 1970 di Inggris meningkat menjadi 40% dari yang sebelumnya 30% pada tahun 1960. Peningkatan juga terjadi di Indonesia.
Pada tahun 2003, jumlah perempuan bekerja di Indonesia menduduki peringkat ketiga, yaitu 45%, setelah Vietnam (47%) dan Thailand (46%). Hal ini menandakan telah terjadinya pergeseran sosial dan budaya dari waktu ke waktu.
Berdasarkan penelitian, lima dari sembilan istri pernah bertengkar dengan suaminya dikarenakan alasan pekerjaan, karena sudah kelelahan setelah pulang bekerja ditambah dengan tuntutan pekerjaan rumah tangga.
Apabila suami ikut berpartisipasi dalam membantu pekerjaan rumah tangga, maka istri akan merasa lebih terbantu, dan oleh karenanya, akan meningkatkan kepuasan dalam hubungan pernikahan.
ADVERTISEMENT
Apabila rasa pengertian tersebut absen, maka bisa jadi hubungan menjadi buruk, dan pernikahan dapat berujung pada perceraian (Lucyani, 2009).
Berdasarkan data tahun 2011, angka perceraian di Indonesia kian meningkat. Pada tahun 2008, perceraian mencapai angka 200 ribu dan menjadi 250 ribu di tahun 2009.
Adapun faktor-faktor dari terjadinya perceraian, yang tercatat, adalah perselingkuhan, ketidakharmonisan hubungan, dan masalah ekonomi (faktor tertinggi).
Sebanyak 70% dari perceraian ini diajukan oleh istri, yang kebanyakan mengatakan bahwa suami tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi dalam rumah tangga.
Peran Suami-Istri dalam Rumah Tangga
Umumnya, suami memiliki peran sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah untuk pemenuhan kehidupan akan sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal).
ADVERTISEMENT
Suami menjadi mitra istri dan teman setia yang selalu ada dalam suka maupun duka. Suami menyediakan waktu untuk berbincang dan menghabiskan waktu dengan istri.
Suami juga berperan untuk mengayomi dan membimbing istri agar selalu berada di jalan yang benar serta meringankan tugas istri dan ikut bertanggung jawab dalam pengasuhan anak (karena dalam pengasuhan anak dibutuhkan kerja sama antara kedua belah pihak, di mana anak membutuhkan sosok ayah dan ibu secara seimbang).
Sebaliknya, istri juga merupakan mitra suami, yang menemani suami di kala suka maupun duka, bersama-sama hidup dan mengasuh anak hingga tumbuh dengan baik.
Istri juga menjadi seseorang yang mendorong dan menyemangati suami di bidang pekerjaan.
Peran suami-istri sering kali dikaitkan dengan diskriminasi gender. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 31 Ayat 3, ditegaskan bahwa suami menjadi pemimpin keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, dan Pasal 34 menyebutkan bahwa istri berkewajiban mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
ADVERTISEMENT
Undang-undang ini, sebagaimana dikaitkan dalam antropologi sosial dan budaya memiliki bias gender antara laki-laki dan perempuan karena memposisikan perempuan untuk lebih mengambil peran pada sektor domestik.
Perempuan dengan Peran Ganda
Ibu bekerja menjadi fenomena yang menarik perhatian masyarakat. Berdasarkan data oleh The World Bank di tahun 1996, dinyatakan bahwa ada sedikitnya 40% tenaga perempuan di dalam dunia industri.
Tenaga kerja perempuan yang pada tahun 1971-1980 yang berjumlah 38,75% naik menjadi 51,65% dalam rentang tahun 1980-1990. Data ini secara tidak langsung menggambarkan tingginya perempuan dengan peran ganda, memiliki rumah tangga sekaligus bekerja.
Perubahan ini memberikan dugaan akan adanya perubahan pola relasi, pembagian fungsi perempuan dalam rumah tangga.
Peran perempuan yang ganda (memiliki penghasilan karena bekerja) dianggap akan membantu peran laki-laki (sebagai suami dalam rumah tangga) yang secara tradisional bertugas untuk memenuhi kebutuhan finansial and ekonomi keluarga.
ADVERTISEMENT
Peran ganda perempuan dianggap memberikan ‘kekuasaan atau power’ untuk perempuan sehingga laki-laki akan cenderung ikut berkontribusi (melibatkan diri) pada tugas perempuan dalam rumah tangga, sehingga pembagian kekuasaan bersifat egaliter.
Kekuatan lebih pada perempuan ini merujuk pada perempuan yang memiliki kekuasaan lebih, dalam hal pengambilan keputusan yang penting dalam rumah tangga.
Kekuatan lebih pada perempuan juga memberikan keleluasaan perempuan dalam hal penggunaan uang di dalam rumah tangga.
Kekuasaan dalam Pernikahan (Power in Marriage)
Pada kenyataannya, banyak penelitian menunjukkan bahwa peran ganda perempuan dalam rumah tangga dengan mengurus rumah tangga dan bekerja (sehingga memiliki penghasilan), tidak serta-merta meningkatkan kekuasaan perempuan dalam rumah tangga.
Hal ini dikarenakan berbagai keterbatasan dan limitasi sosial-budaya laki-laki dalam menjalankan fungsi rumah tangga, misalnya dalam pengasuhan anak, sehingga peran ganda ini malah menjadi tuntutan lebih terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
Hasil studi menunjukkan bahwa peran ganda perempuan dalam rumah tangga meningkatkan stres psikologis yang lebih besar, ditambah lagi dengan keterbatasan akses karir untuk perempuan dan tidak fleksibelnya kebijakan dalam dunia kerja, sehingga dalam hal ini, terjadi konflik peran.
Pembahasan mengenai kekuasaan dalam pernikahan ini terbagi menjadi 2 aspek, yaitu hubungan perihal kekuasaan dan pengerjaan tugas domestik (berupa tugas rumah tangga dan pengasuhan anak). Berikut untuk penjelasannya:
1. Hubungan perihal kekuasaan
Galliano menyatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi situasi dalam suatu hubungan interaksi, kemampuan untuk membatasi akses dan mendefinisikan suatu peristiwa.
Kekuasaan juga berarti kemampuan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan penting. Dalam rumah tangga, kekuasaan ini diterapkan dalam hal seperti pengaturan keuangan dalam rumah tangga dan keputusan pindah kerja.
ADVERTISEMENT
2. Pengerjaan tugas domestik
a. Time Available
Terdapat banyak sekali perspektif teoritis terkait pengerjaan tugas domestik dalam rumah tangga. Salah satu pendekatan misalnya dengan hipotesis time available, partisipan perempuan dalam dunia kerja dihitung, dan membuat suatu alur pemikiran di mana apabila perempuan memiliki suatu pekerjaan, maka waktu yang tersisa untuk urusan domestik tentu akan berkurang dibandingkan ibu rumah tangga murni.
Oleh karenanya, laki-laki yang berperan sebagai suami merasa menjadi harus menyediakan waktu yang sama dengan perempuan (sebagai istri) untuk membantu urusan domestik.
b. Perkembangan Keluarga
Teori Perkembangan Keluarga menyatakan bahwa telah terjadinya peran gender pada fase perkembangan keluarga yang cenderung menurun seiring dengan penurunan kewajiban pekerjaan untuk suami dan kebutuhan perawatan anak di dunia modern.
ADVERTISEMENT
Perkembangan ini dari waktu ke waktu mengikuti pola sejenis dan tampak dapat diprediksi.
Meskipun teori dan media menyatakan telah terjadinya perubahan peran, namun tetap saja pada kenyataannya sebagian besar tugas domestik rumah tangga masih dilakukan oleh perempuan, meskipun perempuan tersebut juga memiliki karir di pekerjaan.
Contohnya dalam keluarga egalitarian sekalipun, perawatan bayi masih menjadi tugas utama perempuan dan tugas laki-laki kebanyakan masih seputar sesuatu yang bersifat rekreasional dengan anak, seperti bermain dengan anak, membaca untuk anak, dan mengajar keterampilan tertentu.
Laki-laki akan mengambil peran lebih dalam pengasuhan anak apabila memiliki penghasilan yang hampir sama dengan perempuan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembagian Peran
Pembagian peran suami-istri secara adil sering kali masih dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat mengenai peran gender.
ADVERTISEMENT
Perempuan dipandang sebagai tokoh utama dalam wilayah domestik. sistem pembagian tugas tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
1. Kebijakan pemerintah, sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan, kebijakan-kebijakan yang bias fungsi gender dan menganut ideologi patriarki
2. Faktor pendidikan, di mana banyak pengajar (guru-guru) masih berpikir atau terbiasa berpikir bahwa laki-laki lebih cocok untuk memimpin (misalnya menjadi ketua kelas) dan anak perempuan hanya baiknya ikut saja
3. Faktor nilai-nilai, tidak lepas dari ilmu sosiologi dan antropolgi, status perempuan dalam kehidupan sosial masih mengalami diskriminasi terhadap nilai-nilai tradisional karena perempuan dianggap kurang memperoleh aspek pendidikan, pekerjaan (karir), pengambilan keputusan, dan aspek lainnya dalam kehidupan
4. Faktor budaya, kentalnya nilai patriarki (seperti marga, akta lahir, dan agama, yang umumnya mengikuti garis keturunan bapak). Dalam sistem patriarki, pemimpin dianggap sebagai hak untuk laki-laki, sehingga sering kali konsep ini disalahartikan karena tidak disertai rasa tanggung jawab dan memiliki dari pihak laki-laki
ADVERTISEMENT
5. Faktor media massa dan media sosial, sebagai agen penyebaran informasi paling populer di era modern sekarang. Perempuan dalam budaya populer masih sering dijadikan objek atau daya tarik seksual, pemanis, dan pemuas fantasi bagi para laki-laki
6. Faktor lingkungan, terjadinya ambiguitas dari cara pandang masyarakat terhadap peran suami-istri dalam rumah tangga
Contoh Kasus Pembagian Tugas Rumah Tangga
Dalam kasus budaya Jawa, sistem patriarti yang kuat memposisikan wanita lebih rendah dibandingkan para pria pada semua faktor, dalam sektor publik maupun rumah tangga.
Ideologi patriarki mencirikan bahwa laki-laki merupakan kepala rumah tangga yang bertugas untuk mencari nafkah, yang melakukan pekerjaan produktif di luar rumah.
Budaya patriarki ini membentuk peran gender tradisional di masyarakat, dan oleh karena itu, pria dipandang sebagai sosok yang lebih superior dalam segala aspek.
ADVERTISEMENT
Salah satu ajaran Jawa untuk mendeskripsikan posisi kedudukan istri disebut juga dengan ‘suwarga nunut neraka katut’, yang artinya suami merupakan penentu istri untuk masuk surga atau neraka.
Istri yang menuruti kehendak suami dan berbakti penuh dianggap akan masuk surga (sesuai agama, surga didefinisikan sebagai tempat indah dan baik setelah kematian, sedangkan neraka sebaliknya).
Istri yang tidak menuruti suami akan masuk neraka. Istilah lainnya untuk istri dalam perannya di rumah tangga adalah ‘kanca wingking’, atau berarti teman belakang, teman hidup yang mengolah pekerjaan domestik rumah tangga (memasak, mencuci, beres-beres, dan mengurus anak atau terkenal pula dengan istilah masak, macak, dan manak (3M), pun dapur, pupur, kasur, dan sumur).
Citra perempuan ideal dalam budaya Jawa adalah bersifat lemah lembut, penurut, dan tidak dominan (apalagi di atas laki-laki). Citra ini dikaitkan dengan peran ideal istri, yang adalah untuk mengurus rumah tangga, mendukung karir suami, dan patuh terhadap keputusan suami.
ADVERTISEMENT
Suami di sisi lain dicitrakan sebagai yang apa-apa tahu, panutan, rasional, dan lebih dominan (agresif), sehingga lebih diposisikan sebagai yang memimpin.
Padahal di dunia modern saat ini, pemimpin adalah lebih dari sekadar dominan, tetapi harus kritis, taktis, dan menghargai orang lain. Namun semakin ke sini, masyarakat modern Jawa sendiri telah mulai berpikiran terbuka dan meninggalkan budaya patriarki tersebut.
Teori Model Parson dalam Fungsi Gender
Gender secara definisi adalah pembeda peran, atribut, sikap, dan tindakan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, yang dianggap pantas untuk laki-laki dan perempuan.
Laki-laki digambarkan dengan ciri-ciri tertentu yang harus sesuai dan tidak boleh tumpang tindih dengan ciri-ciri tertentu pada perempuan.
Konsep ini di dunia modern sering juga dirujuk sebagai gender biner (hanya ada laki-laki dan perempuan sehingga harus memberikan batasan-batasan jelas, tidak ada gender netral, atau yang lainnya).
Model Parson A dan B merupakan model pembagian peran laki-laki dan perempuan dengan sangat ekstrim. Model A menggambarkan bahwa laki-laki lebih merujuk ke sifat maskulin dan instrumental sedangkan perempuan bersifat feminine dan ekspresif.
ADVERTISEMENT
Laki-laki, oleh karenanya, akan lebih menangani hal-hal eksternal di dalam keluarga (bekerja, bernegosiasi), sedangkan perempuan akan lebih menangani hal-hal yang bersifat internal (di dalam rumah, mengurus anak, menyapu lantai).
Model B merupakan model peleburan yang benar-benar setara. Pada kenyataannya, di Indonesia, dengan kentalnya nilai sosial dan budaya, model yang diterapkan dan umum ditemui merupakan gabungan dari model A dan B, di mana model ini dianggap lebih cocok dan tidak memberikan batasan secara sangat tampak, berbeda dengan budaya barat yang sangat terbuka dan formal.
Pernikahan sendiri dalam budaya timur dianggap seperti saling tidak hitung-hitungan, seperasaan cocoknya saja. Berbeda dengan budaya barat yang sangat rinci dan harus adil dalam semua pembagian
ADVERTISEMENT
Teori Fungsionalisme Struktural
Teori Fungsionalisme Struktural merupakan ilmu sosial yang juga dikembangkan oleh Parson, dan didorong sangat kuat oleh sosiolog asal Perancis, Émile Durkheim. Teori ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang saling berkaitan untuk masing-masing struktur dalam masyarakat; di bidang agama, rumah tangga, pendidikan, politik, dan semua hal, yang akan secara terus-menerus mencari suatu keseimbangan dan harmoni. Untuk mencapai kesetimbangan yang baik, peran gender laki-laki dan perempuan harus tetap dipertahankan, tetapi bersifat saling melengkapi dan setara (adil) dalam aspek yang berbeda.
Teori Konflik
Berbeda dari Teori Fungsionalisme Struktural, yang menjadikan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sebagai pemeran fungsi yang berbeda, dan oleh karenanya, saling berkaitan dan melengkapi, Teori Konflik memandang gender sebagai kepentingan dalam kekuasaan. Teori ini menjelaskan bahwa hubungan suami-istri sebagai hubungan yang lepas dan bersifat biologis, seperti proletar dan borjuis atau hamba dan tuan. Toeri Konflik percaya bahwa konflik akan selalu ada karena laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan kepentingan
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Pembagian tugas dalam rumah tangga dalam pernikahan berdasarkan pendekatan antropologi sosial dan budaya dipandang berbeda-beda dalam berbagai sistem budaya.
Pernikahan sebagai suatu jalinan antara dua orang, pria dan wanita, dengan tujuan saling berbagi dan menyayangi, serta menghasilkan keturunan sebagai penerus, haruslah memiliki rasa saling mengisi satu sama lain, termasuk di dalamnya pembagian tugas dalam rumah tangga.
Nilai sosial dan budaya laki-laki sesuai fungsi gendernya, dianggap lebih dominan, dan perempuan dianggap untuk harus lebih penurut (dalam budaya patriarki) sudah kurang relevan dalam perkembangan zaman saat ini.
Masyarakat harus menilai dan bersikap lebih fleksibel dan tidak hitung-hitungan satu sama lain (dalam hubungan suami-istri) sehingga hubungan peran tidak menjadi konflik dan kompetisi antara suami, istri, dan bahkan anak.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu nantinya akan membantu peningkatan kepuasan dalam pernikahan. Beberapa teori sosial dan budaya menjelaskan bahwa fungsi gender harus tetap dipertahankan karena memang tidak dipungkiri terdapat perbedaan yang tidak bisa diisi satu sama lain.
Namun perbedaan tersebut tidak perlu dikotak-kotakkan maupun menaikkan atau menurunkan peran lainnya, melainkan harus saling melengkapi agar tujuan bersama dari pernikahan tersebut dapat tercapai.