Konten dari Pengguna

Atas Nama Nalar dan Kemanusiaan

Ali Sajad
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8 April 2023 21:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Sajad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap aturan pasti memiliki potensi untuk tidak dipatuhi. Setiap bunyi pasal perundang-undangan mempunyai sisi gelap untuk selalu dilanggar. Maka dibentuklah sanksi yang setidaknya menjadi bahan pertimbangan bagi siapapun yang berniat melawan ketentuan hukum yang sedang diberlakukan.
ADVERTISEMENT
Bukan dimaksudkan untuk mengancam. Namun itu dibuat untuk semata-mata menjaga berbagai macam kemungkinan. Sanksi ringan bahkan maksimal.
Di Indonesia ada banyak sekali aturan dan sanksi yang dibuat oleh anggota dewan di Senayan sana. DPR yang bertugas memformulasikan undang-undang memiliki tanggung jawab yang besar untuk membangun tatanan negara yang kokoh dan taat hukum.
DPR harus mampu menciptakan kehidupan masyarakat hukum yang kondusif dan ideal. Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi rakyat merupakan tugas pokok para legislator ini.
Berangkat dari amanah yang cukup berat ini maka pemerintah memberikan gaji yang tidak sedikit bagi anggota dewan, bahkan sampai ada yang menganggapnya sangat berlebihan.
Bagaimana tidak. Dikutip dari pernyataan salah satu anggota DPR fraksi PDIP, setiap tanggal 1 ia akan mendapatkan gaji sebesar Rp 16 juta sebagai gaji pokok, setiap tanggal 5 sebesar Rp 59 juta sebagai tunjangan, Rp 450 juta sebagai dana aspirasi yang diberikan lima kali dalam satu tahun, Rp 140 juta sebagai dana kunjungan dapil yang diberikan delapan kali dalam satu tahun.
ADVERTISEMENT
Dan gaji ini adalah pemberian negara kepada anggota dewan, bukan ketua. Untuk ketua tentu jauh melebihi nominal di atas. Tapi jika memang rakus, tentu jumlah itu tidak berarti apa-apa. Karena "price is unlimited".
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/3/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Jadi memang, kehidupan pejabat sudah terjamin. Para pemegang kekuatan sebenarnya tidak perlu repot untuk merampas hak rakyat, tidak perlu korupsi. Hak mereka sudah sangat menjanjikan (kecuali pejabat yang melakukan serangan fajar, sehingga dituntut untuk balik modal).
Cukup dengan mendengar dan menghargai suara rakyat, mereka sebenarnya sudah aman, karena paling tidak itu lah yang diinginkan oleh rakyat yang sebelumnya telah memilih mereka.
Setiap yang keluar dari mulut mereka, hasil dari pemikiran mereka, merupakan hal yang sangat berharga. Buah manis atas kepercayaan yang sudah rakyat berikan selalu dinanti untuk membawa kepada kehidupan yang lebih baik lagi. Bukan sebaliknya, aturan yang dibuat justru membuat rakyat sengsara.
ADVERTISEMENT
Demonstrasi menolak UU Ciptaker yang dilakukan oleh ribuan mahasiswa di depan gedung DPR kemarin merupakan satu bentuk protes atas ketidaksesuaian keinginan rakyat dan keputusan dewan.
Mahasiswa dan para buruh bersatu atas nama demokrasi, yang sisi terburuknya adalah menebar benih terjadinya kudeta. Memang masih jauh, namun jika tidak ada perubahan, jika nalar dan kemanusiaan tak lagi dihiraukan, maka cepat atau lambat kudeta bisa saja dilakukan.
Mungkin kemarin para demonstran masih melakukan aksinya di luar pagar Gedung DPR. Mungkin mereka hanya berteriak dari kejauhan, entah didengar atau dianaktirikan. Seperti pada demonstrasi besar-besaran sebelumnya, di luar para demonstran sedang berpanas-panasan sementara di dalam ruangan para legislator merayakan ulang tahun Bu Puan.
ADVERTISEMENT
Jika ini terus berulang, anggota dewan abai akan aksi yang berkelanjutan, tidak menutup kemungkinan mereka akan menaiki kubah gedung, memenuhi taman-taman, lorong-lorong maupun ruangan lobi seperti yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998.
Tentu kita semua tidak ingin jika di Indonesia ini terjadi kudeta atau penggulingan kekuasaan lagi. Cukuplah tindakan brutal itu terjadi pada tragedi G 30 S PKI. Tidak perlu ada lagi ketidakpuasan atas kepemimpinan Perdana Menteri yang dirasakan sekelompok tokoh pergerakan pada 3 Juli 1946. Menculik dan menyandera para petinggi negeri biarlah menjadi sejarah, tak perlu dilanjutkan sebagai kisah berdarah.
Apalagi akhir-akhir ini ramai berita soal korupsi. Bukan uang, korup tidak selalu tentang mencuri uang rakyat, namun juga hak yang seharusnya selalu melekat. Menunda-nunda pengesahan undang-undang itu termasuk korupsi.
ADVERTISEMENT
Bahkan yang sempat ramai di media beberapa waktu lalu, saat Menko Polhukam meminta agar pengesahan UU Perampasan Aset dipercepat, dengan entengnya—terlepas bergurau atau tidak—Ketua Komisi III DPR RI malah berkata bahwa ia hanya akan memenuhi permintaan itu jika yang bersangkutan melobi para ketua umum partai. Jika tidak, maka mereka tidak akan memberikan effort lebih pada apa yang ditugaskan kepadanya
Memang, saat ini yang menentang pemerintah diancam hukuman penjara. Namun saat semuanya sudah tak terkendali, saat keberpihakan kepada rakyat tak lagi menjadi visi, haruskah kita berpegang teguh pada prinsip hidup bernegara yang dipopulerkan oleh Plato?