Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Interseks dan Gereja: Kardinal Benítez dalam Conclave sebagai Simbol Pergulatan
30 Maret 2025 12:04 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Alifia Putri Yudanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Peringatan: Spoiler alert!
Dalam film Conclave, Kardinal Benítez menjadi sosok yang paling mengejutkan dalam prosesi pemilihan Paus. Terungkap bahwa ia adalah seorang interseks, sebuah realitas biologis yang menantang pandangan tradisional Gereja Katolik tentang gender.
ADVERTISEMENT
Di tengah ketatnya aturan gereja yang membagi peran laki-laki dan perempuan secara tegas, keberadaan sosok berdarah Meksiko ini seakan menjadi bukti bahwa identitas gender tak selalu bisa dikotakkan dalam definisi yang kaku.
Ia tumbuh dan menjalani hidup sebagai laki-laki, memenuhi ekspektasi gereja untuk menapaki jenjang kepemimpinan spiritual yang selama ini hanya diperuntukkan bagi laki-laki.
Namun, ketika kebenaran tentang identitasnya terungkap, Benítez dihadapkan pada dilema: tetap mempertahankan dirinya apa adanya atau menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku. Perjalanannya sebagai seorang rohaniwan dalam institusi yang sangat patriarkal menunjukkan kontradiksi antara ajaran konservatif dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan keberagaman manusia.
Identitas Interseks dan Konservatisme Gereja
Menjelang akhir film, Kardinal Benítez mengungkapkan bahwa ia lahir dengan karakteristik biologis yang secara medis dikategorikan sebagai perempuan, tetapi ia dibesarkan sebagai laki-laki dan menjalani kehidupan sebagai seorang pendeta. Hal ini mencerminkan bagaimana sistem sosial dan agama membentuk identitas seseorang sejak dini.
ADVERTISEMENT
Jika menilik konsep Judith Butler dalam Gender Trouble (1990), gender bukanlah esensi biologis, melainkan konstruksi sosial yang dibentuk melalui norma dan praktik budaya. Gereja, sebagai salah satu institusi yang paling berpengaruh dalam membentuk norma gender, berperan dalam membentuk identitas Benítez sebagai laki-laki, meskipun tubuhnya tidak sesuai dengan kategori biner yang diakui.
Ketika Benítez akhirnya mengetahui kondisi tubuhnya setelah menjalani operasi usus buntu, ia mengalami krisis eksistensial sehingga merasa seolah-olah hidupnya sebagai seorang rohaniwan adalah sebuah dosa. Namun, Butler dalam Bodies That Matter (1993) menunjukkan bahwa identitas gender tidak hanya dibentuk oleh tubuh biologis, tetapi juga oleh diskursus kekuasaan yang menentukan siapa yang “valid” dalam sistem sosial.
Paus sebelumnya yang mengetahui kondisinya justru tetap mengangkatnya sebagai kardinal “in pectore” atas tugasnya di daerah konflik–Kabul, Afghanistan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, gereja dapat lebih fleksibel daripada yang terlihat di permukaan.
ADVERTISEMENT
“Aku adalah Ciptaan Tuhan”
Salah satu pernyataan paling kuat dari Benítez di film ini adalah “I am what God made me”. Saat itu, ia mengalami kebimbangan untuk menjalani operasi agar sesuai dengan norma gender yang ada. Namun, pada akhirnya, ia memilih untuk tetap bertahan karena tubuhnya merupakan pemberian Tuhan yang mulia.
Sepanjang hidupnya, Benítez menjalani peran sebagai laki-laki demi memenuhi aturan gereja, karena jabatan pendeta dan kardinal hanya diperuntukkan bagi pria. Berdasarkan perspektif Butler, ini adalah contoh nyata bagaimana gender itu bukan sesuatu yang kita punya sejak lahir, tapi sesuatu yang terus kita lakukan sesuai norma sosial–dengan kata lain gender sebagai performativitas.
Tapi di titik tertentu, Benítez mulai menyadari bahwa identitas interseksnya bukan sekadar “anomali” yang harus disembunyikan, melainkan bagian dari keberagaman manusia yang juga ciptaan Tuhan. Hal ini menggambarkan kalau tubuh tidak akan pernah bisa dipisahkan dari aturan sosial yang mengaturnya. Selama ini, gereja punya batasan ketat soal siapa yang boleh memimpin, dan Benítez—dengan identitas interseksnya—menantang aturan itu secara langsung.
Menariknya, Benítez tak lantas memilih untuk “menyesuaikan diri” dengan norma yang ada, misalnya dengan menjalani operasi agar lebih sesuai dengan ekspektasi gender tertentu. Sebaliknya, dia memilih untuk tetap menjadi dirinya sendiri. Agensinya untuk memilih itu pun menggambarkan bentuk subversion of identity—upaya membongkar aturan yang selama ini dianggap mutlak.
ADVERTISEMENT
Keputusan Benítez dengan kalimat ikoniknya itu pun semakin menegaskan bahwa gender bukan sekadar soal cocok atau tidaknya seseorang untuk dikategorikan sebagai laki-laki atau perempuan, tapi bagaimana seseorang memahami, menjalani, dan mencari identitasnya sendiri.
Gereja, Gender, dan Kepemimpinan
Benítez akhirnya terpilih sebagai Paus, sebuah peristiwa yang sangat revolusioner dalam agama Katolik. Selama berabad-abad, gereja menegaskan bahwa hanya laki-laki yang bisa menjadi imam, apalagi menduduki posisi Paus. Namun, realitas Benítez sebagai seorang interseks menantang batasan itu: seseorang yang memiliki karakteristik biologis perempuan justru naik ke pucuk kepemimpinan gereja.
Hal ini tentu menggambarkan pendapat Butler bahwa bahasa dan institusi berperan besar dalam membentuk siapa yang diakui secara sosial. Gereja, sebagai institusi patriarkal, selama ini memegang teguh struktur gender biner dalam hierarkinya. Namun, Benítez menunjukkan bahwa batasan ini bukanlah sesuatu yang absolut. Ia bisa dinegosiasikan, bahkan di ranah yang selama ini dianggap paling kaku dalam mempertahankan norma gender tradisional.
ADVERTISEMENT
Menariknya, Conclave tidak memberikan jawaban pasti tentang bagaimana gereja akan menyikapi hal ini ke depannya. Adegan terakhir menampilkan Kardinal Lawrence yang berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan guratan senyum samar.
Di saat yang sama, tiga suster dengan jubah putih bersih berjalan keluar dengan bahagia. Bagi saya, ini bisa diartikan sebagai simbol keterbukaan dan kemungkinan perubahan; sebuah isyarat bahwa gereja, pelan tapi pasti, tengah bergerak menuju titik baru dalam sejarahnya.
Ditambah lagi dengan pernyataan Kardinal Lawrence sebelum prosesi pemilihan,
Pernyataan ini menggambarkan bagaimana gereja, yang selama ini memegang teguh dogma, akhirnya mengakui bahwa kepemimpinan spiritual tidaklah harus absolut dan tanpa cela.
Justru, seorang pemimpin yang meragukan dan terus mencari kebenaran mungkin lebih relevan bagi masa depan gereja. Ini adalah pengakuan bahwa keimanan tidak harus datang dalam bentuk kepastian mutlak, tetapi juga bisa lahir dari kebimbangan dan refleksi terus-menerus.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks gender, ini menjadi semakin menarik. Butler berargumen bahwa gender bukanlah sesuatu yang tetap, tetapi sesuatu yang terus dilakukan dan dinegosiasikan. Benítez, yang sepanjang hidupnya menjalani peran sebagai laki-laki sesuai tuntutan gereja, kini mendapati bahwa identitasnya lebih kompleks daripada sekadar kategori biner.
Namun, ia memilih untuk tetap mempertahankan eksistensinya sebagai seorang rohaniwan tanpa harus menyesuaikan diri dengan standar biologis tertentu.
Antara Inklusivitas dan Status Quo
Kisah Benítez dalam Conclave bisa dilihat sebagai simbol bagaimana agama menghadapi realitas gender di dunia modern. Walaupun bukan seorang reformis radikal, tetapi kehadirannya sendiri sudah cukup untuk mengguncang fondasi konservatisme gereja. Film ini membuat saya bertanya-tanya: seberapa jauh gereja bersedia mengakomodasi realitas gender yang lebih kompleks?
Di satu sisi, pemilihannya sebagai Paus bisa dilihat sebagai langkah maju dalam penerimaan keragaman identitas. Namun, di sisi lain, karena ia tetap mempertahankan identitasnya sebagai laki-laki dan menolak operasi, hal ini juga bisa dianggap sebagai bentuk kompromi yang tetap berpegang pada aturan gender tradisional gereja.
ADVERTISEMENT
Butler juga menunjukkan bahwa sistem sosial sering kali tampak inklusif, tetapi tetap mempertahankan hierarki yang sudah ada. Gereja mungkin menerima Benítez, tetapi tetap dalam batasan yang tidak mengganggu fondasi patriarkalnya.
Akan tetapi, kisah Kardinal Benítez tetap membuka perdebatan penting tentang hubungan antara agama dan gender. Ia menunjukkan bahwa identitas gender tidak selalu hitam dan putih, dan bahwa iman tidak selalu berseberangan dengan keragaman identitas.
Conclave memberikan refleksi yang dalam tentang bagaimana institusi yang sangat konservatif menghadapi tantangan zaman dan bagaimana individu di dalamnya menavigasi batasan-batasan tradisional.
Apakah pemilihan Benítez sebagai Paus akan menjadi awal dari gereja yang lebih inklusif, ataukah ini hanya kasus pengecualian yang tidak akan mengubah sistem secara fundamental? Ini adalah pertanyaan yang terus bergema di dunia nyata, ketika banyak kelompok masih berjuang untuk pengakuan dalam institusi keagamaan yang telah lama membatasi peran mereka.
ADVERTISEMENT
Daftar Referensi
Butler, J. (1990). Gender trouble. Routledge.
_______. (1993). Bodies that matter. Routledge.
___________________________________________
Alifia saat ini adalah mahasiswi Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.