Konten dari Pengguna

Ketika Hidup Kita Ditopang Pekerja Lain: Refleksi untuk Pekerja Formal

Alifia Putri Yudanti
An ordinary girl who willing to learn more. Sedang belajar di Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia.
13 Mei 2025 13:51 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alifia Putri Yudanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kerja Reproduksi Sosial. (Sumber: Freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kerja Reproduksi Sosial. (Sumber: Freepik)
ADVERTISEMENT
Saat masih menjadi pekerja formal yang penuh dengan meeting, mengejar tenggat tulisan, hingga merekam suara juga video podcast, saya kerap melupakan satu kenyataan penting. Hidup saya sebagai pekerja formal, tak akan berjalan lancar tanpa kehadiran banyak pekerja lain yang menopang keseharian saya. Dan, hal ini tak terjadi hanya kepada saya, tapi kalian juga.
ADVERTISEMENT
Mulai dari mama–seorang IRT–juga PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang membersihkan rumah sebelum kita pergi ke kantor, pedagang kaki lima sebagai penyelamat kala uang gajian menipis, driver ojek online yang mengantar kita saat waktu mendekati presensi, hingga petani yang menanam beras yang kita makan sehari-hari. Mereka semua adalah bagian dari sistem kerja yang menopang hidup saya, sebagai seorang pekerja formal.
Sayangnya, kita mungkin tak menyadari kehadiran mereka dalam struktur sosial ekonomi yang lebih besar. Padahal, keberlangsungan hidup mereka sering bergantung pada ketimpangan yang membuat kita merasa “nyaman”. Tanpa sadar, pekerja–mayoritas perempuan, masyarakat kelas bawah, dan pekerja informal–dari kerja-kerja yang tak terlihat ini juga korban eksploitasi dari kapitalisme modern.

Mengenal Reproduksi Sosial yang Sering Diabaikan

Dalam Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recenting Oppression (2017), Tithi Bhattacharya mengingatkan bahwa kapitalisme tak hanya tergantung pada produksi barang atau jasa, tapi juga pada proses “mereproduksi” manusia yang menjadi pekerja itu sendiri. Artinya, agar sistem kapitalisme bisa terus berjalan, tenaga kerja harus terus dipelihara, mulai dari makan, istirahat, pendidikan, hingga pengasuhan.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar proses itu pun terjadi di luar kantor, seperti dapur, rumah, jalan, pasar, atau sawah. Ironisnya, pekerjaan ini kerap menimpa perempuan tanpa bayaran yang jelas. Sehingga, kapitalisme memanfaatkan para tenaga kerja ini secara cuma-cuma untuk menjaga sistem terus berjalan. Karena, tanpa adanya proses reproduksi sosial, tak akan ada tenaga kerja yang siap pakai keesokan harinya.
Pattenden (2021) dalam penelitiannya di desa-desa Jawa Barat pun memperlihatkan secara konkret bagaimana perempuan menyelipkan kerja-kerja reproduksi ini, seperti membungkus kerupuk, di sela kerja pengasuhan dan domestik. Diperlihatkan, mereka memiliki jam kerja yang tak masuk akal, yaitu sekitar 10 jam sehari untuk penghasilan yang tak sampai Rp5.000/jam. Semua itu dilakukan tanpa adanya jaminan, dan tanpa kepastian upah.
ADVERTISEMENT

Ketimpangan yang Terstruktur dan Tak Terlihat

Sebagai pekerja kantoran, kita mungkin tak merasa “mengeksploitasi siapa-siapa”, karena kitalah korban paling terlihat dari kapitalisme itu sendiri. Tapi, perlu dipahami juga kalau sistem kerja memiliki struktur dengan penderitaan yang berbeda. Jika kita sudah merasa menjadi yang paling tertindas karena kerja lembur, target mencekik, atau stagnasi karier, masih ada lagi para pekerja reproduksi yang mengalami ketertindasan berkali-kali lipat.
Selain itu, perlu dipahami pula jika struktur kerja kita sering kali hanya bisa berjalan karena ada pihak lain yang menanggung beban tak kasatmata. Misalnya, kita bisa fokus meeting karena ada PRT yang mengurus rumah. Kita makan sarapan tepat waktu karena ada ibu-ibu yang memasak sejak pukul 3 pagi untuk berjualan. Kita bisa ke kantor bersih dan wangi karena ada pekerja kebersihan yang bekerja sebelum jam kita masuk. Semua itu adalah bentuk kerja yang menopang kerja kita, tapi sering kali diabaikan dari narasi “pekerja keras” versi kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Pattenden menyebut ini sebagai bagian dari patriarki akumulasi, yaitu sistem yang membuat kerja perempuan–terutama kerja perawatan dan domestik–menjadi tetap murah, tak dihitung, dan kerap diremehkan. Ia juga menunjukkan bagaimana kerja rumahan (domestic work) adalah cara kapitalisme memperpanjang jam kerja perempuan tanpa mengakui nilainya secara formal.
Sementara itu, Bhattacharya menyatakan bahwa sistem produksi dan reproduksi tak bisa dipisahkan. Karena, kapitalisme bergantung pada dua sisi ini untuk bertahan hidup. Satu sisi menghasilkan nilai tukar (kerja upahan), satunya lagi menghasilkan manusia yang bisa bekerja (kerja perawatan). Dan, sayangnya, si penghasil nilai tukar saja yang kerap dihargai.

Kelas Kita Tidak Tunggal, Tapi Terbagi

Bhattacharya juga mengkritik pandangan bahwa “kelas pekerja” hanyalah mereka yang bekerja di pabrik atau kantor dalam pakaian formal. Ia menyatakan bahwa kelas pekerja harus dilihat secara lebih luas dan inklusif, yaitu semua orang yang hidup dari menjual tenaga kerjanya (baik formal maupun informal), termasuk yang tak bekerja di bawah kontrak resmi.
ADVERTISEMENT
Meski para pekerja formal sering merasa “berhasil” dengan status karyawan tetap juga gaji rutin dan mungkin tunjangan, kenyataannya posisi ini tetap rapuh. Sebab, keamanan kerja tersebut sangat bergantung pada kondisi pasar dan keputusan perusahaan yang bisa hilang saat terjadi efisiensi, pemangkasan anggaran, atau kebijakan restrukturisasi. Saat perusahaan melakukan PHK, kita bisa kehilangan pekerjaan karena pada dasarnya yang dijual hanyalah tenaga. Karena, kita tak memiliki kendali atas alat produksi atau proses bisnisnya.
Sementara, pekerja informal sudah sejak awal bekerja tanpa kontrak, jaminan pendapatan, dan perlindungan hukum. Artinya, mereka tak punya kepastian penghasilan, tak dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan, dan tak punya akses ke jaminan sosial atau tunjangan saat sakit, hamil, atau pensiun. Sehingga, mereka hidup dalam kondisi yang lebih rentan sehingga satu krisis kecil–seperti anak sakit atau harga bahan pokok naik–bisa langsung mengganggu stabilitas hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Walaupun kita sama-sama menjual tenaga kerja untuk bertahan hidup, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengalaman kelas itu sangat berbeda. Misalnya, pekerja perempuan sering dibayar lebih rendah dan dibebani kerja ganda di rumah atau mereka yang tinggal di daerah terpencil punya akses terbatas terhadap peluang kerja atau layanan sosial.
Karena itu, solidaritas kelas yang sejati tak bisa hanya berdasar pada status ekonomi. Ia juga harus berangkat dari pengakuan atas perbedaan kondisi dan ketimpangan yang dialami masing-masing kelompok di dalam kelas pekerja itu sendiri.

Semua Pekerja Pantas Mendapat Pengakuan

Sering kali, orang menganggap kerja yang menghasilkan uang sebagai “kerja produktif”. Sehingga, banyak yang menganggap ibu rumah tangga, pekerja rumah tangga, pengasuh anak, atau tukang sayur itu bukanlah “pekerja sungguhan”. Jika melihat lewat lensa reproduksi sosial, tanpa kerja-kerja itulah pekerja formal seperti kita tak akan pernah bisa berfungsi optimal.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, kapitalisme membuat seolah-olah kerja reproduksi itu “alami”, “sudah semestinya”, atau “bagian dari peran gender mutlak”. Padahal, mereka adalah kerja yang menghasilkan nilai sosial dan ekonomi secara nyata. Tapi, karena kerja reproduksi kerap diremehkan dan didefinisikan sebagai “hal yang alamiah”, sistem bisa lolos dari kewajiban membayarnya.
Contohnya, negara dan kapitalisme tak merasa perlu memberikan upah atau insentif bagi ibu rumah tangga yang mengasuh anak dan mengurus rumah sepanjang hari. Tak kunjung disahkannya RUU PRT juga menjadi cermin bahwa negara abai terhadap pengakuan atas kerja-kerja reproduksi ini.
Tak hanya itu, perusahaan juga tidak diwajibkan menyediakan fasilitas penitipan anak yang memadai, karena dianggap itu urusan domestik pribadi. Bahkan, kebijakan seperti cuti melahirkan, tunjangan anak, atau jaminan sosial bagi pekerja informal–yang sebagian besar adalah perempuan–sering dianggap beban, bukanlah hak.
ADVERTISEMENT
Jadi, mari kita berefleksi. Kesadaran tentang reproduksi sosial dan patriarki akumulasi bukan sekadar wacana teoritis atau diskursus aktivis. Ia adalah realitas lapangan yang membantu kita merefleksi ulang kenyamanan yang kita nikmati sebagai pekerja formal. Maka pertanyaan pentingnya bukan hanya “apa pencapaian saya hari ini?”, tapi juga kenyamanan siapa yang dijaga oleh sistem kerja sekarang? Dan, siapa yang diam-diam menopangnya setiap hari?