Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Jadi Mahasiswa Baru di Bulan Juni
30 Juni 2023 17:56 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Aliya R Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tiga semboyan dari Bapak Pendidikan Indonesia – Ki Hajar Dewantara – yang begitu melekat di telinga kita sebagai produk hasil didikan wajib belajar dua belas tahun oleh pemerintahan Soeharto.
ADVERTISEMENT
Banyak siswa yang berhasil mencapai bangku SMA yang kemudian bercita-cita untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi di perguruan tinggi. Namun, sayangnya tidak semua cita-cita mereka dapat langsung terkabulkan. Banyak faktor yang membuat mereka harus mengubur cita-citanya, misalnya karena mahalnya biaya pendidikan tinggi.
Mari kita ambil contoh program studi Ilmu Komunikasi yang setiap tahunnya menjadi langganan program studi dengan jumlah pendaftar terbanyak di Indonesia. Di kampus Top 3 Indonesia – UI, ITB, dan UGM – misalnya, biaya pendidikan terendah untuk 4 tahun berkuliah di Ilmu Komunikasi UI berkisar di angka 110 juta rupiah untuk kelas paralelnya dan “menyesuaikan dengan kemampuan keluarga” untuk kelas regulernya.
Biaya yang harus dibayarkan untuk menjadi sarjana tersebut tidaklah murah. Pantas saya jika warga negara Indonesia yang tercatat mengenyam pendidikan tinggi hanya berkisar 8,5 persen dari total penduduk Indonesia. Faktor lainnya yang mengharuskan calon mahasiswa mengubur impiannya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi adalah karena skema seleksi masuk perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Menilik ke belakang, pada tahun 2008, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Ditjen Dikti menerbitkan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang terbagi lagi menjadi dua jalur, yakni jalur SNMPTN undangan dan SNMPTN tulis. Namun, pada tahun 2013, SNMPTN tulis berubah nama menjadi Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang menjadi cikal bakal dari UTBK-SNBT yang diselenggarakan tahun ini.
Penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri tiap tahunnya selalu diawali dengan jalur yang dibuat oleh Kemdikbudristek – jalur undangan dan tulis – dan diakhiri dengan jalur yang secara mandiri dibuat oleh universitas/institut yang bersangkutan. Tahun ini, ada perubahan nama jalur masuk perguruan tinggi negeri yang dibuat oleh Kemdikbudristek. Semula bernama SNMPTN – yang artinya seleksi didasarkan atas nilai rapor calon mahasiswa baru yang baru saja lulus dari SMA – menjadi Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Bernasib sama, SBMPTN juga berganti nama menjadi Seleksi Bersama Berbasis Tes (SNBT).
ADVERTISEMENT
Sekilas, kedua jalur seleksi masuk PTN dari Kemdikbudristek tersebut terlihat baik-baik saja. Tetapi, terdapat banyak sekali praktik ketidakadilan di dalamnya. Misalnya, pada tahun 2019, Universitas Lampung mendiskualifikasi dua orang terbukti melakukan mark-up nilai rapor demi bisa masuk ke PTN. Ketidaksetaraan tiap sekolah dalam penilaian dapat menjadi faktor diterima atau ditolaknya calon mahasiswa. Dalam jalur SBMPTN, kecurangan sering terjadi dari adanya calo atau joki saat Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK).
Seorang yang ingin menjoki UTBK-nya biasanya harus merogoh kocek sampai 100-an hingga 400-an juta rupiah tergantung universitas yang dituju. Hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan antara si kaya dan si miskin pada seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Si kaya memiliki kesempatan lebih banyak untuk masuk ke perguruan tinggi negeri yang ia inginkan. Di tahun ini, telah ditemukan joki di pusat UTBK di Universitas Bengkulu, Universitas Sumatra Utara, dan Universitas Pendidikan Indonesia. Diyakini ketiganya merupakan sindikat berskala nasional.
ADVERTISEMENT
Tahun ini, pengumuman UTBK-SNBT diadakan pada Juni tanggal 20 pukul 15.00 WIB. Sekitar 803 ribu peserta mengikuti UTBK-SNBT dan hanya 259 ribu peserta yang diterima. Rakhsha (17) salah satu peserta UTBK-SBNT yang menjadi salah satu di antara yang diterima. Ia mengaku tidak menyangka akan lolos di pilihan keduanya, yaitu pada program studi Pendidikan Teknik Otomatisasi Industri dan Robotika.
“Pas buka (pengumuman) sih ga sangka kalau keterima,” ujar Rakhsha. Meskipun tahun ini, UTBK-SNBT menerapkan sistem Computer Adaptive Test (CAT) yang butir soalnya menyesuaikan kemampuan dari tiap peserta, Rakhsha tetap merasa kesulitan dalam mengerjakan soal UTBK. “Pas lihat soalnya kayak mau nyerah aja, tapi ada beberapa soal yang gampang sih,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pendidikan tingkat tinggi di perguruan tinggi negeri seharusnya inklusif bagi tiap warga negara Indonesia. Strata ekonomi keluarga tidak seharusnya menjadi faktor pembeda kelulusan tiap peserta UTBK-SNBT. Hanya kemampuan tiap individu semata yang menjadi kuncinya.