Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kisah Aku (yang Tanpa Pengalaman) Jadi Wartawan
29 November 2021 12:10 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Aliyya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada kisah menarik di balik bagaimana aku bisa akhirnya terjun ke dunia jurnalistik dan bergabung di salah satu portal media terbesar di Indonesia sebagai reporter alias wartawan.
Semua itu berawal di hari Sabtu pagi yang tentram di bulan Agustus—hari di mana aku diwawancara user, alias calon atasan langsungku kelak bila aku diterima nanti setelah lolos. Itu adalah pengalaman wawancara kelima dan percobaan melamar ke-13 kalinya dalam satu tahun semenjak aku tiba di Tanah Air setelah lima tahun lamanya aku mengenyam pendidikan sarjana ke luar negeri. Ke mana? Simak ceritaku yang sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Gugup enggak? Gugup lah, masa enggak.
Sejujurnya rasa percaya diriku bakalan diterima di perusahaan itu kecil, meskipun harapannya besar—mengingat bahwa latar belakang pendidikanku sama sekali tidak berhubungan dengan media ataupun jurnalistik dan aku sudah lama sekali tidak menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar akibat lebih sering menggunakan Bahasa Rusia (dan Inggris) sehari-hari selama bertahun-tahun.
Namun bermodalkan pembawaan "jadi diri sendiri", cara mengetik yang cepat, chemistry, dan takdir, Tuhan pun berkehendak lain.
Itu adalah salah satu wawancara yang berkesan untukku karena untuk pertama kalinya ada recruiter yang memberikan atensi (dan menyampaikannya ke aku) terhadap hal-hal kecil namun krusial dan usaha yang aku selipkan di dalamnya, seperti kesiapanku saat wawancara; lighting dan caraku memilih tempat saat wawancara; ketepatan waktu; dan caraku berbicara. Semua itu berkesan karena menurutku feedback itu penting agar kita bisa tahu letak kesalahan kita di mana atau di sisi mana kita unggul.
Singkat cerita, di bulan yang sama aku pun mulai bekerja. Kolam pengetahuanku tentang dunia jurnalistik yang zero itu mulai setiap harinya perlahan-lahan diisi oleh pengalaman, pembelajaran, kesulitan, sakit di punggung, dan mental yang diuji setiap aku melakukan kesalahan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak? Bayangkan saja posisiku begini—di usia remaja yang mana aku masih butuh perhatian orang tua, aku tinggal sendirian di negara asing yang tidak ada satu orang pun aku kenal lalu aku beradaptasi mati-matian sehingga mulai terbiasa dengan budaya setempat dan bahkan sempat bekerja di sebuah perusahaan di negara tersebut lalu aku kembali lagi ke Tanah Air setelah bertahun-tahun, beradaptasi lagi (anehnya walaupun lebih familiar, tapi tetap asing), terjun ke pekerjaan yang bidangnya juga asing untukku... dan beradaptasi lagi. Sebuah siklus adaptasi yang tiada henti.
Sulit? Di bagian adaptasinya tentu iya, tapi bagian tersulitnya adalah di mana aku harus mengarungi itu semua tanpa henti dan menanggung tuntutan bahwa aku tidak boleh melakukan kesalahan di pekerjaan ini. Bahkan, punggung dan pundakku jadi lebih sering sakit membawa tuntutan itu ke mana-mana, mungkin itu contoh nyata psikosomatis.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, tiga bulan berlalu dan baru-baru ini aku berkecimpung dalam kesalahan yang cukup fatal di pekerjaanku. Cukup fatal sehingga memengaruhi kondisi mentalku, melibatkan orang banyak, institusi media di daerah lain, dan aku menyadarinya baru setelah aku hamburkan cerita dan beban itu semua ke satu-satunya orang yang paham. Aku kaget, ternyata secara tidak sadar aku pendam itu semua selama ini dan aku biarkan saja berlarut dengan cara menyibukkan diri dan enggak meresapi apa yang telah terjadi dalam hidupku.
Selama ini rasanya hari berlalu begitu saja dan itu menyeramkan. Aku bahkan enggak sempat mengabadikan apapun ke dalam tulisan atau foto lagi. Ada satu hari libur aku pergunakan hanya untuk rebahan karena capek, lalu aku menyesal karena aku enggak melakukan hal-hal yang aku rencanakan dan aku sukai.
ADVERTISEMENT
Jadi aku memutuskan untuk mengambil jeda.
Jeda yang aku ambil dengan mengingat kembali apa yang telah terjadi, memahami semua emosi yang aku alami, dan aku tuangkan ke dalam tulisan. Tulisan ini.
Aku bersyukur diberi wadah agar tulisanku bisa dijangkau khalayak luas. Karena selama ini aku selalu merasa menulis untuk publik itu membebaniku—aku enggak yakin pembaca bisa memberikan aspirasi positif atau menikmatinya lantaran aku menuangkan isi pikiran dan perasaanku untuk menceritakan ini semua.
Tapi sebenarnya untuk kali ini aku enggak peduli, aku hanya ingin menikmati jeda untuk diriku sendiri supaya aku bisa bangkit lagi.
-A
24.11.2021