Konten dari Pengguna

Kontroversi Ijazah Jokowi: Antara Etika Politik Dan Aspek Hukum Pembuktian

Alwi Al Anshariy Siahaan
Mahasiswa Aktif Program Studi Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
6 Mei 2025 11:10 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alwi Al Anshariy Siahaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga Menggelar Aksi Tuntut Bukti Keaslian Ijazah Jokowi. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Warga Menggelar Aksi Tuntut Bukti Keaslian Ijazah Jokowi. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Isu keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali mengemuka. Meski sudah dibantah berbagai pihak, termasuk Universitas Gadjah Mada dan Mahkamah Konstitusi, sebagian kalangan masih mempertanyakan validitas dokumen akademik sang presiden.
ADVERTISEMENT
Ini bukan soal baru, tapi terus dihidupkan, terutama di media sosial. Pertanyaannya: apakah perdebatan ini sah dalam demokrasi? Atau justru melewati batas, dari kritik sehat menjadi tuduhan tanpa dasar?
Dalam hukum Indonesia, siapa yang menuduh harus membuktikan. Itu prinsip dasar. Pasal 1865 KUH Perdata menyebutkan, “Barang siapa mengaku mempunyai suatu hak, atau menyebutkan suatu peristiwa untuk mendukung haknya itu, wajib membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”
Dengan kata lain, jika ada pihak yang menyatakan ijazah Jokowi palsu, maka mereka yang wajib membuktikannya. Bukan presiden yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah—karena hukum kita tidak mengenal presumption of guilt, melainkan presumption of innocence.
Hukum acara memberikan ruang untuk membuktikan keaslian atau kepalsuan dokumen melalui jalur yang sah. Jika tuduhan hanya dilempar di ruang publik tanpa bukti yang bisa diuji secara forensik, maka itu bukan bagian dari proses hukum, melainkan bagian dari pembentukan opini.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, opini yang dibentuk tanpa data bisa menjadi fitnah. Bahkan bisa masuk ke ranah pidana, seperti pencemaran nama baik (KUHP) atau penyebaran hoaks (UU ITE). Artinya, siapa pun yang menyebarkan informasi tanpa dasar bisa saja dituntut balik secara hukum.
Tapi isu ini bukan sekadar soal hukum. Ini juga soal etika politik. Dalam demokrasi, mengkritik pemimpin adalah hak rakyat. Tapi kritik semestinya dilakukan secara jujur dan bertanggung jawab.
Kalau kritik berubah menjadi tuduhan personal yang tidak berdasar, maka etika politik kita sedang dalam krisis. Kita tak lagi bicara soal akuntabilitas pemimpin, tapi soal karakter masyarakat yang gemar mengadili tanpa fakta.
Wacana soal ijazah Jokowi seharusnya jadi pelajaran. Bahwa kritik tanpa data bisa berbahaya. Bahwa kecurigaan bukan bukti. Dan bahwa menyebarkan informasi tanpa klarifikasi bisa merusak integritas ruang publik.
ADVERTISEMENT
Kita memang perlu terus mengawasi pemimpin. Tapi jika pengawasan dilakukan dengan cara yang tidak bertanggung jawab, justru kita yang sedang merusak demokrasi itu sendiri.