Konten dari Pengguna

Gagasan Sekolah Rakyat “Sutan Sjahrir” di Banda Naira

KASMAN RENYAAN
Akademisi Universitas Banda Naira
30 April 2025 8:10 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KASMAN RENYAAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah sedang studi lapangan di bekas Sekolah Sore, Hatta-Sjahrir di Rumah Pengasingan Bung Hatta, Banda Naira: Sumber Foto : Dokumentasi Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah sedang studi lapangan di bekas Sekolah Sore, Hatta-Sjahrir di Rumah Pengasingan Bung Hatta, Banda Naira: Sumber Foto : Dokumentasi Penulis
ADVERTISEMENT
Tidak banyak yang tahu bahwa salah satu pejuang kemerdekaan Sutan Sjahrir pernah menginjakkan kaki di Pulau Pisang—sebuah pulau kecil berbatu cadas di utara Pulau Naira, Kepulauan Banda, Maluku Tengah.
ADVERTISEMENT
Pulau rempah ini, dengan hamparan pasir putih yang terbatas, kini dikenal sebagai "Pulau Sjahrir"—sebutan yang diberikan dengan penuh ketulusan oleh masyarakat Banda untuk mengenang salah satu tokoh pendiri bangsa yang pernah diasingkan di Banda Naira. Selain Pulau Sjahrir, ada juga Pulau Hatta. Di pulau kecil itu, jejak sejarah Sjahrir terus hidup dalam cerita dan ingatan kolektif masyarakat setempat.
Selama pengasingannya di Banda Naira pada 1936–1942, Sutan Sjahrir sering dilanda kegelisahan. Untuk menenangkan diri, pria kelahiran 5 Maret 1909 ini membagi waktunya dengan berbagai aktivitas fisik: mendayung perahu, berkeliling pulau, dan berinteraksi dengan anak-anak Banda. Dikenal sebagai Bung Kecil, Sjahrir tak pernah kehilangan akal untuk menyalakan semangat nasionalisme meski berada di tengah keterbatasan. Laut dan perahu menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di tanah pengasingan.
ADVERTISEMENT
Gerakan Sjahrir seperti angin timur yang mengalir pelan namun mengubah arah. Belanda bahkan melarangnya berperahu karena khawatir ia akan nekat menyeberang ke Australia—alasan yang lebih menunjukkan kecemasan kolonial ketimbang kenyataan.
Sayangnya, catatan resmi tentang aktivitas Sutan Sjahrir di Pulau Pisang sangat minim. Dalam bukunya, Des Alwi—anak angkat Bung Hatta dan Sjahrir—hanya menyebut secara singkat bagaimana Sjahrir mendayung perahu bersama anak-anak Banda ke pulau tersebut. Bagi Sjahrir, momen-momen itu merupakan sumber kebanggaan tersendiri, namun kurang mendapat tempat dalam dokumentasi sejarah resmi.
Di pulau kecil nan indah itu, Des Alwi menggambarkan Sjahrir sebagai guru baris-berbaris bagi anak-anak Banda. Ia juga mengajarkan lagu Indonesia Raya karya W.R. Supratman—simbol semangat Sumpah Pemuda 1928.
ADVERTISEMENT
Lagu itu dinyanyikan bersama anak-anak di ujung timur Nusantara, di sebuah pulau terpencil tanpa sumber air bersih. Saat itu, hujan menjadi satu-satunya sumber air minum yang ditampung warga untuk bertahan hidup. Meski penuh keterbatasan, nyanyian Indonesia, tanah airku tetap menggema di langit Pulau Pisang.
Rumah Pengasingan Muhammad Hatta di Banda Naira, Maluku Tengah, Maluku. Sumber Foto: Dokumentasi Penulis.
Bersama Mohammad Hatta, ia mendirikan Sekolah Sore di rumah pengasingan mereka. Dengan hanya tujuh meja dan kursi, sekolah sederhana ini bukan hanya untuk mengajarkan ilmu, tetapi juga menumbuhkan semangat kebangsaan. Sjahrir dan Hatta mengajarkan lebih dari sekadar kurikulum formal; mereka menanamkan nilai-nilai cinta tanah air dan tanggung jawab terhadap perjuangan bangsa.
Sekolah ini melampaui ruang sempit rumah pengasingan. Sjahrir menggunakan alam sebagai kelas terbuka, mengajak anak-anak Banda ke Pulau Pisang untuk berlatih baris-berbaris dan menyanyikan Indonesia Raya. Di pulau yang kekurangan air bersih, semangat nasionalisme tetap menyala, membuktikan bahwa kebangsaan dapat tumbuh meskipun di tempat paling terpencil.
ADVERTISEMENT
Pulau Pisang, meskipun hampir tak terlihat dalam peta, tetapi menyimpan kisah penting dari hidup Sjahrir. Di ujung Timur Indonesia, ia menanamkan cita-cita kemerdekaan dalam benak anak-anak bangsa, mengingatkan kita bahwa perjuangan bisa dimulai dari tempat yang terpencil sekalipun. Jejaknya di Pulau Pisang kini menjadi simbol semangat nasionalisme yang tak padam.

Laut, Perahu, dan Sekolah Sore

Kepindahan Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta (Hatta-Sjahrir) dari Boven Digoel ke Banda Naira pada awal 1936 bukan sekadar pemindahan tempat pengasingan. Di balik pengawasan ketat pemerintah kolonial, keduanya tetap melanjutkan perjuangan melalui jalan sunyi: pendidikan.
Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah sedang melaksanakan penelitian di ruang belajar Sekolah Sore yang didirkan Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir di Banda Naira. Sumber Foto : Dokumentasi Penulis.
Bagi Sjahrir, mendidik anak-anak Banda adalah cara menyalakan semangat kebangsaan di tengah keterasingan. Di saat pemerintah kolonial mengabaikan pendidikan bagi rakyat kecil, ia justru hadir membawa harapan. Laut dan perahu menjadi simbol kebebasan—bukan hanya alat transportasi, tetapi juga ruang belajar bergerak yang menyebarkan semangat perlawanan. Ia mengajak anak-anak berkeliling pulau, berenang bersama, melatih baris-berbaris di Pulau Pisang, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Meski hidup dalam tekanan dan serba terbatas, semangat kemerdekaan tetap berkibar.
ADVERTISEMENT
Di rumah pengasingan mereka, Pulau Banda Naira, Sjahrir dan Hatta mendirikan Sekolah Sore. Meski hanya berbekal tujuh meja dan kursi, sekolah sederhana ini menjadi tempat anak-anak Banda menuntut ilmu sekaligus menyerap nilai-nilai perjuangan. Hatta mengajar bahasa Jerman, aritmatika, dan disiplin; sementara Sjahrir mengajar bahasa Belanda dan berhitung. Mereka tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter.
Salah satu simbol paling kuat adalah perahu milik Hatta yang dicat merah-putih—sebuah pernyataan diam yang menggambarkan semangat nasionalisme. Di tengah pengasingan, Sekolah Sore menjadi benteng terakhir dari api perjuangan yang tak kunjung padam.

Pulau Pisang: Jejak Sjahrir yang Terkubur

Tak banyak sumber tertulis yang mengungkap bagaimana kehidupan Sjahrir selama berada di Pulau Pisang dan dengan siapa saja ia berinteraksi? Inilah bagian dari kisahnya yang jarang diketahui publik. Berdasarkan tradisi lisan masyarakat setempat, pada pertengahan abad ke-20, Pulau Pisang telah dihuni oleh beberapa angota keluarga keturunan Buton Cia-Cia. Salah satu keluarga yang dikenal adalah keluarga Tete La Dona.
ADVERTISEMENT
Sjahrir, yang kerap mendayung ke pulau itu bersama anak-anak Banda, menjalin kedekatan dengan keluarga Tete La Dona. Hubungan mereka begitu akrab hingga menyerupai ikatan bapak piara—istilah dalam budaya Maluku untuk menyebut kedekatan layaknya anak dan orang tua angkat.
La Pisu, putra Tete La Dona, sering mengajak Sjahrir makan siang bersama. Ia tidak hanya menjamu Sjahrir, tetapi juga anak-anak Banda yang menemaninya. Di balik sosoknya sebagai seorang sosialis, putra dari pasangan Mohammad Rasad, dan Puti Siti Rabia itu tetap memegang teguh nilai Islam yang pernah ditanamkan kedua orang tuanya sejak kecil di tanah Minangkabau.
Di Pulau Pisang, ia memilih sebuah batu karang datar di tepi pantai sebagai tempat salat. Batu itu dulu berdiri megah, namun kini telah bergeser akibat abrasi (Wawancara Usman Latara Laga, generasi kelima penghuni Pulau Sjahrir, kelahiran 1968).
ADVERTISEMENT
Kedekatan Sjahrir dengan keluarga Tete La Dona menjadi sumber solidaritas di tengah keterasingannya. Jauh dari tanah kelahiran dan kota perjuangannya, ia menemukan kehangatan dan kebersamaan di pulau kecil itu. Di tengah kesunyian, Sjahrir tidak hanya menyebarkan pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebebasan dan semangat kebangsaan.
Apa yang dilakukan Sjahrir dan Hatta bukan sekadar mengajar. Mereka menanamkan benih Sekolah Rakyat—sebuah konsep pendidikan yang berakar pada pembebasan dan pembentukan karakter. Bagi mereka, pendidikan bukan hanya soal penguasaan kurikulum, tetapi juga tentang menanamkan disiplin, cinta tanah air, dan semangat kemerdekaan.

Sekolah Rakyat Era Sekarang

Kini, gagasan Sekolah Rakyat diangkat kembali oleh Presiden ke-8 Indonesia, Prabowo Subianto. Program ini diklaim sebagai upaya memutus rantai kemiskinan dan mengurangi kesenjangan sosial. Konsepnya disebut-sebut bersumber dari semangat pendidikan kerakyatan yang pernah digagas tokoh-tokoh nasional seperti Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Hatta.
ADVERTISEMENT
Namun, kebijakan pendidikan saat ini tampaknya menjauh dari semangat awal para pendiri bangsa. Di balik retorika pemerataan, justru tumbuh sekolah-sekolah unggulan yang lebih berpihak pada kelompok mampu. Sementara itu, kondisi infrastruktur pendidikan di pelosok negeri masih memprihatinkan.
Padahal, sejarah telah mencatat bahwa Sjahrir dan Hatta memilih membangun sekolah di tempat terpencil, jauh dari gemerlap ibu kota. Bagi mereka, pendidikan adalah panggilan moral dan perjuangan melawan ketimpangan. Semangat itulah yang seharusnya dihidupkan kembali—bukan sekadar mengulang nama, tetapi mewujudkan keberpihakan nyata pada rakyat kecil.

Menyulam Memori Bangsa

Pulau Pisang mungkin tak dikenal luas, tetapi nilai historisnya jauh melampaui luas wilayahnya. Di pulau terpencil ini, tokoh perjuangan seperti Sutan Sjahrir menanamkan semangat kebangsaan yang kelak menyulut api kemerdekaan Indonesia. Ia membuktikan bahwa perjuangan tak selalu dimulai dari pusat kota yang ramai—kadang, justru tumbuh dari tempat sunyi, di sudut negeri yang jauh namun penuh dedikasi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, dunia pendidikan Indonesia hari ini masih dibayangi persoalan ketimpangan. Akses yang belum merata membuat banyak anak di pelosok negeri tertinggal, semata karena mereka lahir jauh dari pusat-pusat pembangunan.
Gagasan Sekolah Rakyat yang pernah diusung oleh Sjahrir dan Hatta seharusnya menjadi cermin bagi para pengambil kebijakan. Pendidikan bukan hanya soal menyampaikan ilmu, tetapi juga tentang membentuk karakter, memperkuat semangat nasionalisme, dan menumbuhkan tanggung jawab terhadap bangsa. Ia seharusnya menjadi alat pemerataan, bukan sekadar jalur pencetak tenaga kerja.
Kini saatnya memperjuangkan pendidikan yang adil bagi seluruh anak bangsa—baik di kota besar maupun pelosok terpencil. Seperti yang dicontohkan oleh Sjahrir dan Hatta (Hatta-Sjahrir), kebangkitan bangsa bermula dari perhatian terhadap pendidikan yang inklusif dan setara, dari ruang-ruang kelas sederhana di Timur Indonesia hingga jantung ibu kota. Pendidikan harus berpihak pada kebebasan, kesetaraan, dan masa depan Indonesia yang lebih cerah.**
ADVERTISEMENT