Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pulau Kecil Tak Penting dalam Peta Pendidikan Nasional?
2 Mei 2025 16:07 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari KASMAN RENYAAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Teks pidato peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2025, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti, menguraikan komitmen pemerintah untuk terus membenahi dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Mulai dari memperbaiki fasilitas sekolah, memperkuat pembelajaran digital, hingga meningkatkan kualitas guru—semuanya jadi bagian dari langkah serius menuju pendidikan yang lebih merata dan bermutu.
Dalam berbagai kesempatan, seperti yang ramai diberitakan media, Abdul Mu’ti menyampaikan kabar baik: pemerintah akan memberikan beasiswa studi lanjut bagi guru yang belum lulus S1, sebesar Rp 3 juta per semester. Tak hanya itu, guru honorer juga bakal mendapat bantuan sebesar Rp 300 ribu setiap bulan. Kabar menggembirakan ini resmi diluncurkan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto bertepatan dengan peringatan Hardiknas ini.
Namun di balik retorika itu, tak satu pun paragraf menyentuh akar persoalan: realitas pendidikan di wilayah kepulauan (pulau-pulau kecil) dan daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), wilayah yang justru paling membutuhkan perhatian dan keberpihakan, tapi seolah terabaikan dalam narasi besar di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Fakta ini merupakan cermin dari pola pikir kebijakan pembangunan nasional yang masih terjebak dalam cara pandang daratan (continental).
Negara seolah lupa, bahwa lebih dari dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut, dan jutaan anak bangsa tumbuh dan belajar di pulau-pulau kecil yang setia harinya bersentuhan dengan laut. Mereka “terdepan” menjadi penjaga kedaulatan negera atas keutuhan pulau-pulau.
Bertalian dengan itu, Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa, dalam rapat bersama DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri di Ruang Komisi II, Gedung Nusantara, Jakarta Pusat, pada Selasa, 29 April 2025 lalu, melayangkan kritik terhadap pendekatan kontinental yang masih digunakan dalam penghitungan alokasi dana transfer ke daerah.
Mantan Anggota DPR RI itu, menyoroti kebijakan fiskal nasional selama ini hanya mempertimbangkan luas daratan, sementara wilayah laut dominan, seperti Kepulauan Maluku—cenderung diabaikan. Fakta geografis menujukkan, bahwa 92, 4% wilayah Maluku adalah laut dan 7,6% daratan. Dengan potensi laut luas itu, Maluku menyumbang sekitar 30% dari potensi perikanan nasional.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, dana bagi hasil dari sektor perikanan yang diterima sangat kecil. Akibatnya, meskipun menjadi salah satu provinsi tertua, Maluku tetap masuk dalam kategori daerah tertinggal.
Kesenjangan ini berdampak luas, termasuk di sektor pendidikan. Di Maluku, masih banyak sekolah dari tingkat PAUD hingga SMA yang kondisinya cukup memprihatinkan. Terutama di kampung-kampung yang jauh dari pusat kabupaten kota dan kecamatan. Masih banyak sekolah berdinding papan, beratap rumbia, bahkan masih numpang di sekolah lain dan di rumah warga, hanya untuk melaksanakan kegiatan proses pembelajaran.
Realitas ini mengajak semua pemangku kebijakan perlu membuka mata—lihatlah pendidikan dari pulau-pulau kecil, bukan hanya dari sudut pandang Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Pulau-pulau terpencil dengan infrastruktur minim dan akses internet yang nyaris tidak ada diperlakukan sama dengan kota-kota besar yang terhubung jalan tol dan jaringan fiber optik.
ADVERTISEMENT
Digitalisasi pembelajaran digulirkan secara seragam, seolah semua anak Indonesia belajar di ruang kelas yang sama dan duduk di depan layar dengan koneksi Wi-Fi stabil. Padahal, banyak dari mereka bahkan tidak punya listrik.
Dalam konteks ini, teks pidato Hardiknas 2025 menjadi bukti nyata bahwa arah kebijakan pendidikan nasional masih disusun dari balik meja—jauh dari realitas di luar jendela. Tidak ada keberpihakan terhadap wilayah yang justru paling membutuhkan dukungan. Tidak ada pengakuan atas kompleksitas geografis negeri ini, yang bukan hanya daratan, tapi juga lautan luas yang menyatukan ribuan pulau.
Fakta ini bukan sekadar asumsi. Berdasarkan data resmi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang dirilis pada 10 Agustus 2018, luas wilayah Indonesia mencapai sekitar 8,3 juta kilometer persegi. Dari total tersebut, hanya sekitar 1,9 juta kilometer persegi (23%) yang merupakan daratan, sementara sisanya—sekitar 6,4 juta kilometer persegi atau 77%—adalah wilayah perairan.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, banyak kebijakan nasional, termasuk di bidang pendidikan dan fiskal, masih berpijak pada cara pandang daratan luas. Cara pandang ini mengabaikan fakta geografis Tanah-Air Inonesia.
Semangat cinta Tanah Air terus digaungkan di sekolah-sekolah. Seruan “Tanah Air!” berkumandang lantang, diiringi lagu Tanah Airku dan Indonesia Tanah Air Beta yang dinyanyikan khidmat setiap upacara.
Liriknya menggema dari Sabang sampai Merauke. Namun sayang, semangat di balik syair-syair itu jarang diwujudkan dalam kebijakan nyata. "Tanah Air" kerap berhenti sebagai slogan, bukan sebagai kesadaran yang menggerakan keadial social yang terurat dalam butir Pancasila.
Sudah saatnya pemerintah melepaskan cara pandang darat-sentris dalam merumuskan kebijakan Nasional. Pasalnya, Indonesia bukan hanya daratan (tanah), melainkan gugusan ribuan pulau yang dikitari Air (laut). Jika keadilan dalam pendidikan benar-benar ingin diwujudkan, maka karakter geografis tiap daerah harus diakui dan dijadikan landasan, demi mewujudkan keadaran setiap warga negara untuk cinta Tanah-Air.
ADVERTISEMENT
Keadilan pendidikan tidak lahir dari angka-angka statistik, tetapi dari keberanian melihat kenyataan. Dan faktanyaya: Indonesia adalah negeri bahari. Maka, berhentilah mendidik bangsa seolah seluruh rakyatnya tinggal di satu hamparan daratan luas.