Rekayasa Masyarakat Melalui e-Money dan e-Government

Amanda Dea Lestari
Akademisi Universitas Adiwangsa Jambi
Konten dari Pengguna
25 September 2021 7:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Dea Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Smart city, photo by: Unplash
zoom-in-whitePerbesar
Smart city, photo by: Unplash
ADVERTISEMENT
Law As Tool Of Social Engineering
Dalam ilmu hukum terdapat satu teori besar tentang perubahan sosial yaitu teori rekayasa masyarakat atau social engineering. Ajaran Roscoe Pound ini berusaha melihat fungsi hukum sebagai sarana atau alat untuk melakukan rekayasa sosial dalam arti produk hukum dapat mempengaruhi bahkan mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat. Pound berpendapat bahwa hukum tidak hanya digunakan untuk melanggengkan kekuasaan, namun juga berfungsi sebagai alat rekayasa sosial (law as tool of social engineering).
ADVERTISEMENT
Dalam praktik pemerintahan di Indonesia, konsep law as tool of social engineering diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menguatkan bahwa hukum di Indonesia tidak hanya berperan sebagai alat melainkan juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Mekanisme hukum di negara berkembang termaksud Indonesia belum semapan di negara-negara maju. Oleh karena itu hukum diperlukan untuk merekayasa perilaku atau sikap tindak masyarakat agar dapat mendukung pembangunan nasional ke depan.
Penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial oleh Mochtar juga dimaksudkan agar perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat dikontrol dan berjalan secara tertib dan teratur. Sekilas pendapat tersebut cocok dengan kebutuhan pembangunan hukum di Indonesia. Bagi bangsa yang belum lama merdeka, strategi untuk dapat menangkap dan mengakomodasi perubahan nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat dalam rangka mengembangkan skenario bagi kebijakan pemerintah yang tertuang dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan merupakan kebutuhan yang nyata.
ADVERTISEMENT
e-Money
Teori hukum sebagai sarana perubahan masyarakat dapat dilihat dari berubahnya pola pikir masyarakat atau terbentuknya pola pikir baru, misalnya dengan ditetapkan kebijakan uang non elektronik (e-money) sebagai pembaharuan hukum baru dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan teknologi dalam sistem pembayaran telah menggantikan peranan uang tunai ke dalam bentuk pembayaran non tunai yang lebih efektif dan efisien. Sistem pembayaran non tunai yang saat ini sudah cukup banyak dalam keseharian masyarakat adalah uang elektronik.
Uang elektronik pada hakikatnya merupakan uang tunai tanpa ada fisik, yang nilai uangnya berasal dari nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbitnya, kemudian disimpan secara elektronik dalam suatu media elektronik berupa server atau kartu chip, berfungsi sebagai alat pembayaran non tunai kepada pedagang yang bukan penerbit uang elektronik yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
e-Government
Perubahan masyarakat lainnya juga tampak dibidang reformasi birokrasi dan pelayanan publik. Salah satu kondisi new normal saat ini, terjadinya transformasi birokrasi dari yang sebelumnya dilakukan secara manual atau tatap muka kini bertransformasi memanfaatkan teknologi digital. Pelayanan secara online ini merupakan hasil penerapan dari e-government.
Pemanfaatan teknologi informasi membawa perubahan positif secara masif pada budaya dan cara pikir tersendiri bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Progresivitas tersebut merupakan respons terhadap Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru. Salah satu kebijakannya mengatur tentang pelaksanaan penyesuaian sistem kerja work from home (WFH) dan/atau work from office (WFO) bagi ASN untuk memastikan pelayanan publik kepada masyarakat tetap berjalan di tengah pandemi.
ADVERTISEMENT
Demikian dalam Undang-undang Pelayanan Publik sendiri tidak diatur mengenai pembatasan pelayanan publik, sebagaimana yang diterapkan oleh penyelenggara pelayanan publik saat ini. Tetapi undang-undang ini mengatur bahwa penyelenggara pelayanan publik mempunyai kewajiban untuk memenuhi komponen standar pelayanan minimal seperti persyaratan, dasar hukum, sistem mekanisme prosedur, jangka waktu penyelesaian, biaya, produk layanan, dan lain-lain.
Dengan adanya kewajiban pelayanan publik tersebut, menjadi sedikit berkurang benefit yang diperoleh masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik. Akan tetapi, masyarakat tetap mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik, dan masyarakat mempunyai peran dalam pengawasan terhadap pembatasan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik. Peran masyarakat sesuai dengan Undang-undang, untuk mengawasi jalannya pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
Pada new normal ini, sinergitas dan koordinasi antar lembaga sangatlah dibutuhkan. E-government terus mendorong untuk berinovasi, menciptakan, dan mengembangkan mode layanan publik baru di mana semua organisasi publik dan instansi pemerintah memberikan layanan secara modern, terintegrasi, dan tanpa batas bagi warganya. Hubungan antara masyarakat dengan pemerintah bukanlah lagi searah yakni top-down melainkan membangun kemitraan antara pemerintah dan warga negara.
Instansi pemerintah sekarang sudah umum melakukan tele-meeting atau tele-conference dan rapat koordinasi menggunakan teknologi digital tanpa dibatasi ruang dan waktu sehingga lebih efektif efisien dari sisi waktu dan biaya. Tak terbayangkan berapa dana yang dapat dihemat dari the new normal, penyederhanaan rapat-rapat koordinasi baik di dalam kota maupun luar kota, efisiensi waktu dan anggaran akan terjadi secara besar-besaran sehingga dapat dilakukan refocusing anggaran untuk hal-hal yang benar-benar mendesak dan penting.
ADVERTISEMENT
Kondisi sekarang memberikan pemahaman kepada kita tentang seberapa urgensinya suatu kegiatan, di mana ternyata banyak kegiatan yang sebenarnya tidak prioritas karena pekerjaan dapat dilakukan dengan remote system, rapat secara video conference dan penggunaan cloud computing atau aplikasi kantor secara bersamaan yang dapat diakses pegawai dari mana saja.
Paradigma yang baru ini diharapkan akan mengubah orientasi cara bekerja dengan apa yang disebut sebagai network government, collaborative governance.
Amanda Dea Lestari, S.H., M.H. (Penulis merupakan Dosen Fakultas Hukum dan Ekonomi Bisnis Universitas Adiwangsa Jambi)