Zero Waste? 'Seharusnya' Bisa (1)

Amanda Setiorini W.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Mahasiswa S3 Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
5 Juli 2019 13:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Setiorini W. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi zero watse. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi zero watse. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
Belakangan ini topik tentang sampah makin santer diangkat di berbagai media. Mulai dari sampah yang mendangkalkan sungai-sungai di Jakarta, sampah yang mengotori pantai, hingga sampah yang termakan oleh hewan laut dan menyebabkan kematiannya.
ADVERTISEMENT
Kalau sudah menyaksikan film Aquaman (2018), tentu ingat bagian di mana penghuni lautan itu mengembalikan sampah yang selama ini dibuang manusia ke laut. Sedemikian banyaknya hingga menyerupai tsunami. Itulah bentuk "protes" mereka terhadap begitu sembarangannya manusia terhadap sampahnya sendiri.
Ketika penduduk Indonesia belum banyak, ketika penghuni dunia belum mencapai miliaran orang, membuang bungkus permen sembarangan mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Tetapi dengan jumlah manusia sebanyak sekarang, jika semuanya membuang satu bungkus permen saja di jalan, sudah menjadi pekerjaan petugas kebersihan yang tiada habisnya.
Maka, diperlukan perubahan dalam hal menangani sampah. Cara yang dulu dianggap baik-baik saja, sekarang sudah tidak tepat untuk digunakan lagi. Zaman berubah makin canggih, tetapi pengelolaan sampah masih dilakukan secara tradisional. Masalahnya, manusia selalu berpikir, "Ah, ini kan cuma sampah…"
ADVERTISEMENT
Perubahan Pola Pikir
Di manapun, perubahan sebenarnya tidak dimulai dengan mengubah perilaku, melainkan mengubah mindset alias pola pikir. Yang perlu diubah pertama kali adalah pola pikir manusia terhadap sampah yang selalu didefinisikan sebagai sesuatu yang kotor, tidak berguna, tidak dapat dipakai lagi, dan sebagainya. Padahal, ternyata tidak semua sampah seperti itu.
Kalau semua sampah tidak berguna dan tidak terpakai lagi, tidak mungkin ada orang yang menjadi pemulung. Mereka mengambil apa yang disebut sampah dan menjadikannya sesuatu yang bermanfaat. Misalnya, gelas atau botol plastik yang biasanya berserakan setelah sebuah perhelatan. Atau, lembaran koran bekas yang biasanya menjadi alas sajadah di hari raya. Semua itu masih bisa dimanfaatkan.
Di era 90-an, salah satu sampah yang diminati oleh pemulung adalah botol kaca. Jadi, botol bekas kecap, sirup, dan sebagainya, selalu menjadi incaran mereka. Tetapi di era 2000-an, tren ini sudah bergeser. Pemulung tidak lagi meminati botol kaca, melainkan botol plastik. Bagi mereka, nilai jual kembali botol plastik lebih tinggi daripada botol kaca. Dari hal ini saja sudah terlihat betapa barang-barang yang disebut sampah ini sebenarnya memilih “harga” sendiri. Karena itu tidak heran kemudian muncul “bank sampah”, atau seperti di Surabaya, botol plastik dapat digunakan sebagai “pembayaran” alat transportasi.
Seorang pria mendayung perahu kayunya untuk mengumpulkan sampah plastik untuk didaur ulang di sungai Citarum tersumbat oleh sampah dan limbah industri, di Bandung, Jawa Barat, Rabu (26/6). Foto: Timur Matahari / AFP
Pola Pikir Pertama
ADVERTISEMENT
Jadi, beginilah perubahan pola pikir pertama: Sampah adalah tanggung jawab diri sendiri, bukan orang lain. Pola pikir ini akan mengarahkan perilaku untuk menyelesaikan sendiri urusan sampah. Bukannya menyerahkan kepada petugas kebersihan, apalagi dengan dalih bahwa kitalah yang menggaji mereka melalui pajak.
Tidak. Kitalah yang harus bertanggung jawab terhadap sampah. Salah satunya, dengan membuang sampah pada tempatnya. Bukan di jalanan, juga bukan di laut. Jangan pula menyalahkan plastik yang menyebabkan kematian. Salahkan diri sendiri yang membuang sampah sembarangan sehingga termakan oleh makhluk lain. Jadi, yang membunuh mereka bukan sampah--apalagi khusus menyalahkan plastik--tetapi manusia yang membuang sampah sembarangan. Jadi, pola pikir ini juga mengubah kebiasaan untuk menyalahkan orang lain. Hebat, kan.
Pola Pikir Kedua: Reuse
ADVERTISEMENT
Perubahan pola pikir kedua: Sampah bukan lagi sesuatu yang tak berguna. Konsekuensinya, setiap kali hendak membuang sampah, pikirkan kembali apa yang bisa dimanfaatkan dari benda tersebut. Konsep reuse sebenarnya dilandaskan pada kemampuan mengembangkan ide kreatif untuk memanfaatkan lagi sesuatu yang sudah dianggap tidak terpakai (biasanya disebut sebagai sampah), untuk sesuatu yang lain. Fungsinya bisa berbeda, digunakan untuk tujuan yang berbeda, tetapi yang jelas tidak berakhir di tempat pembuangan.
Pola pikir ini mengarahkan perilaku yang berbeda, yaitu untuk secara kreatif mencari manfaat lain dari suatu barang. Misalnya, bagi yang--karena satu dan lain hal--mencuci pakaian di penatu, pasti sudah paham bahwa pakaian bersih akan kembali dalam kantong plastik transparan. Pasalnya, kantong plastik itu kemudian mau diapakan? Jangan langsung dibuang. Misalnya, bisa digunakan untuk menyampul buku, atau membungkus barang kiriman, atau untuk keperluan lain.
ADVERTISEMENT
Hanya ada 2 syarat yang dibutuhkan. Pertama, hati-hati ketika membuka kantong supaya plastiknya tidak rusak dan bisa digunakan kembali. Jika masih memandang kantong itu sebagai barang yang tak lagi berguna setelah membungkus pakaian, maka orang akan cenderung membukanya dengan cara merusak kantong. Ini justru membuatnya tidak bisa dimanfaatkan lagi, kan? Kedua, berpikir kreatif. Kantong itu sudah selesai dengan tugasnya membungkus pakaian dari penatu. Nah, apa lagi yang bisa dimanfaatkan darinya?
Contoh lain, seorang teman yang bekerja sebagai wartawan selalu punya sampah berupa baterai bekas. Khawatir rekaman yang dihasilkan tidak bagus jika daya baterai berkurang, sehingga satu kali pakai harus langsung diganti. Baterai yang baru sekali pakai itu dimanfaatkan kembali untuk mainan anak-anak, sampai dayanya benar-benar habis.
ADVERTISEMENT
Masih banyak contoh reuse yang lain, seperti mengolah barang-barang dari plastik--misalnya sendok plastik--menjadi hiasan. Tetapi konsep ini tidak mengurangi sampah secara signifikan, hanya menjadikan benda tersebut memiliki waktu pakai yang lebih lama sebelum berakhir di tempat sampah. Jadi, hanya sampai pada tahap reuse tidak mungkin dapat menciptakan zero waste.
Ilustrasi memilah sampah. Foto: pixabay
Pola Pikir Ketiga: Reduce
Perubahan pola pikir ketiga adalah: Sampah ada “harga”-nya. Jika kita tidak lagi bisa memanfaatkan benda tersebut, bukan berarti itu adalah sampah. Benda itu masih bermanfaat untuk orang lain. Sebut saja, misalnya, para pemulung.
Pola pikir ini mengarahkan perilaku untuk memilah sampah mana saja yang masih ada harganya. Botol plastik, kertas, karton, misalnya. Membiasakan memilah sampah sendiri juga bukan hal yang mudah, tetapi bukannya tidak mungkin dilakukan. Dimulai dari lingkungan rumah sendiri.
ADVERTISEMENT
Sampah jenis pertama, yaitu organik, seperti sampah dapur, sisa makanan dan kegiatan memasak, cukup dikubur di halaman. Tidak perlu repot membeli alat bor tangan untuk membuat biopori, cukup sediakan lubang di tanah. Jika tidak punya lahan kosong, seperti para penghuni apartemen, bisa disiasati dengan menggunakan ember bertutup yang diisi tanah dan beberapa tambahan lain untuk mengurai sampah.
Tergantung pada kondisi tanah, sampah organik biasanya akan sangat lama untuk memenuhi lubang yang disediakan. Misalnya, dengan alat bor tangan untuk membuat biopori, bisa dibuat lubang sedalam 1 meter. Jika terurai dengan baik, akan sangat lama untuk memenuhi lubang tersebut karena sampah akan segera hancur dan tidak berbau. Dengan memilah sampah organik saja, persentase sampah dari setiap rumah akan jauh berkurang.
ADVERTISEMENT
Jenis kedua adalah sampah yang masih bermanfaat tadi, seperti plastik, karton, dan kertas. Akan lebih baik lagi jika dibuat pemisahan antara plastik, karton, dan sebagainya. Misalnya, tempat pertama untuk kantong plastik yang didapat dari berbelanja, tempat kedua untuk kantong plastik transparan dari penatu, tempat ketiga untuk karton, tempat keempat untuk kertas, dan seterusnya.
Berapa banyak tempat yang disediakan memang tergantung dari pemilahan yang dilakukan setiap rumah. Jika diberikan kepada pemulung, mereka akan lebih mudah memberi harga. Misalnya, Rp 1.000 per kilogram botol plastik. Tentu saja, cara ini ada kekurangannya. Jika rumah tidak cukup luas, rasanya akan seperti dipenuhi barang-barang tidak berguna, yaitu kelompok sampah yang menunggu untuk diberikan kepada pemulung.
ADVERTISEMENT
Bagaimana untuk daerah yang sudah tidak lagi mengenal pemulung? Ini berarti semua jenis sampah kecuali yang organik, diberikan kepada petugas kebersihan lingkungan untuk dibawa ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS).
Pemilahan paling menyebalkan tetapi wajib dilakukan sebenarnya adalah untuk sampah baterai. Seperti yang telah diketahui, baterai bekas termasuk B3 alias Bahan Berbahaya dan Beracun. B3 yang dibuang bersama sampah organik, misalnya, akan meracuni sampah tersebut sehingga tidak dapat dijadikan pupuk. Jadi, B3 memang harus ditangani secara berbeda. Masalahnya, berapa lama kita perlu mengumpulkan baterai bekas di rumah sampai--misalnya--memenuhi kantong plastik ukuran ½ kilogram? Itu berarti sama saja dengan menyimpan limbah B3 di rumah.
Pola pikir ketiga ini berawal dari konsep reduce, yaitu mengurangi sampah. Dengan menerapkan reuse dan reduce, yaitu mengirim sampah organik kembali ke tanah, sampah yang masih bermanfaat ke pemulung, sampah B3--apa boleh buat--masih disimpan di rumah, berarti sampah yang dikeluarkan dari setiap rumah ke TPS sudah sangat jauh berkurang.
Ilustrasi pemanfaatan sampah. Foto: pixabay
Recycle
ADVERTISEMENT
Recycle atau daur ulang artinya adalah mengolah sampah atau pemrosesan kembali bahan yang pernah dipakai--misalnya serat, kertas, dan air--untuk mendapatkan produk baru. Mengolah sampah organik menjadi pupuk termasuk dalam kategori daur ulang. Tetapi memanfaatkan kembali botol plastik sebagai pot, misalnya, tidak termasuk daur ulang (recycle) melainkan penggunaan kembali (reuse).
Dengan pengertian ini, berarti tidak semua sampah dapat didaur ulang di lingkungan rumah. Hanya sampah organik yang bisa, yaitu dengan cara dikubur di tanah. Bagaimana dengan sampah lainnya?
Barang-barang bekas yang dialihkan kepada pemulung, kemungkinan akan didaur ulang juga di tempat lain. Misalnya, botol plastik bekas air mineral. Pemulung akan menjualnya kembali kepada pihak yang dapat memproses botol tersebut, dan menjadikannya biji plastik untuk keperluan lain. Demikian pula kertas bekas, yang biasanya akan diproses kembali menjadi bubur kertas dan dibuat berbagai benda lain.
ADVERTISEMENT
Daur ulang yang dimaksud dalam bagian ini adalah untuk sampah yang tidak tergolong barang-barang di atas, yaitu sampah yang dikeluarkan rumah tangga setelah melakukan proses reuse dan reduce tadi. Inilah sampah yang akan diambil oleh petugas kebersihan di lingkungan sekitar rumah dan dikumpulkan ke TPS. Karenanya, yang seharusnya dapat melakukan daur ulang adalah TPS.
Hingga saat ini, TPS hanya berfungsi sebagai tempat penampungan sementara sebelum dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Akibatnya, sampah hanya dipindahkan saja secara berkala, yang mengakibatkan gunungan sampah di TPA. Jika di TPS saja sudah memiliki banyak dampak buruk baik secara ekologis maupun sosial, bayangkan bagaimana dampaknya di TPA.
Idealnya, setelah rumah tangga memberlakukan “pengurangan sampah” dengan berbagai cara yang telah disebutkan di atas, TPS juga melakukan hal yang sama: mengurangi sampah sehingga yang dikirim ke TPA adalah benar-benar sampah yang sudah tidak dapat diolah di TPS.
ADVERTISEMENT
TPS harus dibekali dengan alat-alat untuk mengolah sampah. Secara sosial, ini adalah salah satu bentuk pemberdayaan. TPS tidak hanya diam saja melihat banyaknya sampah yang masuk, tetapi juga berusaha mengurangi. Mungkin saja, alat yang disediakan tidak murah, karena itu perlu bantuan pemerintah untuk menyediakannya. Yang jelas, ini adalah sebuah investasi untuk mengurangi beban sampah di daerah tersebut.
Orang-orang yang bekerja di TPS--dan nantinya juga di TPA--haruslah mereka yang memiliki jiwa kewirausahaan, dalam arti mampu mencari celah untuk mengurai masalah sampah. Kalau sekarang pekerja di TPS hanya diam saja, berarti belum ada inisiatif untuk mengurai masalah sampah. Kalau mereka sudah bekerja mengurangi sampah, berarti belum terekspos keluar dan menjadikan lingkungan di sekitarnya sebagai pihak-pihak yang aktif membantu mengurangi sampah. Singkatnya, masyarakat belum tahu sejauh mana TPS telah berfungsi mengelola sampah. Jangan-jangan, yang dipahami sebagai pengelolaan sampah hanyalah mengatur keluar masuknya timbunan sampah.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga berlaku di TPA. Sebagai tempat pembuangan akhir, TPA terkesan hanya sebagai penampung sampah yang tak berkesudahan. Dari level rumah tangga tidak dikurangi, dari level TPS pun hanya mengirim sampah, jadilah TPA sebagai tempat terbengkalai dan dijauhi karena hanya berisi sampah, bau dan kotor.
Jika di TPS sudah berlaku pengurangan sampah, maka di TPA seharusnya ada pengolahan sampah yang lebih canggih lagi daripada di tingkat TPS. Artinya, sampah yang tidak bisa diselesaikan di TPS, harus bisa diselesaikan--minimal dikurangi--di TPA. Dengan demikian jumlah akhir sampah menjadi berkurang secara signifikan. Tentu saja dibutuhkan para ahli untuk membuat mesin pengolah sampah yang tepat di setiap tingkatan. Yang perlu diingat, ini adalah investasi, bukan sekadar pengeluaran uang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dampaknya.
ADVERTISEMENT