Zero Waste? 'Seharusnya' Bisa (2)

Amanda Setiorini W.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Mahasiswa S3 Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
5 Juli 2019 13:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Setiorini W. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemanfaatan ulang sampah. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemanfaatan ulang sampah. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
Untuk mengurangi sampah, maka perlu diusut dari sumber sampah itu sendiri. Rumah tangga dan perorangan adalah salah satu sumber yang dapat melakukan program zero waste yang sudah dibahas pada tulisan sebelumnya. Sumber sampah lainnya adalah produsen berbagai produk yang dijual kepada masyarakat: Makanan, kosmetika, cairan pembersih, dan sebagainya. Termasuk--seharusnya--produsen baterai yang kesulitannya sudah dijelaskan sebagian pada tulisan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Dari jalur produsen, sudah dapat dipastikan bahwa sampah yang dihasilkan adalah kemasan produknya. Menjual produk dengan kemasan refill tidak berarti mengurangi sampah, justru menambah variasi sampah yang perlu diolah. Kalau tadinya hanya mengolah kemasan dalam bentuk botol, sekarang harus pula memikirkan pengolahan kemasan dalam bentuk kantong. Makin banyak, bukan? Sekali lagi, meskipun rumit, pengurangan sampah bukan hal yang mustahil dilakukan. Syaratnya adalah goodwill dari setiap pihak untuk turut serta berperan mengurangi sampah.
Ide Pertama: Kembalikan
Ide pertama adalah mengambil kembali kemasan yang telah selesai digunakan. Cara ini sudah dilakukan oleh perusahaan air mineral terhadap kemasan bekas. Namun, beberapa kesulitan masih ditemukan pada ide ini.
Pertama, belum semua produsen menyediakan alat daur ulang terhadap produknya sendiri. Hingga saat ini orientasi produsen adalah menjual produk sebanyak-banyaknya, dan belum memikirkan untuk bertanggung jawab mengolah limbahnya.
ADVERTISEMENT
Kedua. Sayangnya, jenis botol--misalnya, air mineral--yang beredar di pasar sangat beragam. Sehingga, kalau cara ini mau diberlakukan, setiap botol harus kembali kepada produsennya. Misalnya, botol air mineral A tidak bisa diambil kembali oleh produsen air mineral B. Setelah beredar begitu luas di pasar, bagaimana mengembalikan masing-masing botol kepada produsennya? Belum lagi botol jenis lain, misalnya botol sampo atau cairan pembersih lain, yang komposisinya berbeda-beda.
Ketiga, untuk dapat diolah kembali oleh sembarang produsen, maka kemasan tersebut harus dibuat seragam komposisinya. Sehingga produsen manapun berkewajiban untuk mengambil dan mengolah kembali kemasannya. Cara ini membutuhkan aturan dan serentetan kebijakan yang mungkin masih membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk dapat terwujud.
Body Shop telah memberlakukan pengembalian kemasan bekas ke gerai manapun. Pembeli yang mengembalikan kemasan bekas akan mendapat poin untuk dikumpulkan dan dapat dibelanjakan atau ditukar dengan hadiah. Sebenarnya hadiah ini tidak terlalu besar pengaruhnya, mengingat para pembeli produk ini terbiasa menghabiskan ratusan ribu untuk berbagai produk.
ADVERTISEMENT
Jadi, mendapat 10 poin pun belum tentu sepadan dengan pengeluaran mereka, dan hal itu tidak menjadi masalah. Ini hanyalah cara cerdas untuk meminta kembali kemasannya. Bagi Body Shop sendiri, pengembalian kemasan adalah upaya untuk mengurangi kemasan mereka yang disalahgunakan untuk keperluan lain. Misalnya, kemasan parfum yang dapat diisi ulang dengan parfum lain.
Khusus untuk sampah B3, produsen seharusnya mencari cara untuk mendapatkan kembali produknya yang telah beredar luas, untuk kemudian diolah dengan cara yang aman bagi lingkungan. Hingga saat ini, tempat yang secara terbuka menerima baterai bekas adalah IKEA. Hanya saja belum diinformasikan secara terbuka, bagaimana kelanjutan baterai bekas yang telah terkumpul di sana.
Cara paling mudah sebenarnya adalah kembali kepada tempat menjual. Jika misalnya baterai di jual di toko X, maka bisa dipastikan bahwa ada pengiriman produk baterai ke toko tersebut. Pengiriman yang sama, seyogianya juga mengambil kembali baterai bekas yang dikumpulkan masyarakat di toko X.
Ilustrasi zero waste. Foto: pixabay
Ide Kedua: Tanpa Kemasan
ADVERTISEMENT
Cara lain adalah dengan mewajibkan setiap produsen untuk menghasilkan kemasan yang dapat diurai. Dengan demikian, setiap produsen akan mengembangkan tim risetnya untuk dapat menciptakan kemasan yang ramah lingkungan, dalam arti dapat terurai melalui proses alami dalam jangka waktu yang relatif tidak lama, dengan hasil uraian yang tidak merusak lingkungan. Semua produsen wajib melakukan hal ini, tak terkecuali produsen kantong plastik.
Bisa juga dilakukan dengan cara pembeli membawa sendiri kemasan dari rumah untuk mengisi ulang di toko. Hal ini sudah dilakukan di negara lain. Pembeli datang membawa kemasan kosong yang nantinya diisi dengan produk yang dibutuhkan. Penjual menyediakan produknya dalam tabung besar dan pembeli dapat memilih ukuran yang dikehendaki. Misalnya, cairan pembersih lantai merek X sebanyak 500 mililiter.
ADVERTISEMENT
Mengapa hingga saat ini kita hanya berani sampai pada membatasi pemakaian plastik--yang entah berhasil atau tidak? Mengapa tidak berani membatasi berbagai kemasan produk? Toh, kita tetap membutuhkan produknya. Hanya saja, perlu dicari cara agar kemasannya tidak menambah sampah pada lingkungan yang rentan ini.
Cara ini dapat mulai dilakukan oleh produsen yang memiliki beragam produk, mulai dari sampo hingga cairan pencuci piring. Pembeli tinggal membawa botol atau kemasan sesuai kebutuhannya. Jadi, penjual tidak menyediakan kemasan sama sekali. Hal ini juga dapat dilakukan secara ritel. Tentu, dibutuhkan berbagai pengaturan agar masing-masing pihak tidak mengalami kerugian. Misalnya, membeli dalam jumlah banyak untuk dijual kembali.
Ilustrasi pemakaian plastik. Foto: pixabay
Ide Ketiga: Pemberdayaan
Jika cara pertama dan kedua masih sulit karena terhadang oleh banyaknya regulasi, masih ada cara lain. Yaitu, produsen diminta untuk turut serta memberdayakan TPS dan TPA yang ada untuk mengolah sampah yang mereka hasilkan. Dengan demikian, produsen tidak dibiarkan lepas tangan terhadap kemasan produk mereka.
ADVERTISEMENT
Caranya dapat bermacam-macam, termasuk dengan mengembangkan metode untuk mendaur ulang aneka sampah, yang seyogianya disesuaikan dengan kebutuhan di setiap tempat pembuangan. TPS A mungkin membutuhkan alat, sementara TPS B mungkin membutuhkan pelatihan, dan seterusnya. Tentunya, hal ini perlu diawasi bahwa pelaksanaannya telah sesuai dengan kebutuhan.
Yang jelas, TPS tidak dibiarkan menanggulangi sendiri masalah sampah yang datang. Mengurangi sampah adalah tugas setiap pihak. Karenanya, membantu TPS mendaur ulang sampah adalah juga bagian dari mengurangi sampah itu sendiri. Jika pengurangan sampah sudah dilakukan di setiap tingkatan, mulai dari rumah tangga, seharusnya sampah yang terkumpul di tempat pembuangan sudah semakin sedikit.
Semua Pihak
Cara mana yang harus ditempuh? Seharusnya, semua cara dilakukan untuk mengelola masalah sampah. Hanya menegosiasikan masalah sampah di Bantar Gebang saja, misalnya, tidak menyelesaikan urusan ini. Sekali ini kita sudah tidak lagi bisa memilih cara yang paling bisa dilakukan, melainkan semua cara harus digerakkan serentak. Kecuali kita mau dipindahkan ke planet lain seperti dalam film Wall-E, robot lucu yang mengurusi sampah manusia di bumi, sementara manusianya sendiri berada di kapal luar angkasa karena dunianya sudah penuh sampah.
ADVERTISEMENT
Uraian panjang di atas berpangkal pada satu hal saja: Maukah kita berubah? Sebagai individu: Maukah anda lebih peduli pada jumlah sampah yang anda buang? Maukah anda memilah sampah? Sebagai produsen: Maukah anda mengurangi sampah kemasan? Sebagai petugas TPS: Maukah anda untuk tidak menyerah pasrah terhadap sampah yang datang? Maukah anda memikirkan cara mengolah sampah?
Beberapa produsen yang telah membuat terobosan perlu menjadi contoh cerdas. Tidak perlu meniru mentah-mentah apa yang mereka lakukan. Setiap produsen sebenarnya dapat membuat sendiri program pengembalian atau daur ulang sampah yang paling sesuai dengan kondisinya.
Ilustrasi kerja sama dalam mewujudkan zero waste. Foto: pixabay
Setelah individu dan produsen, siapa lagi yang harus bertanggung jawab atas sampah? Tentu saja pemerintah, dengan membuat peraturan dan mengawasi pelaksanaannya, membuat inovasi pengolahan sampah, dan lain-lain. Beberapa pemerintah daerah sudah mengeluarkan larangan terhadap penggunaan kantong plastik, mengapa daerah lain belum? Urusan dengan pemerintah biasanya terkait dengan hal-hal politis, mengenai kepentingan siapa yang harus diutamakan. Kali ini sudah jelas, kepentingan umat manusia yang harus diutamakan, dengan cara menjaga kelestarian lingkungan--termasuk dari sampah.
ADVERTISEMENT
Jika masyarakat maupun produsen telah mulai memiliki kesadaran untuk mengurangi sampah, yang tidak kalah pentingnya adalah regulasi. Siapa yang bertanggung jawab mengurusi pengelolaan sampah? Siapa yang mengawasi pelaksanaannya? Apakah bagian dari Kementerian Lingkungan Hidup? Pemerintah perlu terlibat secara aktif, bukan sekadar wacana.
Perlu diingat pula bahwa pada era disrupsi ini, tidak semuanya harus dikerjakan sendiri. Ada pihak-pihak yang lebih ahli untuk diajak bekerja sama menyelesaikan masalah ini. Di mana saja terdapat tempat daur ulang kertas? Tempat daur ulang botol plastik? Tempat-tempat seperti itu perlu dipublikasikan dan diperbanyak di setiap wilayah agar sampah tidak terkumpul di tempat-tempat tertentu saja. Kolaborasi, seperti antara produsen dengan TPS, adalah bagian penting dari mendorong terjadinya zero waste.
ADVERTISEMENT