Pilu di Pengujung Tahun

Ana Dwi Itsna Pebriana
Editor di Penerbit Mizan Pernah belajar di UI(N) Bandung
Konten dari Pengguna
6 Januari 2023 17:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ana Dwi Itsna Pebriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Dokumentasi pribadi. Album: Ana Dwi Itsna Pebriana
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dokumentasi pribadi. Album: Ana Dwi Itsna Pebriana
ADVERTISEMENT
31 Desember 2022 menjadi hari paling mengejutkan sekaligus memilukan bagi saya dalam menutup tahun yang tidak indah-indah amat itu. Rasa antusias yang membuncah ketika akan mengakhiri tahun, berubah menjadi kisah tragis yang sayang sekali kalau tidak diabadikan dalam sebuah tulisan.
ADVERTISEMENT
Opname, inilah kenangan pahit yang saya simpan di penghujung tahun 2022 dan mengawali tahun 2023. Tanpa rencana. Semuanya serba terjadi begitu saja sesaat setelah saya melahap menu sarapan yang biasa saya santap setiap pagi: gorengan. Bedanya, ini plus cabe rawit memang. Biasanya tidak.
Saya yakin bukan hanya ini faktor penyebabnya. Kondisi tubuh yang tidak fit selama beberapa bulan terakhir dan mental juga yang kerap kali tidak jelas, menjadi faktor lainnya. Termasuk bayang-bayang seseorang di masa lalu yang terus saja mengganggu. Duh! Tapi, setidaknya ada lima hal yang saya coba jadikan pelajaran dari kejadian memilukan ini.
Oh, Rasanya Diopname Begini
Kalau tidak salah ingat, waktu kelas 5 SD, saya pernah diajak menjenguk Uwa (kakak dari ibu) ke rumah sakit. Itu pertama kalinya saya berkunjung ke tempat ini. Sebelumnya, paling hanya ke klinik atau puskesmas.
ADVERTISEMENT
First impression saya saat itu: tempat ini nyaman, wangi, dan bersih. Ditambah, kalau menginap di sana akan dibawakan makanan, bahkan disuapi. “Kok, enak banget, ya?” pikir saya saat itu. Belum lagi, dapat perhatian dari seluruh anggota keluarga. Inilah motivasi awal saya punya keinginan untuk dirawat di rumah sakit suatu saat nanti.
Betul sekali. Perkataan bisa jadi doa. Tapi, saya tidak membayangkan bahwa kejadian yang diharapkan itu akan datang saat pergantian tahun. Di saat orang lain sedang berkumpul bersama keluarga dan sahabat sambil sibuk bakar-bakaran dan menikmati aneka camilan, saya berjuang melawan sakit di perut yang tak tertahankan. Oh, sungguh menyedihkan, bukan?
Lebih menyedihkan lagi, sebagai anak kos yang jauh dari keluarga dan memang enggan mengabari keluarga, saya tertuntut untuk berusaha mandiri mengurus diri sendiri ketika di saat-saat tertentu tidak ada teman yang menemani.
ADVERTISEMENT
Poin plusnya, saya jadi bisa menemukan life hack sederhana secara tidak sengaja. Fenomena seperti ini sering terjadi, kan? Kita sering kali menemukan cara-cara tak terduga ketika dihadapkan pada situasi sulit di depan mata. Rasanya kalau sedang dalam kondisi normal, tidak akan, tuh, kepikiran trik-trik semacam ini.
Jadi Lebih Bersyukur
Tentu saja ini poin paling utama. Dari setiap kejadian, bersyukur adalah hal yang terpikirkan paling mudah untuk dijadikan hikmah.
Selama ini, saya kerap sombong dengan kesehatan yang saya rasakan; merasa bakal sehat terus. Pasalnya, ketika duduk di bangku sekolah sampai kuliah, saya jarang sekali sakit, apalagi sampai parah. Paling hanya sebatas flu dan batuk biasa. Tidak terbayangkan bisa sampai diopname seperti ini.
ADVERTISEMENT
Tapi, saya jadi belajar untuk mensyukuri setiap waktu yang saya miliki. Juga belajar menghargai makanan yang bisa saya nikmati. Dalam waktu 25 tahun ini mungkin saya kurang mensyukuri dan menghargai itu semua; makan dengan tidak berselera, makan apa saja yang penting enak, dan bahkan tidak makan sama sekali bila dirasa itu membuang waktu. Apalagi, kalau tidak ada yang bertanya, “Kamu udah makan?”
Punya Banyak Waktu untuk Berkontemplasi
Selama empat hari “staycation” di rumah sakit, tentu saja membuat saya jadi punya banyak waktu. Lebih tepatnya, gabut sepanjang hari. Saya teramat bosan bila seharian hanya diisi dengan berbaring atau istirahat. Rasanya, justru malah membuang-buang waktu. Merasa nirfaedah sekali hidup ini.
ADVERTISEMENT
Saya pun berinisiatif untuk meminta kawan saya membawakan buku ketika akan berkunjung ke rumah sakit. Ya, meskipun saya hanya berhasil membaca beberapa lembar, sih. Lumayan, lah, ya.
Selain itu, saya juga memanfaatkan waktu yang panjang ini untuk berkontemplasi. Betul-betul memikirkan banyak hal. Tapi, konteksnya bukan overthinking, ya. Kita sebut saja tafakur. Padahal, disisipi overthinking juga, sih, sedikit :)
Ternyata, melakukan proses berpikir dan merenung di tempat yang berbeda, punya hasil yang berbeda pula. Rasanya, pikiran jadi lebih terbuka, lebih objektif melihat sesuatu, dan ada rasa tenang, meskipun diiringi suara pasien-pasien lain yang meraung kesakitan di sisi kanan dan kiri. Maklum, saya bukan pasien kamar VIP.
Bukan Hanya Pasien yang Bisa Sakit
ADVERTISEMENT
Sebagai pasien non-VIP, menjadi sebuah keniscayaan bila saya harus satu ruangan dengan beberapa pasien lainnya. Awalnya saya sangsi, bahkan sempat ingin mengajukan pemindahan kamar ke VIP, supaya bisa tenang karena hanya sendiri. Tapi, saya sadar diri; gaji saya memang berapa, sih?!
Nyatanya, keputusan yang tepat untuk tetap berada di ruangan itu. Saya jadi dapat inspirasi tambahan untuk menulis; saya jadi sadar bahwa yang bisa sakit, bukan hanya pasien, melainkan orang yang menjaga pasien pun bisa ikutan sakit juga.
Kurang lebih inspirasi yang datang dari sebelah ranjang saya bunyinya begini, “Mamah atuh makan yang banyak, biar bisa cepet pulang. Kita juga udah capek gantian terus, si (nama) sampe sakit. Kalo Mamah gak mau makan, udahlah, saya mau pulang aja.
ADVERTISEMENT
Ucapan itu jelas bukan untuk saya memang. Tapi, saya merasa ikutan “dimarahi” karena saat itu saya merasa malas sekali makan makanan rumah sakit. Tidak berselera. Rasanya ingin langsung pulang segera.
Mendengar omelan itu, dengan setengah terpaksa saya pun menghabiskan makanan yang sudah ada di hadapan saya. Betulan habis tak bersisa. Saya tidak bisa membayangkan kalau makin lama di rumah sakit, siapa pula yang mau jagain? Saya juga tidak mau teman yang menemani saya jadi ikutan sakit karena kelelahan. Nanti ketika saya sembuh, gantian dia yang mesti dijagain. Terus berganti lagi jadi saya yang sakit karena kelelahan. Skenario macam apa, ini?
Ternyata Banyak yang Sayang dan Peduli
Jujur, saya sering kali merasa sendiri. Teramat sendiri; kesepian, merasa gelisah, takut, dan cemas kalau-kalau tidak ada yang akan peduli pada saya. Merasa tidak akan ada yang membantu saya ketika membutuhkan bantuan.
ADVERTISEMENT
Sekalipun ada, rasanya takut sekali merepotkan. Pikiran-pikiran yang sebetulnya hanya ada dalam kepala; prasangka semata, bukan yang betulan terjadi di kehidupan nyata.
Ketika terbaring sakit kemarin, terasa sekali bahwa saya ternyata tidak sendirian. Terlihat jelas bahwa banyak orang yang sayang dan peduli pada saya, si overthinker akut yang terkadang menyebalkan ini. Terima kasih, Kawan! Kalian baik sekali.
Sekian, pengalaman memilukan sekaligus mengharukan saya dalam mengakhiri tahun 2022 dan menyambut 2023. Salam sehat. Meskipun hari-hari kita terasa berat, jangan terus berpura-pura kuat. Mari, istirahat! []