Konten dari Pengguna

Selintas Catatan Peneliti ITB: Modifikasi Motor BMX CUB, antara Sepeda dan Motor

Ananda Bintang
Jurnalis Lepas, alumnus Unpad
17 Juli 2024 9:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ananda Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Modifikasi motor pada awal dekade 2000-an lazimnya berkutat di perubahan warna bodi motor, ganti velg, sampai memangkas tinggi motor agar ceper atau pendek.

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tren modifikasi motor mulai berubah pada 2012-an ketika tren merombak total motor atau yang dikenal dengan istilah “kustom motor” mulai digemari kalangan pecinta motor. Puncak tren kustom motor ditandai dengan banyaknya bermunculan festival kustom motor yang salah satunya dimotori Kustomfest Yogyakarta pada 2012.
ADVERTISEMENT
Kultur mengkustom motor itu lalu menjadi tren yang mengakar dan awet di beberapa daerah hingga hari ini, terutama Yogyakarta yang bisa dibilang menjadi episentrum kultur kustom motor. Hal itu membuat motor kemudian tidak lagi identik sebagai produk desain yang fungsional dan bernilai ekonomis, tetapi juga sebagai produk kebudayaan.
Pengaruh kultur itu juga terasa sampai pelosok Yogyakarta dan dari berbagai dimensi masyarakat. Kami, yang tergabung dalam Tim PPMI ITB KK Literasi Budaya Visual menemui Zaenal, seorang PNS di Wonolelo yang 5-10 tahun belakangan gemar mengkustom motor.
“Saya mulai mengkustom karena banyak temen-temen yang juga ngekustom motor. Hampir setiap rumah di kelurahan ini punya motor dan beberapa di antaranya itu dikustom,” ujarnya. Zaenal setidaknya memiliki empat motor kustom, di antaranya adalah dua motor bermesin Honda GL Pro dengan gaya kustom Brat dan dua lagi BMX Cub.
ADVERTISEMENT
BMX Cub adalah Honda Cub Low Budget yang Turut Digandrungi Cucu Sultan
Salah satu jenis motor kustom menarik yang dimiliki Zaenal adalah BMX Cub. Motor tersebut memiliki rangka dari sepeda BMX, tetapi ditempel mesin motor bebek seperti Smash, Shogun, Jupiter, dan sejenisnya. “BMX Cubnya ada dua. Yang satu dari rangka BMX, satu lagi rangkanya dari sepeda yang ada keranjangnya,” pungkas Zaenal.
Motor BMX Cub yang dimiliki Zaenal. Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi.
Jika dilihat sekilas, BMX Cub ini mengambil referensi dari motor Honda Cub yang diproduksi Honda pada 1958. Motor Honda Cub mulai menjamur di Indonesia pada era 80-an dengan berbagai model Honda Cub dari mulai C70, C90, sampai C800. Namun tak lama berselang, Honda tidak lagi mengeluarkan model C series.
ADVERTISEMENT
Berhentinya produksi motor klasik sementara angka peminatnya tiba-tiba melonjak pada 2013-an menjadi salah satu faktor yang membuat harga motor klasik seperti Honda Cub melambung. Untuk menekan budget dan melakoni hobi ngotak-ngatik atau ngoprek, para pecinta motor klasik mengkustom motor modern dengan look klasik yang kemudian menjamur hingga kini.
Cara tersebut juga dilakukan Zaenal melalui BMX Cub-nya yang memiliki kemiripan dengan Honda Cub. Keduanya sama-sama memiliki bentuk bodi, setang, dan basis mesin yang kecil. “Memang sekarang kebanyakan modifan motor itu kembali ke zaman dulu. Jadi mesin motornya modern tapi look-nya itu klasik. Sekarang motor klasik yang ori itu udah mahal, RX King saja sudah ratusan juta,” jelas Zaenal.
Meskipun UMR Jogja memprihatinkan, Zaenal setidaknya merogoh kocek belasan juta untuk memodif BMX Cub yang berasal dari mesin Shogun dan Smash itu. Harga yang tentunya jauh lebih murah dibandingkan membeli Honda Cub Ori meskipun lebih mahal dari harga motor Shogun dan Smash. “Yang namanya hobi itu memang untuk senang-senang. Tapi modif memang harus sabar, pelan-pelan dan satu-satu belinya. Istilahnya kanibal. Lantas kalau ditanya habis berapa ya kalau becandanya orang motor itu ya habis-habisan,” kelakar Zaenal.
ADVERTISEMENT
BMX Cub sendiri mulai ngetren sejak 2018 dan mulai naik lagi dua tahun belakangan ini yang ditandai dengan bermunculannya komunitas BMX Cub di berbagai daerah. Di Yogyakarta terdapat komunitas bernama Obar Abir BMX Cub yang diketuai oleh Romo Acun. “Komunitas BMX Cub ini serius lho, bahkan orang keraton cucu Sri Sultan HB VIII, Ndoro Acun itu ngurusin komunitas ini untuk merangkul anak muda di Jogja,” kata Zaenal.
Turing Jogja-Pangandaran mengandalkan Kapasitas Bensin Satu Liter
BMX Cub hanya memiliki wadah bahan bakar yang menyatu dengan rangka sepeda sehingga tidak bisa memuat kapasitas yang banyak atau sekira kurang lebih 600 ml sampai 1 liter. Meskipun menyatu dengan rangka, para pemilik BMX Cub seperti Zaenal kerap menyisipkan satu tempat untuk botol 800 ml yang berisikan bensin cadangan untuk jaga-jaga.
ADVERTISEMENT
Karena kapasitas bahan bakar yang sedikit ditunjang dengan mesin motor yang ber-cc kecil, BMX Cub sejatinya tidak cocok untuk perjalanan jauh. Ditambah surat-surat pajak motor yang tidak lengkap karena motor BMX Cub dan motor kustom sejenisnya diambil dari berbagai bagian motor lain sehingga sulit untuk didefinisikan secara tersurat.
Kendati demikian, Zaenal justru menggunakan BMX Cub untuk turing. Menurut pengakuan Zaenal, perjalanan terjauh yang ditempuh BMX Cub miliknya sekira 400 km dari Jogja ke Pangandaran bolak-balik. Meskipun mesin Shogun dan sejenisnya itu terkenal irit, tapi selama turing, Zaenal mengaku ratusan kali mengisi bensin karena kapasitasnya hanya 2 liter termasuk cadangan.
“Tapi memang yang namanya turing itu kan yang serunya di kebersamaan sama temen-temen komunitas. Ibaratnya kita sama-sama seneng juga sama-sama susah. Juga ada kebanggaan tersendiri dengan motor sekecil itu bisa kuat ratusan km. Apalagi gerombolan gitu kan, jadi meskipun ndak ada STNK motornya kalau gerombolan juga kan polisi bingung mau nilangnya kaya gimana,” pungkas Zainal.
Tim Peneliti mengunjungi rumah Zaenal. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
---
ADVERTISEMENT
Tulisan ini merupakan salah satu bagian dari penelitian PPMI ITB Kelompok Keahlian Literasi Budaya Visual tentang Pergeseran Desain dan Fungsi Sepeda Motor di Yogyakarta dan Bandung. Penelitian ini diketuai Acep Iwan Saidi dan beranggotakan Dana Waskita, Harifa Ali Albar Siregar, Zamzami Almakki, Bima Nurin, dan Ananda Bintang Purwaramdhona.