Konten dari Pengguna

Maraknya Hate Speech pada Content Creator TikTok di Indonesia

Ananda Putri Wandika
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran tahun angkatan 2022
18 November 2024 11:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ananda Putri Wandika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sc: Canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Sc: Canva.com
ADVERTISEMENT
Era digital tentu membuat informasi dan teknologi dapat berkembang dengan pesat. Semua orang dapat mengakses informasi dengan internet melalui jejaring sosial. Media sosial begitu banyak dipilih oleh masyarakat Indonesia khususnya Gen Z dan Milenial. Berdasarkan data yang diperoleh dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menyebutkan bahwa terdapat 221.563.479 jiwa di Indonesia yang menggunakan internet di tahun 2024 dari 278.696.200 total jiwa di Indonesia. Artinya sebanyak 79,5% warga Indonesia menggunakan internet. Dilihat dari segi usia, mayoritas pengguna internet adalah generasi Z (kelahiran 1997-2012) dengan persentase 34,40%. Sementara itu, generasi milenial (kelahiran 1981-1996) menduduki angka 30,62%.
ADVERTISEMENT
Penggunaan sosial media di Indonesia juga sangat tinggi dibanding negara-negara lainnya. Data terbaru menunjukan pengguna TikTok saat ini di Indonesia mencapai 157,6 juta pengguna. Angka ini merupakan angka terbesar di seluruh dunia. Lalu di peringkat kedua terdapat negara Amerika Serikat dengan jumlah 120,5 juta pengguna TikTok.
Content creator merupakan seseorang yang bisa memproduksi beragam konten digital di media sosial. Saat ini TikTok merupakan salah satu media besar yang dapat menaungi segala jenis konten yang diciptakan oleh para content creator khususnya di Indonesia. Tak bisa dihindari media sosial adalah tempat yang rawan terjadi kekerasan digital. Cyberbullying, hacking, illegal content, plagiarism, doxing merupakan beberapa kekerasan yang dapat terjadi di dunia digital.
Dalam hal ini content creator TikTok di Indonesia merupakan salah satu kelompok yang rawan mengalami kekerasan digital. Selain dari banyaknya konten yang mereka buat tentunya hal ini tak luput dari berbagai macam komentar yang mereka terima, salah satunya adalah komentar buruk yang dilakukan oleh haters. Dalam hal ini penulis akan mengambil salah satu contoh kasus yang terjadi pada content creator di Indonesia @fujiiian. Ia memiliki 28,6 juta pengikut di akun TikTok nya.
ADVERTISEMENT
Fuji yang merupakan seorang content creator Tiktok seringkali mendapat banyak endorsement sehingga popularitasnya meningkat dengan pesat. 11 dari 15 konten TikTok yang Fuji buat berisi tentang lipsync video dan juga dance cover. Dimana 4 lainnya merupakan konten mukbang atau review makanan. Tidak ada yang salah dari isi konten yang dibuat oleh Fuji, akan tetapi selalu ada komentar jahat yang menyerangnya. Hingga saat ini Fuji masih mendapati komentar jahat di akun tiktok nya.
Dari beberapa hujatan-hujatan yang ada di dalam kolom komentar Fuji itu pun membuat Ia menjadi serba salah, terbukti dari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Denny Sumargo dalam program podcast di kanal YouTube nya. Denny mengatakan “apa hal yang paling capek lu dengerin?”, dengan raut wajah yang terlihat seperti sedang menutupi rasa sakitnya Fuji menjawab, “semuanya sih, semuanya serba salah kak Densu coba deh buka TikTok aku, buka Instagram aku, baca komennya langsung. Semua hal itu dibahas, sampe mataku yang jelek lah, kulit sawo matang ini dibilang jelek lah, tentang masa lalu aku lah, tentang abang aku, tentang aku beli mobil aja dibilang star syndrome, tentang orang tua aku, tentang Gala, aku dibilang ngasuh Gala hanya untuk keuntungan, semuanya itu dibahas.” Tak bisa dipungkiri gadis berusia 22 tahun ini harus mengalami hari-harinya yang tak luput dari hujatan netizen setelah mengalami kedukaan atas kepergian kakaknya 2021 lalu.
ADVERTISEMENT
Sebagai content creator juga influencer, Fuji mendapatkan banyak engagement dari hal tersebut. Namun, tidak ada yang menginginkan popularitas berkat bantuan dari banyaknya hate comment khususnya Fuji sendiri. Menjadi seorang influencer tentunya menarik perhatian banyak orang. Beberapa menjadikannya role model karena postur tubuhnya yang ideal membuat hal ini sangat diinginkan oleh para perempuan di Indonesia. Influencer media sosial adalah seseorang yang sering dan aktif dalam menciptakan konten juga memiliki jangkauan pengikut yang besar.
Cyberbullying dapat menyebabkan berbagai dampak emosional, psikologis, dan perilaku yang maladaptif, seperti kesedihan, kecemasan, depresi, dan bisa menyebabkan perilaku anti sosial. Keparahan dari dampak ini tidak bisa diremehkan atau diabaikan, itulah sebabnya konsep cyberbullying muncul di kesadaran publik. Korban pelecehan online memiliki beberapa karakteristik umum di berbagai negara dan budaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan budaya dan konteks sosial, pola perilaku negatif di dunia maya cenderung serupa di banyak tempat. Misalnya, korban sering kali merasa takut, cemas, dan mengalami dampak emosional yang signifikan, yang mirip terlepas dari lokasi geografis mereka.
ADVERTISEMENT
Salah satu mengapa para pelaku kejahatan melakukan tindakan cyberbullying adalah karena mereka tidak merasa bersalah. Pelaku cyberbullying merasa memiliki kebebasan untuk menyuarakan pendapat mereka tentang apa yang mereka lihat, tetapi tanpa disadari, tindakan mereka justru menyakiti orang lain dan juga melanggar undang-undang. Kebebasan berpendapat harus didasarkan atas tanggung jawab pribadi dan tidak disalahgunakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Peraturan ini menyatakan bahwa ekspresi melalui tutur kata, tulisan, atau ekspresi bebas dan bertanggung jawab diperbolehkan, asalkan tetap sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Di media sosial, sering terjadi cyberbullying, terutama terhadap content creator di platform seperti TikTok. Lemahnya penegakan hukum UU ITE di Indonesia membuat kejahatan di dunia maya terus menjadi-jadi karena kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia atas hukum yang berdiri.
ADVERTISEMENT
Tindak kejahatan ini sesuai dengan Routine Activity Theory yang dikemukakan oleh Cohen & Felson (1979), dimana menurutnya tindak kejahatan dapat terjadi karena 3 elemen utama, pertama adanya pelaku yang termotivasi untuk melakukan tindak kejahatan, adanya target sasaran, tidak adanya privasi yang dapat menghambat terjadinya kejahatan.
Pada aplikasi TikTok sendiri tentunya sudah menyediakan beberapa fitur yang dapat menghindarkan kita dari berbagai bentuk kekerasan digital. Salah satu fitur yang paling mudah dilakukan adalah dengan mematikan kolom komentar pada video TikTok yang diunggah oleh kreator. Hal ini dapat meminimalisir adanya hate speech yang terjadi pda korban kekerasan. Namun, disamping dari tindakan pencegahan sebaiknya kita semua sebagai pengguna media sosial haruslah bijak dalam menggunakannya. Kesadaran diri merupakan hal penting yang mesti tertanam dalam diri kita. Selain kita menjaga diri sendiri dari perbuatan iri dan dengki, menjaga tutur kata dan jemari merupakan salah satu hal yang sedang kita lakukan untuk menjaga hati orang lain.
ADVERTISEMENT