news-card-video
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

LNG dalam Hubungan Jepang-Tiongkok: Sinergi dan Ketergantungan di Pasar Energi

Ananda Saputri
Saya sedang menempuh pendidikan S1 di Universitas Sriwijaya jurusan Ilmu Hubungan Internasional angkatan 2022
4 Maret 2025 14:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ananda Saputri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: iStock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: iStock
ADVERTISEMENT

Ananda Saputri, Universitas Sriwijaya

Artikel ini akan mendiskusikan isu transisi energi Jepang setelah bencana 11 maret 2011 dan tragedi Fukushima, yang mendorong negara tersebut untuk mencari alternatif yang lebih aman dan berkelanjutan dalam pasokan energinya. Sejak itu, Jepang beralih dari ketergantungan pada energi nuklir ke gas alam cair (LNG) sebagai solusi untuk memastikan keberlanjutan pasokan energi. Kemitraan dengan Tiongkok dalam sektor LNG juga menjadi hal yang krusial dalam konteks peningkatan kebutuhan energi dan perubahan dinamika geopolitik global.
ADVERTISEMENT
Penulis memahami bahwa Jepang perlu mendiversifikasi sumber energinya untuk mencapai tujuan jangka panjang dalam pengurangan emisi karbon dan menjaga stabilitas pasokan energi. Melalui peningkatan kolaborasi dan kerjasama regional, Jepang tidak hanya berupaya memenuhi kebutuhan energi saat ini, tetapi juga membangun ketahanan energi yang lebih baik di Asia Timur. Dalam pandangan penulis, langkah-langkah strategis ini sangat penting untuk mengatasi tantangan energi yang ada dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi Jepang.
Sumber: Jurnal (Yong Ung, 2020)
Gambar di atas adalah tabel dari jurnal (Yong Ung, 2020) yang menampilkan regulasi batas emisi sulfur oleh International Maritime Organization (IMO) berdasarkan tahun. Tabel ini membandingkan batas kandungan sulfur oksida (SOₓ) dalam bahan bakar kapal sebelum dan setelah 1 Januari 2020 di dua kategori wilayah: SOₓ emission control areas dan all areas. Sebelum tahun 2020, di wilayah pengendalian emisi SOₓ, batas maksimum sulfur adalah 1.5% m/m, tetapi setelah 1 Januari 2020, batas ini diturunkan menjadi 0.1% m/m. Sementara itu, untuk semua area di dunia, batas emisi sulfur awalnya 3.5% m/m, namun setelah peraturan baru diberlakukan, batas ini dikurangi secara signifikan menjadi 0.5% m/m.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini menunjukkan langkah IMO dalam memperketat regulasi emisi sulfur untuk mengurangi dampak lingkungan yang disebabkan oleh industri maritim. Penerapan batas baru ini memaksa pemilik kapal untuk mencari alternatif bahan bakar yang lebih bersih, seperti Liquefied Natural Gas (LNG), atau menerapkan teknologi pengurangan emisi seperti scrubbers yang dapat mengurangi kadar sulfur dalam emisi gas buang.
Setelah bencana gempa bumi dan tsunami pada 11 Maret 2011, serta kecelakaan nuklir di Fukushima, Jepang dihadapkan pada krisis energi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penutupan reaktor nuklir dan tujuan untuk meningkatkan keamanan pasokan energi mendorong Jepang untuk mencari alternatif yang lebih aman dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, kemitraan dengan Tiongkok dalam sektor gas alam cair (LNG) tidak hanya relevan, tetapi juga penting untuk memastikan kepastian pasokan energi di masa depan.
ADVERTISEMENT
Peran Kritis LNG dalam Kebijakan Energi
Para pemangku kebijakan kini terpaksa meninjau kembali pendekatan mereka terhadap energi nuklir, dan keseimbangan antara energi terbarukan dan energi fosil menjadi isu yang lebih mendesak. Masyarakat Jepang, yang semakin kritis terhadap kebijakan nuklir setelah insiden Fukushima, mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan alternatif yang lebih bersih dan aman LNG bukan hanya tentang mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh energi nuklir, tetapi merupakan langkah strategis untuk memodernisasi dan mendiversifikasi portofolio energi Jepang. Ketergantungan yang berlebihan pada satu sumber energi seperti batu bara atau nuklir, menjadikan Jepang rentan. Diversifikasi dengan memperluas penggunaan LNG dapat membantu negara ini tidak hanya dalam memenuhi kebutuhan jangka pendek tetapi juga dalam mencapai tujuan jangka panjang terkait pengurangan emisi karbon dan keberlanjutan energi.
ADVERTISEMENT
Jepang merupakan importir terbesar LNG di dunia. Bahkan sebelum bencana gempa bumi dan tsunami pada 11 Maret 2011, impor LNG Jepang sudah mencapai 93,5 miliar meter kubik, atau sekitar 31% dari perdagangan LNG global. Setelah insiden Fukushima, Jepang semakin bergantung pada LNG untuk menggantikan penurunan pasokan listrik dari pembangkit nuklirnya. Kenaikan impor ini tidak hanya berdampak pada pasar LNG global, tetapi juga memengaruhi dinamika geopolitik energi dunia (Koyama, 2013). Oleh karena itu, Jepang perlu mengembangkan strategi yang matang untuk memaksimalkan manfaat LNG.
Kemitraan Energi yang Kuat
Dalam pasar LNG global, setiap negara yang mengimpor gas alam cair (LNG) tentu bersaing untuk mendapatkan pasokan terbaik sesuai dengan kebutuhan mereka. Jepang, sebagai salah satu importir utama, juga berada dalam posisi kompetitif dengan negara-negara konsumen LNG lainnya. Namun, di sisi lain, negara-negara yang bergantung pada LNG juga memiliki kepentingan bersama, baik sebagai pembeli maupun pengguna, sehingga kerja sama tetap menjadi faktor penting dalam menjaga stabilitas pasokan energi. Secara regional, Jepang berbagi pasar LNG dengan negara-negara tetangganya di Asia Timur Laut, seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Taiwan. Bersama-sama, kawasan ini menyumbang sekitar 57% dari total perdagangan LNG global, dengan impor mencapai 189,2 miliar meter kubik. Selain itu, permintaan LNG juga meningkat di India dan negara-negara ASEAN, yang mendorong pentingnya kerja sama antarnegara pengimpor LNG untuk mengatasi tantangan terkait keamanan pasokan energi (Koyama, 2013).
ADVERTISEMENT
Sebagai langkah konkret, Forum Pasar LNG Asia pertama diadakan di Shanghai pada November 2012, mempertemukan perwakilan dari Tiongkok, India, Jepang, Korea, dan Taiwan. Mereka membahas prospek pasokan LNG, tantangan pasar, serta kemungkinan kerja sama dalam pengembangan jaringan pipa gas regional. Diskusi ini menjadi semakin relevan mengingat ketegangan geopolitik yang terjadi di Asia Timur Laut, seperti sengketa Kepulauan Senkaku antara Jepang dan Tiongkok serta ketegangan antara Jepang dan Korea Selatan terkait isu sejarah. Meskipun situasi politik dapat mempengaruhi hubungan antarnegara, kerja sama dalam bidang energi tetap menjadi kebutuhan strategis yang dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Jepang semakin meningkatkan kerjasama dengan Tiongkok dalam bidang energi, khususnya dalam hal pengadaan LNG dan pengembangan teknologi energi terbarukan. Kemitraan ini berfungsi untuk memperkuat keamanan pasokan energi kedua negara, mengingat kebutuhan Tiongkok yang terus meningkat serta dampak perubahan yang terjadi di pasar energi global. Salah satu bentuk kerja sama utama antara Jepang dan Tiongkok dalam bidang energi adalah China-Japan Comprehensive Forum on Energy Saving and Environmental Protection, yang pertama kali diadakan pada tahun 2006 di tingkat menteri. Forum ini menjadi wadah penting bagi kedua negara untuk berdiskusi mengenai pengembangan teknologi hemat energi dan lingkungan, serta mempertemukan para ahli, pelaku bisnis, dan peneliti guna mendorong kolaborasi di sektor energi terbarukan (Korneev & Pechishcheva, 2020). Kerjasama ini mencakup di mana Jepang-Tiongkok dapat berbagi pengalaman dalam efisiensi energi. Melalui dialog yang konstruktif, kedua negara dapat bekerja sama untuk mengatasi tantangan energi yang ada. Dengan memperkuat hubungan ini, Jepang dan Tiongkok tidak hanya dapat menciptakan stabilitas pasar energi yang lebih baik, tetapi juga meningkatkan keterhubungan ekonomi dan politik di kawasan Asia Timur.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Jepang, setelah mengalami krisis energi akibat tragedi 11 maret 2011 dan bencana Fukushima, telah melakukan transisi dari ketergantungan pada energi nuklir ke gas alam cair (LNG) untuk memastikan pasokan energi yang berkelanjutan dan aman. Kemitraan strategis dengan Tiongkok dalam sektor LNG menjadi krusial untuk menghadapi tantangan pasokan energi global dan meningkatkan ketahanan energi. Dengan mendiversifikasi sumber energinya dan memprioritaskan pengembangan energi terbarukan, Jepang bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai keberlanjutan energi jangka panjang, sekaligus memperkuat kerjasama regional dalam menghadapi dinamika geopolitik yang kompleks di Asia Timur.
References
Korneev, K., & Pechishcheva, L. (2020). Japan’s Energy Policy towards the SCO Member States: Current Situation and the Perspectives. EDP Sciences, 209, 05006.
ADVERTISEMENT
Koyama, K. (2013). The changing LNG situation in Japan after March 11. TheGeopolitics of Natural Gas, 34.
Yong Ung, Y. S. (2020). Improving Liquefied Natural Gas Bunkering in Korea through the Chinese and Japanese Experiences. Sustainability, 12(22), 9585. doi: https://doi.org/10.3390/su12229585
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210611154351-4-252437/salip-jepang-china-bakal-jadi-top-importir-lng-dunia
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210610092325-85-652494/china-bakal-salip-jepang-jadi-pembeli-lng-terbesar-dunia