Anies Kritik Anggapan Pancasila Terwujud saat Minoritas Jadi Pemimpin

24 Maret 2017 14:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Anies disambut warga Rorotan, Jakarta Utara. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Dalam pertemuan dengan sejumlah pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Cagub DKI Anies Baswedan sempat mendapat pertanyaan mengenai politik dengan saling menyerang identitas dalam Pilgub DKI.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan hal itu, Anies mengungkapkan ketidaksetujuannya atas pernyataan Basuki Tjahaja Purnama yang menurutnya malah mendorong perpecahan.
"Saya beri contoh, kenapa saya tidak setuju dengan pernyataannya Pak Basuki. Katanya, Pancasila mencapai puncaknya bila minoritas menjadi pemimpin. Itu adalah pernyataan yang memecah," ujar Anies di Gedung Dewan Pers, Gambir, Jakarta Pusat, Jum'at (24/3).
Menurut Anies, Pancasila mencapai kesempurnaannya ketika keadilan sosial hadir bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, Anies menyebut, yang dibutuhkan ialah seorang pemimpin yang bisa mendorong titik temu.
Dalam beberapa kesempatan, timses Ahok-Djarot seringkali berkampanye bahwa memilih pemimpin yang minoritas sejalan dengan nilai Pancasila mengenai persatuan Indonesia.
Anies - Sandi di Gedung Dewan Pers (Foto: Wandha Nur/kumparan)
Anies mengaku sengaja tidak memberikan pernyataan yang menyentuh identitas sebab, katanya, ia sadar sebagai tokoh publik pernyataannya dapat menyetir opini publik. Maka ia lebih berfokus membicarakan program.
ADVERTISEMENT
Situasi Pilgub DKI yang sarat akan sentimen identitas, menurutnya, bukan semata karena pernyataan Basuki itu. Melainkan ada banyak faktor yang turut mendorong situasi dan opini pada politik identitas.
"Kalau kemarin itu ibaratnya ladangnya kering. Kita itu lagi di hutan yang kering kerontang jadi kalau ada sepuntung rokok yang jatuh bisa menghasilkan kebakaran," ujar Anies.
"Ya kalau dia puntung rokok jatuhnya di kamar mandi enggak akan kebakaran, karena basah. Kalau lagi musim hujan, enggak akan kebakaran. Jadi kombinasi banyak faktor," sambungnya.
Menurut Anies, identitas memang menjadi salah satu pertimbangan seseorang untuk menentukan pilihan. Faktor itu menjadi salah satu yang menyebabkan masyarakat terpolarisasi.
ADVERTISEMENT
Anies - Sandi di Gedung Dewan Pers (Foto: Wandha Nur/kumparan)
"Satu faktor identity, yang satu faktor 'what it needs' atau saya dapat apa. Identity itu bisa macam-macam, bisa party affiliation, bisa religion, bisa race, bisa ethnic, bisa segala macam. Kemudian yang what it needs for me juga bisa macam-macam," ujar Anies.
Bangsa Indonesia, katanya, sudah berpengalaman dalam menghadapi polarisasi. Ia menyebut polarisasi yang ada saat ini tidak begitu mengkhawatirkan dibandingkan, misalnya, dengan pada masa demokrasi terpimpin.
Pada masa itu sekitar tahun 1950-an dan 1960-an, polarisasi yang terjadi dalam masyarakat berdampak pada konflik hingga pemberontakan. Sedangkan saat ini polarisasi cenderung terjadi hanya ada di media sosial.
"Maksud saya kita ini sudah melewati yang berbagai macam tantangan, bagi yang menjalani rasanya berat, tapi bagi sebuah bangsa, kalau sejarah membaca, ini adalah periode," jelasnya.
ADVERTISEMENT
"Kita kan enam bulan ni. Bayangkan Demokrasi Terpimpin itu enam tahun. Enam tahun tuh, dari 1959 sampai 1965. Itu kan periode yang panjang sekali dibandingkan kita sekarang," tambah mantan Mendikbud itu.
Anies mengajak seluruh pihak untuk memandang Pilgub DKI ini sebagai sebuah periode yang disebutnya 'learning process of the nation". Dari polarisasi pada masa Demokrasi Terpimpin itu misalnya, kata Anies, menghasilkan kesepakatan Pancasila yang lebih matang.
"Jadi menurut saya ini mudah-mudahan jadi bahan pelajaran supaya kita menjadi lebih matang dalam berdemokrasi," tutup Anies.