Konten dari Pengguna

Era Baru Satu Data Kependudukan

Andhie Surya Mustari
Seorang statistisi yang bekerja di Badan Pusat Statistik sejak tahun 2000, lulusan magister statistika Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya dan Diploma IV Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.
11 Februari 2021 8:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andhie Surya Mustari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ferdi Hasan dan Desi Novianti saat memandu acara rilis bersama data kependudukan Indonesia, tanggal 21 Januari 2020
zoom-in-whitePerbesar
Ferdi Hasan dan Desi Novianti saat memandu acara rilis bersama data kependudukan Indonesia, tanggal 21 Januari 2020
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 21 Januari 2021 yang lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan rilis bersama hasil Sensus Penduduk (SP) 2020. Momen tersebut menandai era baru satu data kependudukan dan membuka gerbang pemanfaatan data yang lebih luas. Di sisi lain, hasil SP 2020 juga menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan.
ADVERTISEMENT
Selama ini, data kependudukan dikelola secara terpisah oleh BPS, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri, serta beberapa institusi lainnya.
BPS mencatat penduduk melalui kegiatan sensus dan survei secara de facto, yaitu sesuai alamat domisili di mana biasanya tinggal. Sedangkan data Adminduk menghitung jumlah penduduk secara de jure, yaitu sesuai alamat yang tercatat pada dokumen kependudukan, seperti Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), serta Akta Kelahiran.
Perbedaan konsep dan metode tersebut menyebabkan perbedaan pada data yang dihasilkan dan kerap menimbulkan masalah.
Penyaluran bantuan sosial (bansos) misalnya, kerap dilaporkan masih mencantumkan nama penduduk yang sudah meninggal, pindah, atau tidak dikenal. Begitu pula daftar pemilih yang digunakan untuk kegiatan demokrasi, kerap menimbulkan kecurigaan atas adanya kecurangan. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat.
Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto, memberikan sambutan saat rilis data hasil Sensus Penduduk 2020
Pada tahun 2019, pemerintah mengeluarkan dua Peraturan Presiden (Perpres) yang memungkinkan upaya penyatuan data kependudukan, yaitu Perpres Nomor 39 tentang Satu Data Indonesia dan Perpres Nomor 62 tentang Strategi Nasional Percepatan Administrasi Kependudukan untuk Pengembangan Statistik Hayati. Berdasarkan regulasi tersebut, BPS memiliki legitimasi yang cukup untuk menyelenggarakan SP 2020 menggunakan metode yang direkomendasikan oleh United Nations (UN).
ADVERTISEMENT
SP 2020 menggunakan metode kombinasi, yaitu dengan memanfaatkan Daftar Penduduk dari data Adminduk sebagai dasar pencatatan penduduk dari rumah ke rumah. Penggunaan data Adminduk pada SP 2020 bertujuan untuk mewujudkan satu data kependudukan di Indonesia. Harapannya, hasil SP 2020 dapat memutakhirkan dan menyelaraskan data kependudukan dari berbagai sumber, sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan secara real time.
Catatan dari Hasil SP 2020
Jumlah penduduk Indonesia hasil SP 2020 sebanyak 270,20 juta jiwa pada bulan September 2020, sementara data Adminduk menunjukkan angka 271,35 juta jiwa pada bulan Desember 2020. Penduduk Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 0,14 persen dalam waktu tiga bulan. Angka ini menunjukkan keselarasan data kependudukan, baik ketika dihitung secara de facto maupun de jure.
Jumlah penduduk Indonesia secara de jure dan de facto
Sekilas, cita-cita untuk mewujudkan satu data kependudukan Indonesia telah tercapai. Akan tetapi, sebenarnya, hasil dan temuan pada SP 2020 masih menyisakan beberapa catatan.
ADVERTISEMENT
Pertama, masih tingginya perbedaan data de facto dan de jure pada tingkat provinsi. Di Jawa Barat misalnya, hasil SP 2020 mencatat 48,27 juta penduduk, sementara data Adminduk memperlihatkan angka 47,10 juta. Artinya, sekitar 1,17 juta penduduk yang tinggal di Jawa Barat tidak memiliki KK/KTP Jawa Barat.
Berdasarkan kesesuaian alamat domisili, SP 2020 mencatat 3,99 juta penduduk Jawa Barat yang berdomisili tidak sesuai dengan alamat KK/KTP. Pada tingkat nasional, sebanyak 23,47 juta atau 8,68 persen penduduk berdomisili tidak sesuai dengan alamat KK/KTP-nya. Kondisi ini mengindikasikan banyaknya penduduk yang pindah domisili tetapi tidak melaporkan perubahan alamatnya.
Kedua, masih rendahnya pencatatan penduduk umur 0-4 tahun. SP 2020 yang menggunakan variabel umur dari data Adminduk hanya mencatat 15,45 juta penduduk umur 0-4 tahun, jauh lebih kecil daripada 23,35 juta penduduk umur 5-9 tahun. Padahal, tidak terjadi penurunan tingkat kelahiran yang drastis dalam lima tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Angka total fertility rate (TFR) tahun 2012 menunjukkan 2,6 kelahiran untuk setiap wanita usia subur, hanya turun sedikit menjadi 2,4 pada tahun 2017. Artinya, ada kelahiran yang tidak tercatat.
Sebagai perbandingan, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2019 menunjukkan 74,36 persen anak umur 0-4 tahun memiliki Akta Kelahiran, lebih kecil daripada 86,01 persen pada umur 0-17 tahun. Hal ini mengindikasikan kecenderungan masyarakat untuk menunda pelaporan kelahiran.
Ketiga, masih banyak penduduk yang secara de facto telah meninggal tetapi masih tercatat pada Daftar Penduduk. Kondisi ini banyak dilaporkan oleh Petugas Sensus yang memeriksa dan memverifikasi Daftar Penduduk bersama Pengurus RT/RW atau Ketua satuan lingkungan setempat. Hal ini mengindikasikan masih lemahnya pencatatan data kematian.
Dokumen administrasi kependudukan
Undang-undang Administrasi Kependudukan telah mengatur ketentuan pelaporan peristiwa kependudukan. Perubahan alamat domisili harus dilaporkan selambat-lambatnya satu tahun, kejadian kelahiran selambat-lambatnya 60 hari, kejadian kematian 30 hari, dan perubahan susunan keluarga 30 hari.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, penerapannya masih jauh panggang dari api, hasil SP 2020 memperlihatkan fakta tersebut.
Pemutakhiran data kependudukan perlu dilakukan secara berkelanjutan melalui penyempurnaan mekanisme pelaporan di setiap jenjang pemerintahan. Inovasi yang dilakukan beberapa daerah dengan menyediakan layanan kependudukan secara online, perlu mendapatkan apresiasi tinggi.
Masyarakat juga perlu diberikan kemudahan, misalnya dengan metode jemput bola atau memperluas kewenangan pelayanan hingga wilayah administrasi terkecil, seperti RT/RW.
Harapannya, data kependudukan secara de jure dan de facto dapat selaras pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, bahkan hingga wilayah administrasi terkecil. Ketika berbagai parameter demografi seperti tingkat kelahiran, kematian, dan migrasi dapat dihitung menggunakan data Adminduk, baru kemudian, upaya mewujudkan satu data kependudukan telah mencapai garis finish dan Indonesia dapat melaksanakan sensus metode registrasi, tanpa harus mencatat penduduk dari rumah ke rumah.
ADVERTISEMENT
***
Statistisi Ahli Madya pada Badan Pusat Statistik