Konten dari Pengguna

Penggusuran Paksa di Kota Peduli HAM

Andi Muhammad Rezaldy
Staf Advokasi Hak Asasi Manusia di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
5 Februari 2020 15:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Muhammad Rezaldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Reruntuhan bangunan di RW 11 Tamansari Kota Bandung setelah Pemkot membongkar paksa untuk proyek pembangunan rumah deret (Foto: Bandungkiwari/Assyifa)
zoom-in-whitePerbesar
Reruntuhan bangunan di RW 11 Tamansari Kota Bandung setelah Pemkot membongkar paksa untuk proyek pembangunan rumah deret (Foto: Bandungkiwari/Assyifa)
Kota bandung sepertinya sudah tidak layak menyandang pengharagaan sebagai kota peduli hak asasi manusia yang diberikan kementrian hukum dan ham. Pada tanggal 12 Desember yang lalu, dua hari setelah peringatan hari hak asasi manusia internasional, warga RW 11 di tamansari, bandung, mengalami penggusuruan paksa yang dilakukan oleh pemerintah kota bandung. Akibatnya,warga kehilangan tempat tinggal dan anak-anak terancam putus sekolah.
ADVERTISEMENT
Sungguh ironis, penggusuran paksa yang dikategorikan sebagai gross violation of human rights berdasarkan Resolusi Komisi HAM PBB 1993/77 dan 2008/24 terjadi di kota peduli ham. Pemenuhan atas perumahan yang layak dan jaminan atas hidup dengan rasa aman diingkari oleh pemkot bandung, demi ambisi membangun kota yang estetik.
Pemkot bandung mengklaim bahwa tanah yang ditinggali warga RW 11 tamansari merupakan tanah miliknya beradasarkan surat keterangan aset daerah. Padahal, jika merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian dan pemkot belum dapat membuktikannya.
Di atas tanah yang disengketakan itu, pemkot berencana membangun rumah deret. Program penataan rumah yang dinisisasi sejak tahun 2007 dan dimaksudkan untuk memberikan unit hunian yang manusiawi kepada warganya. Namun demikian, niat baik itu tidak sejalan dengan tindakannya, warga tamansari justru mengalami tindakan yang tidak manusiawi berupa pemindahan secara paksa dengan cara kekerasan.
ADVERTISEMENT
Petugas gabungan dari Satpol PP, Polisi, dan TNI dikerahkan guna mengamankan asset daerah yang diklaim secara sepihak tersebut. Dampaknya, timbul banyak korban berjatuhan, tidak sedikit warga mengalami luka-luka baik mental maupun fisik. Dari persitiwa kekerasan itu, diketahui lima anggota polri terbukti bersalah melakukan tindak kekerasan dan mereka dikenakan sanksi disiplin/etik.
Penghukuman berupa sanksi disiplin/etik terhadap anggota yang melakukan tindakan kekerasan merupakan keputusan yang tidak tepat. Sebab, perbuatan kekerasan diklasifikasikan sebagai tindak kejahatan dan pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu secara pidana. Bila kondisi ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin pelaku akan kembali melakukan tindakan serupa.
Dari berbagai persoalan itu, menarik untuk dibahas bagaimana sebetulnya hak asasi manusia memandang persoalan penggusuran paksa dan penanganan seperti apa yang sesuai dengan prinsip-prinsip ham.
ADVERTISEMENT
Bahwa penggusuran paksa ialah pemindahan orang atau keluarga dari tanah yang sedang ia tempati, baik secara permanen ataupun sementara, di luar kehendak pribadinya tanpa dilindungi oleh ketentuan hukum yang memadai dan melanggar hak-haknya sebagai manusia.
Penggusuran paksa dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran ham berat oleh karena sifat kebergantungan hak yang satu dengan lainnya. Layaknya fenomena bola salju, dengan dilanggarnya atas satu hak maka akan berdampak pada hak yang lainnya. Misalnya dengan terlanggaranya hak atas perumahan yang layak maka akan berdampak pada hak atas ligkungan hidup yang sehat, pendidikan hingga hak atas hidup dengan rasa aman.
Dalam instrumen hak asasi manusia, terdapat dua instrument yang mengatur secara sepsifik mengenai penggusuruan yaitu United Nations Basic Principles and Guidelines on Development-Based Evictions dan Pendapat Umum PBB Nomor 7 Tahun 1997. Kedua instrumen itu mengatur pokok-pokok standar penggusuran yang sesuai dengan ham Berdasarkan kedua instrumen itu, terdapat 3 (tiga) proses tahapan penggusuran yaitu sebelum penggusuran, saat penggusuran dan setelah penggusuran.(LBH Jakarta,2015:3)
ADVERTISEMENT
Pada tahap sebelum penggusuran, antara lain pemerintah wajib mencari alternatif lain selain pelaksanaan penggusuran, melakukan musyawarah yang tulus kepada publik dan warga terdampak, memastikan bahwa tidak ada orang yang akan kehilangan tempat tinggal dan menjamin adanya alternatif tempat tinggal yang memadai.
Selain itu, pada tahap saat penggusuran, setiap penggunaan aparat penegak hukum harus sesuai dengan prinsip proporsionalitas ham dan pemerintah harus memastikan tidak ada kekerasan yang terjadi terhadap warga terdampak.
Lebih lanjut pada tahap setelah penggusuran, harus ada alternatif solusi pindah ke timpat tinggal yang lebih baik, memberikan pemulihan sesuai dengan ketentuan hukum bagi warga terdampak, ada bantuan hukum dan warga terdampak diberikan penanganan kesehatan terbaik.
Dari seluruh tahapan itu, bila diturunkan dalam prkatik yang terjadi di tamansari, sepertinya tidak ada satu tahapan pun yang sesuai dengan instrumen ham tersebut. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemkot bandung merupakan penggusuran paksa.
ADVERTISEMENT
Meskipun penggusuran paksa terlanjur terjadi, pemkot bandung memiliki kewajiban untuk menyelesaikan persoalan ini dengan pendekatan yang humanis. Caranya, memberikan fasilitas kesehatan kepada warga yang mengalami luka, menyediakan tempat tinggal yang sesuai dengan standar ham, memberikan pemenuhan atas hak-hak warga yang terlanggar, mendudukan masalah legalitas tanah dengan relasi yang setara dan mendesak institusi polri melakukan penyidikan terhadap aparat yang melakukan tindak kekerasan.
Dibandingkan dengan negara lain seperti India dan Filipina, secara instrumen, Indonesia belum memilki regulasi khusus soal prosedur penggusuran. Akibatnya. Peristiwa yang terjadi pada warga tamansari dapat terulang di daerah-daerah lain atau bahkan dapat terjadi lebih serius. Oleh karenanya, pemerintah perlu membuat regulasi tersebut guna memastikan terciptanya relasi yang setara antara pemerintah dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selain soal tidak tersedianya regulasi, hal yang begitu prinsipil ialah mengubah pola pikir mengenai pembangunan kota. Selama ini, pembangunan kota berorientasi pada kebaikan umum atau kepentingan orang banyak. Hal ini berdampak pada cara pandang pemerintah perihal baik atau buruknya kebijakan hanya dilihat dari angka statistik semata. Masyarakat tidak lagi dipandang sebagai individu-individu yang harus dilindungi dan dipenuhi haknya.
Sudah saatnya kota bandung berbenah diri, penataan kota memang perlu, tetapi yang jauh lebih penting ialah dalam penataan itu harus memastikan partisipasi luas dari semua aktor dan pemangku kepentingan, terutama kelompok marginal dan rentan. (Infid,2016:17)
Melalui partisipasi tersebut, diharapkan dapat membangun kota yang inklusif, berkeadilan, berkelanjutan dan setara. Sehingga, keinginan melokalkan nilai-nilai ham dapat benar-benar terwujud dan label kota peduli ham menjadi bermakna.
ADVERTISEMENT
Rumah tidak sekedar tempat berpulang, tinggal apalagi berteduh, bagi sebagian orang rumah adalah kehidupan, dari tempat itu muncul ide, gagasan, kenangan dan keluarga. Meruntuhkan dengan paksa rumah mereka, dapat berarti menghancurkan sebagian hidupnya, itulah yang dirasakan korban penggusuran paksa.