Pahlawan Ekonomi Hadapi Resesi

Konten dari Pengguna
6 Februari 2023 20:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Tenriyaji Tosengrima tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Industri Smelter di Sulawesi Tenggara. Dokumentasi Pribadi Penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Industri Smelter di Sulawesi Tenggara. Dokumentasi Pribadi Penulis.
ADVERTISEMENT
Tahun 2020 adalah tahun yang buruk untuk ekonomi Indonesia, bahkan dunia. Pandemi COVID-19 menghantam dunia, aktivitas ekonomi lumpuh, bursa saham ambruk, PHK di mana-mana, pengangguran meledak.
ADVERTISEMENT
Belum selesai dengan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi, para pejabat negara, ahli ekonomi, hingga influencer sepertinya sepakat mengatakan kita belum menyaksikan yang terburuk.
Ekonomi 2023 akan gelap gulita. Itu bukan omongan kosong dari blog antah-berantah. Itu adalah omongan yang keluar langsung dari mulut presiden. Beritanya terpampang nyata di headline media nasional, seolah resesi adalah hal pasti yang menunggu di depan mata.
Resesi adalah keadaan suatu negara di mana ekonominya tumbuh negatif dua kuartal beruntun. Pertumbuhan negatif terjadi ketika nilai Produk Domestik Bruto (PDB) yang kita miliki lebih rendah dari periode sebelumnya.
Produk Domestik Bruto sendiri diukur dari konsumsi rumah tangga+investasi+pengeluaran pemerintah+(ekspor-impor). Atau, dinyatakan dalam formula: GDP=C+I+G+(X-M).
Satu hal yang perlu kita sorot adalah bahwa persentase dan komposisi pembentuk PDB setiap negara berbeda-beda. Penyumbang PDB terbesar di Indonesia dipegang oleh komponen konsumsi rumah tangga. Menurut data kuartal III tahun 2022, konsumsi rumah tangga Indonesia berkontribusi sebesar 50,38% terhadap PDB nasional.
ADVERTISEMENT
Artinya, resesi tidaknya Indonesia sebagian besar ditentukan oleh pengeluaran kita atas barang dan jasa untuk tujuan konsumsi: keperluan makan dan minum, pakaian, perlengkapan rumah tangga, transportasi, rekreasi, dan sebagainya.
Produk UMKM Sebagai Penggerak Ekonomi. Dokumentasi Pribadi Penulis
Sayangnya, dalam bukunya "The General Theory of Employment, Interest and Money", John Maynard Keynes memaparkan bagaimana naluri hewani manusia lebih sering menjadi landasan dalam mengambil keputusan finansial.
Manusia justru cenderung mengambil keputusan finansial bukan berdasarkan matematika ekonomi yang rasional, melainkan keputusan irasional berdasarkan naluri hewani untuk bertahan hidup. Dan di sinilah masalahnya.
Ketika ini terjadi dalam isu resesi, tentu akan berbahaya bagi Indonesia sendiri. Masifnya ramalan resesi bertengger di headline media nasional semakin memantik naluri hewani setiap orang untuk bertahan hidup dengan menahan spending, tidak berinvestasi, dan mengurangi belanja.
ADVERTISEMENT
Konsumsi rumah tangga akan menurun drastis. Paradox of thrift pun terjadi: penghematan yang dilakukan terus-menerus justru membuat perekonomian terjerumus ke dalam resesi yang bahkan lebih dalam. Sebuah paradoks bahwa resesi terjadi justru karena orang takut akan terjadinya resesi.
Fenomena ini kembali mengingatkan kita pada satu pertanyaan filosofis lama: Apa itu kebenaran?
Beberapa hal itu benar tanpa peduli kita percaya atau tidak: benda yang dilempar ke atas akan jatuh, air mendidih pada suhu 100 derajat celcius, Indonesia merdeka pada tahun 1945. Tidak peduli kita percaya atau tidak, begitulah adanya. It is what it is.
Di sisi lain, beberapa hal berpotensi menjadi benar jika kita memercayainya. Ahli Sosiologi menyebut ini sebagai self-fulfilling prophecy: ramalan yang mewujudkan dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Jika Anda memprediksi satu bank akan bangkrut dan itu berhasil meyakinkan semua orang untuk menutup rekening di sana, benarlah bank itu akan bangkrut. Jika Anda memprediksi akan terjadi resesi dan itu berhasil meyakinkan orang untuk berhemat dan menahan belanja, aktivitas ekonomi akan menurun drastis dan benarlah resesi terjadi.
Kita tidak sedang berhadapan dengan kerusakan ekonomi nyata seperti yang terjadi di Jerman pada 1945 yang basis manufakturnya hancur, krisis di Jepang pada tahun 2000-an yang populasi usia kerjanya menyusut, atau perlambatan ekonomi dunia karena pembatasan sosial di era pandemi.
Itu adalah hal yang berbeda. Hari ini Indonesia sedang baik-baik saja, jangan sampai pesimistis kita menyebabkan kerusakan naratif kepada diri sendiri. Kita adalah apa yang kita percaya, kita akan menemukan apa yang kita cari, dan prediksi kita bisa benar terjadi.
ADVERTISEMENT
Narasi adalah kekuatan terbesar dalam ekonomi: ia bisa menjadi bahan bakar ekonomi bekerja, namun sebaliknya juga bisa menjadi rem yang menghentikan segala aktivitas ekonomi. Pilihannya ada di tangan kita.