Konten dari Pengguna

Krisis Mata Uang Turki dan Ketidakharmonisan dengan Amerika Serikat

Andi Yustika Oktaviani
Masters student majoring in International Relations, Gadjah Mada University
12 Desember 2021 21:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Yustika Oktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (sumber: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Krisis Mata Uang Turki
Saat ini Turki sedang dilanda krisis mata uang. Pada tahun ini, nilai tukar lira merosot hingga lebih dari 40 persen terhadap dolar AS (Amerika Serikat). Mata uang lira dianggap sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di antara semua mata uang pasar berkembang disebabkan kebijakan yang dianut oleh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Penurunan lira pada perdagangan merupakan yang terbesar sejak krisis mata uang pada 2018 lalu.
ADVERTISEMENT
Untuk menopang lira yang sedang menukik dan kehilangan hampir 30 persen nilainya terhadap dolar hanya dalam sebulan, pada November 2021, Presiden Turki menekan bank sentral Turki menurunkan suku bunga utamanya. Hal tersebut terjadi untuk ketiga kalinya dalam waktu kurang dari dua bulan. Hal ini kemudian tetap dilakukan meskipun inflasi Turki melonjak hampir 20 persen dan depresiasi mata uang.
Erdogan percaya bahwa dengan menerapkan suku bunga tinggi akan menyebabkan inflasi tinggi juga, sehingga Erdogan ingin mempertahankan suku bunga rendah. Selain itu, bank sentral juga ditekan untuk tidak mengetatkan kebijakan demi ekspor dan investasi. Mata uang Turki pun telah mencapai rekor terendah lebih dari 14 lira terhadap dolar sebelum menutup beberapa kerugian pada 2 Desember 2021. Satu dolar kemudian dibeli sejumlah 13,22 lira.
ADVERTISEMENT
Warga Turki menganggap penurunan Lira telah menyusahkan disebabkan harga meroket sehingga berdampak pada anggaran rumah tangga. Memang kebijakan penurunan suku bunga oleh Erdogan dinilai gegabah oleh sebagian ekonom. Bahkan Gubernur bank sentral Turki Sahap Kavcioglu mengatakan tidak setuju dengan kebijakan Presiden tersebut. Sementara, mantan Deputi Gubernur Bank Sentral Turki, Semih Tumen berpendapat bahwa kebijakan tersebut dinilai eksperimen yang bersifat irasional dan tidak memiliki peluang sukses. Seharusnya perlu ada kebijakan yang melindungi nilai lira dan terpenting kemakmuran rakyat Turki. Namun sejak 2019, tiga gubernur bank sentral telah dipecat oleh Erdogan disebabkan gubernur tersebut menolak untuk menurunkan suku bunga.
Investor kemudian tidak nampak tertarik ketika Erdogan tiba-tiba memecat kepala bank sentral. Kepala bank sentral sebelumnya, Naci Agbal pun kemudian digantikan oleh dengan Kavcioglu, yang ternyata juga mengkritik suku bunga tinggi. November 2021, Kavcioglu memutuskan untuk memangkas suku bunga sebesar 100 basis poin menjadi 15 persen. Bank sentral juga merencanakan pemotongan lagi pada Desember 2021. Saat lira jatuh, indeks saham utama Turki naik ke rekor tertinggi mencapai 1,7 persen disebabkan valuasi yang menurun.
ADVERTISEMENT
Melihat kembali beberapa tahun lalu. Turki memang sudah mengalami masalah ekonomi dan sekaligus masalah politik beberapa kali. Melemahnya nilai tukar lira tidak lepas dari situasi politik domestik dan internasional. Untuk kondisi domestik sendiri, sistem presidensial yang dianut di Turki membuat presiden menjadi penentu utama setiap kebijakan dan juga memiliki wewenang. Namun, kebijakan Erdogan seringkali tidak hati-hati terhadap ekonomi politik domestik bahkan internasional sehingga membuat kondisi negara tidak stabil.
Kebijakan suku bunga rendah oleh Erdogan semakin memperparah kondisi ekonomi Turki. Terutama nilai tukar lira terhadap dolar AS semakin menurun sehingga tidak menguntungkan investor. Selain itu, diketahui juga penyebab Turki mengalami krisis ekonomi yaitu adanya ketergantungan tinggi pada investor asing yang kemudian menyebabkan besarnya utang luar negeri. Lalu kurangnya cadangan devisa untuk membayar utang luar negeri disebabkan kinerja ekspor dan impor yang tidak sejalan lancar utang yang terus meningkat. Kemudian yang patut disoroti adalah hubungan Turki dengan AS yang tidak harmonis.
ADVERTISEMENT
Hubungan Turki dan Amerika Serikat
Diketahui sebagian besar masalah ekonomi Turki disebabkan adanya konflik diplomatik dengan AS mengenai masalah regional dan ancaman sanksi yang berkelanjutan terhadap ekonomi Turki. Terdapat beberapa peristiwa kritis dalam beberapa tahun terakhir telah membuat Turki dan AS berselisih. Banyaknya titik konflik antara dua negara tersebut dimulai dari geopolitik, aliansi, dan ekonomi.
Pertama, salah satu memburuknya ekonomi Turki yaitu terkait penangkapan pendeta Andrew Brunson pada tahun 2018. Brunson adalah seorang pendeta berkebangsaan AS, terlibat dalam upaya kudeta pada 2016, dengan tuduhan terorisme dan mata-mata, sehingga menurut aturan hukum Turki Brunson harus ditahan. Pemerintah AS meminta agar Turki membebaskan Brunson, tapi Turki menolak hal tersebut. Turki hanya akan mengembalikan Andrew jika Washington bersedia menyerahkan Fetullah Gulen.
ADVERTISEMENT
AS dan Turki telah melakukan negosiasi cukup lama untuk membahas hal tesebut. Begitu juga dengan Turki yang telah meminta sejak lama agar Fetullah Gulen diserahkan ke pemerintah Turki. Namun, negosiasi tersebut tidak berjalan lancar, kedua pihak berada dalam pendiriannya, dan perang dagang antara keduanya memperburuk situasi tersebut.
Setelah Turki menolak membebaskan Brunson, Trump mengeluarkan kebijakan menaikkan tarif impor baja 50 persen dan alumunium 25 persen. Serta mengancam akan memperluas sanksi perdagangan. Hal tersebut kemudian dibalas dengan Ankara menaikkan pajak terhadap sejumlah produk AS, seperti alkohol, tembakau dan juga mobil. Lira merosot 35 persen sejak awal tahun 2018, Erdogan menyebut keadaan itu sebagai konflik dagang yang dilakukan AS.
Tahun 2019, Presiden Erdogan mengambil posisi yang kuat terhadap deklarasi Presiden Trump untuk mengakui kontrol ilegal Israel atas Dataran Tinggi Golan. Pada hari yang sama, 22 Maret, Lira Turki terdepresiasi 6 persen dalam beberapa jam. Walaupun kemudian dengan cepat menguat kembali ke posisi semula berkat reaksi cepat dari Bank Sentral Turki, kejadian ini sekali lagi memunculkan kembali diskusi tentang ketahanan ekonomi Turki.
ADVERTISEMENT
Kemudian sumber ketegangan penting lainnya yaitu, dukungan Washington untuk YPG (Satuan Perlindungan Rakyat) di Suriah Utara. Turki menganggap YPG sebagai organisasi teroris karena hubungannya dengan PKK (Partai Pekerja Kurdi) dan serangan sebelumnya terhadap warga sipil Turki. Walaupun AS menganggap mereka tersebut sebagai sekutu, namun Turki tetap memerangi YPG dan bersikeras untuk menyingkirkan mereka dari wilayah tersebut.
Januari 2019, setelah pengumuman bahwa tentara AS mundur dari Suriah, 14 Januari Trump mengatakan lewat akun twitternya bahwa AS akan menghancurkan Turki secara ekonomi jika Turki mengambil tindakan militer lebih lanjut terhadap YPG. Setelah tweet tersebut, pada hari yang sama, lira Turki kehilangan nilai 1,6 persen terhadap dolar. Peristiwa ini kemudian membuktikan hubungan Turki dan AS yang tidak stabil sangat berdampak dan memberikan pengaruh terhadap pasar keuangan Turki.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sumber ketegangan lainnya yaitu masalah pembelian sistem rudal pertahanan udara S-400 Rusia oleh Turki. Kontrak pembelian sistem rudal pertahanan udara S-400 telah ditandatangani oleh Rusia dan Turki pada tahun 2017 dan kontrak baru direncanakan pada akhir tahun 2021. Hal tersebut kemudian mendapat respons negatif dari NATO dan memicu sanksi dari AS. AS menginginkan Turki untuk membeli rudal Patriot buatan AS sebagai gantinya, namun Turki lebih memilih untuk mengembangkan kapasitas militernya sendiri dan mengakhiri ketergantungannya pada AS dan negara lain mana pun.
Turki yang telah mengalami krisis ekonomi dan politik terlihat sangat berdampak pada negaranya namun Presiden Erdogan tampak tidak peduli dan tidak menganggap hal tersebut sebagai hal yang genting. Seringkali Erdogan terlihat mengambil tindakan agresif dan tidak konsisten dalam menjalin hubungan dengan beberapa negara, yang sebelumnya terjalin harmonis namun kemudian berubah menjadi perselisihan. Permasalahan ekonomi dan politik memiliki keterkaitan yang sangat erat, dan sangat berdampak kepada negara dan masyarakat. Krisis yang dialami Turki dapat dikatakan sebagai peristiwa ekonomi politik, terutama di mana krisis tersebut merupakan puncak dari kemunduran ekonomi pada tahun-tahun sebelumnya. Krisis ekonomi Turki merupakan akibat yang disebabkan oleh beberapa hal, namun terpenting adalah gagalnya implementasi kebijakan-kebijakan pemerintahan dalam mengelola perekonomian Turki.
ADVERTISEMENT