Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dilema Thrifting: Antara Tren, Ekonomi, dan Keberlanjutan
14 Desember 2024 12:07 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Andrean Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Thrifting, atau berburu barang bekas, kini menjadi gaya hidup yang digandrungi masyarakat, terutama anak muda. Selain menawarkan harga yang ramah di kantong, tren ini juga sering dikaitkan dengan keberlanjutan. Namun, di balik popularitasnya, muncul berbagai dilema yang memengaruhi industri lokal, regulasi, hingga dampak lingkungan. Apakah thrifting benar-benar solusi, atau hanya tren yang menyisakan masalah baru?
Perjalanan Thrifting: Dari Masa Lalu ke Masa Kini
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat thrifting sebagai solusi ekonomi sejak era Revolusi Industri di abad ke-18. Saat itu, pakaian bekas menjadi alternatif bagi masyarakat yang membutuhkan barang murah. Di Indonesia, thrifting sudah lama dikenal melalui pasar awul-awul di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Kini, barang-barang thrift yang didominasi produk impor dari Jepang, Korea, dan China semakin diminati, terutama karena menawarkan merek-merek ternama dengan harga terjangkau.
Konflik Antara Gaya Hidup dan Industri Lokal
Namun, perubahan ini tidak hanya mencerminkan gaya hidup, tetapi juga menggeser nilai-nilai ekonomi dan sosial. Bagi sebagian orang, thrifting bukan hanya soal hemat, tetapi juga simbol identitas. Barang bekas bermerek seperti Uniqlo dan H&M, misalnya, memberikan prestise tertentu meskipun dibeli dengan harga murah. Bahkan, banyak konsumen yang menjadikan barang thrift sebagai cara untuk meningkatkan status sosial mereka, dengan menunjukkan bahwa mereka mampu mengakses produk-produk bermerek meskipun secara ekonomis lebih terjangkau.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, maraknya thrifting justru menjadi ancaman bagi produk lokal. Data mencatat lonjakan impor pakaian bekas hingga 227,75% pada 2022 dengan total volume mencapai 8 ton. Hal ini mempersulit UMKM tekstil bersaing, terutama dalam hal harga.
Bagi pemerintah, thrifting menciptakan dilema besar. Melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 40 Tahun 2022, impor pakaian bekas dilarang untuk melindungi industri lokal. Namun, pelarangan ini menyulitkan pelaku usaha thrift yang bergantung pada barang impor untuk bertahan. Di sisi lain, regulasi ini juga menjadi tantangan dalam mengurangi dampak buruk fast fashion yang sering kali tidak diimbangi dengan pengelolaan limbah tekstil.
Keberlanjutan: Realitas atau Ilusi?
Salah satu daya tarik thrifting adalah klaim bahwa praktik ini mendukung keberlanjutan. Dengan memperpanjang usia pakai barang, thrifting dianggap mengurangi limbah tekstil. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa 70% pakaian bekas impor ke Indonesia tidak layak pakai dan berakhir sebagai limbah baru. Masalah ini semakin memperparah krisis lingkungan akibat fast fashion, yang telah menyumbang 10% emisi karbon global dan mencemari 20% sumber air dunia.
ADVERTISEMENT
Langkah Menuju Solusi
Untuk menjawab dilema ini, pemerintah dan masyarakat dapat mengambil beberapa langkah strategis:
Kesimpulan: Memilih dengan Bijak
Thrifting menawarkan daya tarik yang sulit ditolak, tetapi tantangan yang ditimbulkan tidak boleh diabaikan. Sebagai konsumen, kita memiliki peran penting dalam menentukan arah masa depan industri ini. Apakah kita akan mendukung keberlanjutan sejati atau sekadar terjebak dalam arus tren? Pada akhirnya, keputusan ada di tangan kita. Dengan memilih secara bijak, kita bisa menciptakan keseimbangan antara mendukung ekonomi lokal dan menjaga lingkungan.
ADVERTISEMENT