Konten dari Pengguna

J-10C, Perang Musiman, dan Diplomasi Persenjataan China di Asia Selatan

Dr Andree Armilis
Sosiolog dan Ahli Manajemen Strategik
12 Mei 2025 12:22 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Andree Armilis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kabar keberhasilan jet tempur J-10C buatan China menembak jatuh Rafale milik India, seperti diklaim oleh militer Pakistan, mengejutkan banyak pihak sekaligus memunculkan pertanyaan baru dalam politik pertahanan Asia Selatan. Meskipun belum dikonfirmasi secara independen, klaim tersebut langsung berdampak pada pasar: saham Chengdu Aircraft, produsen J-10C, melonjak lebih dari 40% dalam sepekan terakhir.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini terjadi di wilayah sensitif Line of Control (LoC) antara India dan Pakistan—zona konflik berkepanjangan yang, dalam pandangan sebagian analis, juga berfungsi sebagai “teater uji coba” bagi kekuatan militer regional. Dalam konteks ini, konflik tidak hanya dimaknai sebagai benturan kepentingan, tetapi juga sebagai ajang promosi senjata. Pandangan ini sejalan dengan pendekatan realism offensive dalam studi hubungan internasional, yang melihat negara-negara sebagai aktor rasional yang senantiasa memaksimalkan kekuatan militer untuk menjamin kelangsungan dan pengaruhnya.
Diplomasi Senjata dan Mitra Strategis
China, melalui AVIC (Aviation Industry Corporation of China), telah menempatkan Pakistan sebagai sekutu strategis yang disebutnya sebagai all-weather ally dan ironclad brother. Data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, 81% impor senjata Pakistan berasal dari China. Sebagian besar ekspor itu tidak hanya berbentuk penjualan, tetapi juga kolaborasi teknologis: radar, sistem pertahanan udara, hingga pengembangan jet tempur bersama.
ADVERTISEMENT
Jika kita tarik ke dalam kerangka dependency theory, maka relasi Pakistan-China ini menggambarkan bentuk ketergantungan struktural yang cukup dalam. Di satu sisi, Pakistan mendapatkan akses terhadap teknologi dan sistem senjata mutakhir. Di sisi lain, China mendapatkan panggung dan pasar untuk memvalidasi kemampuan produksinya, sekaligus mendekonstruksi stigma “barang China” yang dianggap inferior dalam sektor militer.
Kompetisi Militer China vs Barat
Sementara Pakistan didominasi oleh alutsista buatan China, India condong kepada Amerika Serikat dan negara-negara Barat. India merupakan salah satu pengguna utama jet tempur Rafale buatan Prancis, dan juga memiliki kerja sama strategis dengan Amerika Serikat dalam kerangka Quad dan Indo-Pacific Strategy.
Dengan demikian, konflik terbuka antara India dan Pakistan sering kali dipersepsikan sebagai benturan tidak langsung antara dua blok teknologi militer: China vs Barat. Hal ini mengingatkan kita pada teori balance of power, di mana negara-negara secara aktif membentuk aliansi atau memperkuat mitra untuk menyeimbangkan kekuatan musuh atau rival utamanya.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi semacam ini, bentrokan militer—meskipun terbatas—berfungsi sebagai sarana pembuktian. Sejauh ini, produk militer China belum banyak diuji dalam perang besar. Mereka memang telah mengembangkan jet generasi kelima (J-20) dan mulai menyusun prototipe generasi keenam (J-36), namun kredibilitas senjata-senjata tersebut tetap bergantung pada performa di medan tempur nyata.
ilustrasi pertempuran udara, dibuat dengan AI.
Perang sebagai Ajang Ekonomi dan Representasi
Dalam tulisan klasiknya, ekonom Amerika John Kenneth Galbraith pernah menyebut bahwa perang modern seringkali menjadi “mekanisme penggerak industri.”
Pandangan serupa juga diungkap oleh pikiran teoretik bercorak military-industrial complex, yang menggarisbawahi relasi erat antara industri pertahanan, pemerintah, dan kebijakan luar negeri. Dalam kerangka ini, perang tidak lagi semata urusan geopolitik, tetapi juga bisnis dan logika manufaktur.
ADVERTISEMENT
Melalui insiden di LoC, China tidak hanya memperlihatkan kedekatannya dengan Pakistan, tapi juga mulai menggoyang dominasi pasar senjata global yang selama ini dikuasai oleh Amerika Serikat, Rusia, dan Prancis. SIPRI mencatat bahwa China kini menjadi eksportir senjata keempat terbesar dunia, dengan hampir dua pertiga ekspornya menuju Pakistan.
Penutup
Apakah benar J-10C berhasil menembak jatuh Rafale dan Su-30 milik India? Fakta lapangan masih simpang siur, dan India belum mengonfirmasi klaim tersebut. Namun, dalam diplomasi pertahanan, persepsi kadang lebih kuat dari bukti.
Sebagaimana ucapan dalam film Top Gun: Maverick, ketika pilot F-14 harus melawan jet generasi kelima: "It's not the plane. It's the pilot."
Tapi dalam konflik antarnegara, sering kali yang lebih penting dari pilot adalah siapa yang memproduksi pesawatnya—dan siapa yang berhasil menjualnya.
ADVERTISEMENT