Jadi Tourist Guide Dadakan Tapi Enggak Bisa Bahasa Inggris

Andri Saleh
ASN, Humas, Penulis, Kolumnis, Komikus
Konten dari Pengguna
14 Mei 2021 13:59 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andri Saleh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Ketut Subiyanto from Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Ketut Subiyanto from Pexels
ADVERTISEMENT
Sebut saja namanya Pandu (nama sebenarnya). Dia adalah kawan kampus ketika kuliah dulu. Satu hari, dia datang tergopoh-gopoh ke rumah saya. Dengan wajah memelas, dia bilang begini.
ADVERTISEMENT
"Kang, antar saya ke stasiun ya?"
"Stasiun? Mau ngapain?"
"Jemput kawannya si Ida."
Fyi, Ida ini (nama sebenarnya juga) adalah pacarnya Pandu. Sekarang sudah jadi istrinya. Kayaknya sih begitu.
"Lah, terus kenapa harus sama saya?"
"Si Ida nggak bisa jemput. Ada acara dadakan ke Jakarta."
"Ogah, sudah kamu aja sendiri yang jemput."
"Nggak bisa atuh. Dia bule, orang Australia. Saya nggak bisa bahasa Inggris."
Saya berkerut sambil menatap tajam ke arah Pandu. Saya juga kan nggak bisa bahasa Inggris. Kosakata saya terbatas, yang paling familiar di telinga paling cuma "Oh, yes", "Oh, no", sama "Oh, my God". Itu pun saya dengar tak sengaja dari film. *eh
"Bego, kan saya juga nggak bisa bahasa Inggris," saya nyolot.
ADVERTISEMENT
"Yaa nggak apa-apa. Orang bego kalau bareng orang bego lagi bakal jadi setengah bego. Lumayan, kan?" Pandu nyengir.
Hadeh. Pikiran saya waktu itu bilang, kalau orang bego bareng orang bego lagi, begonya malah jadi double. Dan, ternyata saya lebih bego dari Pandu karena akhirnya saya bersedia menemani dia ke stasiun.
Singkat cerita, sampailah kami berdua di stasiun. Pokoknya kami ini jadi merasa seperti Ethan Hunt dan William Brandt ketika menjalankan misi mustahil di sekuel Ghost Protocol. Misinya adalah, bagaimana mengantarkan bule Australia ini dari stasiun ke hotel dengan komunikasi seminimal mungkin.
Setelah beberapa menit menunggu, dari kejauhan ada sosok tinggi besar, kulit putih kemerahan, rambut pirang, dan bermata biru. Dia mengenakan t-shirt merah marun dipadupadankan dengan celana pendek army. Dia menenteng tas ransel besar. Ini gaya-gaya turis backpacker sih.
ADVERTISEMENT
Saya dan Pandu menghampiri. Dengan mengucap basmalah, saya beranikan diri untuk bertanya. Btw maaf kalau teks bahasa Inggrisnya berantakan, biar terkesan saya nggak bisa bahasa Inggris. Padahal memang iya.
"Are you Ida's friend?" tanya saya.
"Oh yeah. Hi, my name is Jason," jawab si bule sambil mengulurkan tangannya.
"My name is Andri. How do you do?" jawab saya sambil menjabat tangannya yang berbulu.
Saya bilang begini soalnya kata guru Bahasa Inggris pas SMA, kalau bertemu orang yang baru kenal harus menyapa dengan kalimat "how do you do". Entah artinya apa, tapi si bule ini enggak jawab. Mungkin saya salah. Bodo amat.
"This is Ida's boyfriend. His name is Pandu," saya coba perkenalkan Pandu.
ADVERTISEMENT
"Oh. Hi, Pandu," si bule kembali mengulurkan tangannya.
Pandu cuma nyengir sambil berjabat tangan.
"Okay, Jason. Where we going now? Where is your destiny?"
Mungkin maksudnya "destination" kali ya. Sebelum berangkat ke stasiun, saya sempatkan buka-buka kamus Bahasa Inggris 1 Miliar Kata. Cari beberapa kata yang biasa diucapkan ketika bertemu orang baru. Dan, begonya, saya salah mengucapkan.
"I think I have to go to hotel near here," ucap si bule.
"Oh okay. We going to escort you to the hotel," jawab saya seenaknya.
Dan, baru-baru ini saya baru paham bahwa "escort" itu artinya pengawal. Kayaknya lebih pas pakai diksi "accompany" deh. Ah, entahlah. Saya nggak paham.
Akhirnya pergilah kami bertiga meninggalkan stasiun. Dan, sesampainya di gerbang stasiun kami tersadar. Tadi, saya dan Pandu naik motor ke stasiun. Nah, sekarang bagaimana antar si bule ke hotel ya? Nggak mungkin kami bertiga boncengan naik motor. Motor Supra X pula. Yo wes, saya ngalah. Saya dan si bule naik angkot, Pandu ngikutin dari belakang pakai motor.
ADVERTISEMENT
Oh ya, ini kejadian tahun 2000-an ya. Belum ada smartphone, ojol, dan sebangsanya. Bisa sih kami pesan taksi, tapi ya tahu sendiri kan kondisi finansial para mahasiswa?
Naiklah saya dan si bule ke dalam angkot. Semua penumpang sontak melihat kami berdua. Pastinya mereka heran lihat ada makhluk tinggi besar bermata biru dan berambut pirang, ikut berdesak-desakan dalam angkot.
Rencana saya untuk meminimalkan komunikasi gagal total. Kondisi jalanan macet. Jadi, mau nggak mau, bisa nggak bisa, saya kudu ngobrol sama si bule ini. Bayangkan, ngobrol pake bahasa Inggris yang saya nggak mahir dan pastinya percakapan ini didengarkan langsung oleh seluruh penumpang angkot. Harga diri saya dipertaruhkan di sini.
"Why so crowded here?" tanya si bule pas lihat kondisi jalanan macet.
ADVERTISEMENT
Angkot nggak bergerak sama sekali. Ini tentunya memperlambat waktu menuju hotel. Makin lama perjalanan ke hotel, makin banyak obrolannya. Siaaal.
"I think so many people come to Bandung because this is weekend."
Si bule ngangguk-ngangguk. Penumpang lain juga terlihat mengangguk. Saya makin pede. Bodo amat, yang penting kedua belah pihak sama-sama paham. Selamat tinggal, grammar.
"You see those cars? The number plate is B. It is from Jakarta, not Bandung. So they come to Bandung to vacation with their family."
Si bule kembali ngangguk-ngangguk. Penumpang juga. Bahkan, sopir yang saya lihat dari balik kaca spion, ikutan ngangguk.
Obrolan kami berlanjut membahas tentang segala hal. Mulai dari makanan khas Bandung, tempat-tempat wisata, dan tempat berbelanja. Semuanya menggunakan Bahasa Inggris jadi-jadian, yang penting kan saya sama si bule sama-sama paham. Jadi, tujuan komunikasi tercapai.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, sampailah kami di hotel. Hotel murah tentunya, sesuai permintaan si bule. Di meja resepsionis, kami disambut hangat oleh karyawan hotel dengan Bahasa Inggris betulan. Si bule senang, hati saya tenang. Sedang kawan saya yang bernama Pandu itu nggak terlihat batang hidungnya. Hadeh.
Tapi biarlah, yang penting mission accomplicated, eh, accomplished.