Mengungkap Alasan Kenapa Pejabat Suka Marah-marah

Andri Saleh
ASN, Humas, Penulis, Kolumnis, Komikus
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2021 11:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andri Saleh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Frans Van Heerden from Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Frans Van Heerden from Pexels
ADVERTISEMENT
Entah sudah berapa kali Menteri Sosial kita semua, Risma Trismaharani, ngamuk. Setelah sebelumnya marah-marah sambil teriak 'tak tembak kamu!' ke pendamping PKH saat rapat tentang pemadanan data bantuan sosial di Gorontalo, terakhir kemarin beliau marah-marah lagi saat mengecek alur distribusi bantuan sosial di Lombok Timur. Kalau kita lihat lagi ke belakang, sebetulnya bukan hal yang aneh kalau beliau suka marah-marah. Apa perlu saya tulis di sini daftar kemarahan beliau sejak menjabat Wali Kota Surabaya? Ah, enggak usah, lah. Nanti artikelnya kepanjangan.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya, pejabat yang marah-marah atau ngomel-ngomel itu adalah hal biasa di dunia birokrat. Sistem pemerintahan kita yang masih mengusung sistem feodal warisan penjajah memang memungkinkan para pejabat bertindak seperti itu. Selain Risma, banyak, kok, pejabat yang marah-marah dan ngomel-ngomel begitu. Sebut saja Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Basuki Tjahaja Purnama, Sigit Purnomo alias Pasha Ungu, Zumi Zola, bahkan Pakde Joko Widodo. Itu yang terekam kamera, ya. Yang nggak terekam kamera lebih banyak lagi, loh.
Dunia birokrat memang keras. Saya juga pernah mengalami dibentak-bentak seorang pejabat di dalam forum. Tapi, sebagai seorang staf dari golongan umbi-umbian, saya bisa apa? Terima saja dengan lapang dada daripada saya balas melawan dan akhirnya kena mutasi ke daerah terpencil. Ini justru makin ribet urusannya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil amatan dan analisis sederhana, saya menemukan suatu pola kenapa para pejabat itu suka sekali marah-marah atau minimal ngomel-ngomel, lah. Ini adalah beberapa di antaranya.
Pertama, menunjukkan kekuasaan. Pejabat marah-marah itu sebetulnya sedang menunjukkan bahwa dia orang yang paling berkuasa di situ. Dia merasa punya wewenang dan kendali penuh terhadap orang-orang yang dimarahinya. Lihat saja, pejabat itu pasti marah-marah ke orang yang levelnya ada di bawahnya. Menteri marah ke gubernur, gubernur marah ke wali kota atau bupati, dan seterusnya. Memangnya situ pernah lihat bupati marah-marah ke presiden? Enggak mungkin, lah.
Kedua, supaya semua orang merasa segan. Ada juga pejabat yang marah-marah itu untuk menunjukkan image bahwa dia adalah sosok yang tegas dan enggak kenal kompromi. Semacam pencitraan gitu, lah. Biasanya, sih, tipe pejabat seperti ini enggak punya skill dan kompetensi di bidangnya. Makanya, kekurangannya itu ditutup oleh gimmick tegas dengan cara marah-marah. Jadinya, orang-orang yang ada di sekelilingnya - baik itu atasan maupun bawahannya - merasa segan dan takut.
ADVERTISEMENT
Ketiga, supaya enggak ada yang berani membantah perintahnya. Ini biasanya dilakukan oleh pejabat yang baru dilantik. Supaya bawahannya nurut dan enggak banyak tingkah, maka marah-marah adalah solusi. Jadi, semua perintahnya pasti akan dikerjakan oleh bawahannya. Enggak akan ada yang berani protes, enggak ada juga yang berani kritik. Ya, kan, daripada kena damprat atau omelan pejabat, kan? Ingat, kena marah pejabat itu berbekas lebih lama daripada luka bakar kena knalpot motor.
Keempat, stres karena tekanan pekerjaan. Ini adalah alasan lazim kenapa pejabat suka marah-marah. Beban pekerjaan yang besar, tuntutan kerja yang tinggi, tekanan atasan, me-time yang sedikit, dan juga kurang piknik menyebabkan pikiran jadi stres. Nah, cara terbaik untuk melepaskan segala keruwetan hidup adalah dengan cara melampiaskan amarah. Bodo amat siapa yang jadi korban amarah dan akibat yang ditimbulkan, pokoknya harus marah.
ADVERTISEMENT
Kelima, gangguan psikologis. Nah, kalau yang ini lumayan ngeri, sih. Pejabat marah-marah karena hobi saja. Ada semacam ketenangan batin dan kepuasan tersendiri kalau dia marah-marah. Kunjungan ke tempat A marah, kunjungan ke tempat B marah, malah enggak ada kunjungan pun marah-marah juga. Ini fix psikopat, sih. Kalau nemu yang macam ini, mending kasih saran untuk segera berobat ke psikiater.
Sebetulnya, marah-marah ada sisi positifnya juga, kok. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Carniege-Mellon University di Amerika Serikat sana, marah dengan kadar yang pas punya dampak positif bagi tubuh. Marah bisa meningkatkan aliran darah ke otak, juga memperbaiki kerja jantung dan hormon. Tapiii... kalau marah-marahnya keseringan dan sampai berlebihan, bukan hanya bahaya bagi kesehatan tubuh saja, tapi juga kayak orang sakit jiwa jadinya. Iya, kan?
ADVERTISEMENT