Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
622 Tahun Kota Jambi: Refleksi Terhadap Kota Sebagai Pusat Peradaban
29 Mei 2023 16:06 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Andy Arnolly Manalu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti apa semestinya sebuah kota dipandang dalam semesta kepentingan? Jawabnya akan bervariasi. Tergantung keterikatan individu yang bersangkutan dengan kota tersebut.
ADVERTISEMENT
Ada yang memandang kota semata terkait hajat hidup, eksistensi, relasi sosial yang lebih cair dan terbuka, atau mungkin beberapa di antaranya terikat karena romansa. Serangkaian kenangan yang membuat pikiran dan hati selalu seirama untuk tak berpindah domisili. Menurut penulis, untuk alasan paling remeh sekalipun setiap penghuni kota berhak memilikinya.
Tahun ini, Kota Jambi berusia 622 tahun. Sebuah usia yang panjang dan telah menghasilkan banyak kronik sejarah. Kota sebagaimana sosiolog klasik Emile Durkheim, membedakan masyarakat kota sebagai bentuk solidaritas organik (gesellschaft) yang menghendaki adanya hukum restuitif bagi para pelanggar norma dan pranata hukum.
Dinyatakan sebagai solidaritas organik karena pada masyarakat perkotaan terdapat kehidupan yang lebih kompleks dan telah mengenal pembagian kerja serta peran sosial. Mengacu pada konsep yang dipaparkan Durkheim, Kota Jambi telah berada dalam kompleksitas ruang sekaligus peran.
ADVERTISEMENT
Kompleksitas karena kecenderungan kota sebagai wilayah yang konsentratif akibat segregasi aktivitas dan kepentingan ekonomi. Kota sebagai pusat transit karena menjadi tujuan dari bertemu dan berkumpulnya berbagai pendatang untuk sementara atau menetap.
Kota sebagai pusat hiburan dengan berbagai macam pilihan sebagai konsekuensi dari sifat naluriah manusia. Bahkan kota sebagai pusat ekspresi individual atau kelompok yang mungkin tak bisa dituangkan di daerah asal. Semua peran tersebut, sepertinya telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan di Kota Jambi.
Semua konsekuensi menyangkut ruang dan peran tersebut tidak terelakkan. Magnet kota sebagai pusat harapan untuk kehidupan yang lebih baik sejak dulu sudah terpatri dalam pikiran banyak orang.
Muasal dari praktik urbanisasi yang sejatinya tak pernah benar-benar bisa dikendalikan pemerintah adalah imajinasi tentang kehidupan kota yang ramai, mudah mencari pekerjaan dan menyenangkan untuk dihuni. Tentu saja, ada batas yang jelas antara imajinasi dan realitas bagi yang telah pernah mengalami kerasnya kota.
ADVERTISEMENT
Kota Jambi, mungkin belum bisa dikategorikan sekaku dan sekeras kota-kota metropolitan. Toh, di sini konsep kekerabatan yang kuat dan erat masih sangat mudah ditemui.
Sebagai insan yang sejak kecil bermukim di Jambi, berkesempatan beberapa kali dan berbilang warsa mukim di dua kota besar di Pulau Jawa, penulis merasakan bahwa meskipun berstatus sebagai kota, solidaritas yang hadir di tengah masyarakat Kota Jambi masih kental bernuansa solidaritas masyarakat pedesaan (gemeinschaft).
Hal itu bisa dimaklumi. Sebab, mayoritas penduduk Kota Jambi berasal dari rumpun yang sama. Pertanyaan reflektif yang mungkin bisa diajukan menyambut hari jadi ke-622 tahun Kota Jambi adalah seperti apa wajah Kota Jambi di masa yang akan datang?
Apakah dibiarkan tumbuh layaknya business as usual? Atau diintervensi melalui serangkaian kebijakan dan program afiliasi yang melibatkan banyak pihak?
ADVERTISEMENT
Kota Jambi sebagai Kota Kolaborasi
Jargon kota kolaborasi, mungkin cukup terdengar familiar. Kolaborasi tidak sekadar menunjukkan untuk membangun kota tidak perlu melalui pendekatan kompetisi antar pemangku kepentingan.
Kolaborasi justru merupakan jawaban dari pergeseran konsep lex generalis menjadi lex spesialis dalam kerangka kerja-kerja penyelenggara negara dan pemerintahan. Berbagai orang dengan latar belakang keahlian bekerja dalam satu tujuan yang dibingkai dalam frame yang sama.
Kota Jambi, sejauh ini memenuhi prasyarat sebagai kota kolaborasi. Posisi strategis sebagai ibu kota Provinsi Jambi. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang kondusif. Penduduk yang terbuka sekaligus kuat memegang nilai-nilai kearifan lokal.
Ruang dan peluang investasi serta pengembangan kota yang masih cukup terbuka adalah beberapa prasyarat yang tersedia. Tantangannya kemudian adalah bagaimana melengkapi prasyarat tersebut dengan syarat-syarat sebagai sebuah kota yang berkemajuan tidak hanya dari aspek fisik tapi juga aspek sosial dan budaya.
ADVERTISEMENT
Dalam rangkaian diksi yang lebih ringkas, menjadikan Kota Jambi sebagai melting pot untuk bermacam latar belakang yang aman dan nyaman. Kota yang menolak apa yang dinyatakan oleh Budayawan Umar Kayam sebagai “strategi (kebudayaan) yang memaksakan homogenitas yang monolitik dari kenyataan kemajemukan”.
Syarat-syarat tersebut menurut hemat penulis mencakup beberapa hal. Pertama, komitmen dan konsistensi menjaga dan merawat memori kolektif oleh pemerintah dan masyarakat. Memori kolektif adalah pengikat yang erat.
Ianya datang dan dipertahankan dari berbagai daya-upaya untuk tidak melupakan akar sejarah, asal-usul dan dimensi geografis. Maka memperingati Hari Jadi Kota Jambi setiap tahunnya bukan sekadar festivalisasi.
Peristiwa tersebut harus diposisikan sebagai momen refleksi untuk mengukur dan menetapkan teroka selanjutnya untuk Kota Jambi. Publik Kota Jambi perlu diajak dan dilibatkan secara perlahan tidak terlibat sebatas pada sebuah perayaan tapi juga menyadari sembari bercerita tentang sumbangsih apa yang telah mereka lakukan sebagai bagian dari sebuah komunitas besar.
ADVERTISEMENT
Ke depan, perlu dipikirkan medium yang tepat untuk merealisasikan hal ini. Melalui medium ini, para pemangku kepentingan formal akan mendapatkan beragam input yang lebih otentik.
Kedua, mendorong birokrasi pemerintahan yang agile. Agilitas menjadi keniscayaan dalam perkembangan global yang dikenal sebagai era disrupsi. Era yang secara tak langsung telah menghabiskan bahwa kepastian adalah ketidakpastian itu sendiri.
Perkembangan teknologi informasi yang semula diprediksi mendatangkan banyak kemudahan bagi kehidupan umat manusia ternyata juga mendatangkan apa yang disebut sebagai efek mekanisasi. Semakin banyak pekerjaan yang dulunya dilakukan secara manual dan konvensional digantikan oleh teknologi.
Pemerintah mau tak mau harus bisa beradaptasi dengan kondisi ini secara internal. Penguasaan teknologi digital dikombinasikan dengan pengambilan kebijakan, keputusan dan penyusunan program yang berbasis riset dan data merupakan tantangan sekaligus kemampuan dasar yang harus dikuasai secara komprehensif. S
ADVERTISEMENT
ecara eksternal, pemerintah dituntut pula untuk menelurkan kebijakan dan program yang berkontribusi menjaga stabilitas aktivitas ekonomi tetap berada dalam kondisi yang ideal. Agilitas birokrasi pemerintahan berangkat dari semakin dinamisnya perkembangan faktor-faktor eksternal dan kadang kali tak terprediksi.
Contoh terdekat adalah kebijakan dan program yang ditempuh saat menghadapi pandemi Covid-19. Singkatnya, Agile Governance merupakan bentuk kesiapan untuk melaksanakan tata Kelola pemerintahan yang luwes namun tetap mengedepankan ketaatan pada regulasi, akuntabilitas dan transparansi.
Terakhir, mendorong praktik kolaborasi yang nyata dan berkelanjutan. Ke depan, Kota Jambi perlu terus berupaya membangun komunikasi-komunikasi yang membangun dengan berbagai pihak terutama yang berbasis kerja sama untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Mengingat salah satu aspek yang menentukan maju atau stagnannya pembangunan suatu wilayah adalah kapabilitas dan kapasitas sumber daya manusia yang tersedia. Kolaborasi pada hakikatnya menuntut adanya elaborasi. Suatu laku yang tekun dan cermat dalam mempelajari, menemukan masalah dan mempersiapkan serangkaian opsi solusi.
ADVERTISEMENT
Praktik elaborasi membutuhkan tekad yang kuat dari segenap sumber daya manusia yang tersedia untuk terus mengembangkan kapasitas. Menjadi pembelajar yang terus haus akan pengetahuan baru dan mengaplikasikannya dalam perencanaan dan eksekusi kebijakan yang holistik.
Kota Jambi, sejauh ini berada pada lintasan yang tepat untuk terus membentuk jati diri sebagai kota yang maju namun tetap humanis dan menggambarkan peradaban yang adiluhung.
Kota yang menjadi melting pot yang sehat dan ideal karena berisi masyarakat yang heterogen, namun homogen dalam menerima keberagaman. Terbuka terhadap nilai-nilai baru, namun tetap kukuh menjaga identitas sebagai Tanah Pilih Pusako Betuah.
Tabik!