Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.0
Konten dari Pengguna
Birokrasi dan Kritisisme
17 Februari 2025 16:04 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Andy Arnolly Manalu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Birokrasi bekerja dalam spektrum yang luas. Dalam keluasan yang justru dibatasi limitasi waktu, tidak ada ruang untuk membiasakan para birokrat yang bersangkutan melakukan evaluasi terhadap apa yang dikerjakannya secara mandiri. Misalnya, bagaimana seorang birokrat yang memiliki tugas dalam perencanaan pembangunan atau pembiayaan diharuskan membuat risalah yang berisi tentang aspek-aspek yang ternyata tidak koheren dengan realitas yang ditemui ketika sebuah kebijakan atau program diimplementasikan. Tentu, penulis terlebih dahulu memberikan batasan yang jelas perbedaan antara evaluasi mandiri dengan tahapan legal-normatif seperti evaluasi kebijakan yang menjadi bagian dari siklus administrasi pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Meminjam perspektif Immanuel Kant dalam Kritik Terhadap Akal Budi Praktis, seorang kiranya perlu untuk terus mencari persinggungan antara rasionalisme dan empirisme untuk mengetahui apakah sesuatu yang diyakini sebagai benar atau baik bagi sebagian besar manusia (kalau tidak semua) atau justru sebaliknya menyakiti mayoritas mereka. Kebijakan yang dianggap rasional karena penalaran deduktif yang memandang bahwa kebijakan itu tepat karena menganut teori kebenaran sebagai koherensi asas-asas yang logis. Sebaliknya, semua yang terlihat sebagai logis harus dipandang skeptis sebelum terbukti bahwa terdapat correspondence theory of truth atau ada keterhubungan antara obyek yang ada dan dipikirkan dalam kebijakan serta obyek yang tidak terpikirkan sebelumnya sehingga berada di luar kebijakan. Keterhubungan antara dua obyek dimaksud dalam pemaknaan positif karena fungsi ideal birokrasi adalah menghadirkan keteraturan melalui operasionalisasi kebijakan secara sistematis dan kontekstual. Sederhananya, sebuah kebijakan atau program dianalogikan sebagai produk akal budi praktis maka harus dan tidak boleh menyakiti siapapun bahkan mereka yang sebelumnya tidak terpikirkan ketika kebijakan atau program tersebut dicetuskan.
ADVERTISEMENT
Evaluasi mandiri yang dilakukan oleh insan birokrasi, menurut penulis bisa berangkat dari perspektif yang dibangun dari kerangka Etika Kantian yaitu prinsip moral yang berlaku universal tanpa memandang konteks dan situasi. Misalnya, memberikan makanan kepada orang lain yang kelaparan adalah kebaikan. Tak ada pengecualian untuk menyepakati perbuatan tersebut sebagai sebuah kebaikan atau imperatif kategoris dalam istilah Kant. Tentu, setiap birokrat dapat memilih model yang dirasa tepat untuk melakukan evaluasi mandiri. Spektrum kerja birokrasi yang luas dengan spesialisasi yang berbeda-beda tak dapat dipahami dengan perspektif tunggal. Bukan sebuah kebetulan jika Kant menawarkan Kritisisme sebagai pengetahuan yang berangkat dari akal dan pengalaman sebagai pisau analisis. Dalam struktur yang lebih ringkas, penulis mendefinisikan evaluasi mandiri berpijak dari pengetahuan birokrat bersangkutan melakukan penalaran terhadap asumsi, data dan fakta yang berasal dari pelaksanaan tugas atau setumpuk dokumen yang menjadi bukti kerjanya. Mengingat evaluasi mandiri bersifat privat maka kejujuran adalah syarat mutlak.
ADVERTISEMENT
Lalu, pertanyaan pentingnya, “untuk apa seorang birokrat melakukan evaluasi mandiri dalam bingkai Kritisisme?”. Bukankah terasa absurd ketika kita mengevaluasi dokumen kebijakan atau program yang kita susun sendiri. Bukankah sudah ada evaluasi dari Aparat Intern Pengawasan Pemerintah. Tidak tertutup kemungkinan hadirnya kritik dari organisasi non pemerintah atau pers. Pada titik ini, kritik merupakan sesuatu yang umum. Siapa saja boleh melontarkan kritik dan didapuk sebagai orang yang kritis. Persoalan apakah kritik tersebut berkaitan dengan substansi permasalahan tidak selalu menjadi causa prima. Predikat kritis juga bisa hadir karena kekerapan berpendapat bukan dari penguasaan aspek epistemologi keilmuan atau kedalaman pemahaman teori tentang isu yang dibahas. Faktor terbesar datangnya kritik yaitu bias kepentingan sepertinya juga terus ada sebagai konsekuensi dunia birokrasi yang merupakan medan praksis praktik kekuasaan. Jadi, siapapun boleh mengkritik. Siapa saja boleh mengaku kritis atau dipandang sebagai orang yang kritis. Tapi bisa dipastikan sedikit sekali dari subjek yang melakukan kritik atau dipandang kritis tersebut mampu menulis analisis yang komprehensif untuk mendukung argumentasinya.
ADVERTISEMENT
Birokrat semestinya sudah melampaui perilaku sekadar mengkritik. Kapasitas melakukan evaluasi mandiri terhadap tugas sendiri dan tugas institusi ada pada semesta yang berbeda dengan sekedar mengkritik. Ketika seorang birokrat berani untuk memeriksa kembali tugasnya dengan jujur. Menggunakan pisau analisis yang tepat serta berupaya mendapatkan perspektif dari jejaring eksternal maka sesungguhnya piranti berpikir seorang birokrat telah berproses menuju Kritisisme.
Kritisisme Dalam Evaluasi Mandiri
Kritisisme sebagaimana Kant yakini, didahului dengan menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio (yang didukung data dan fakta). Kant menekankan dalam konsep filsafat seseorang harus terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat kemungkinan untuk menguji pengetahuan kita. Jika kritik secara umum berisi tentang klaim yang kasat mata atau laporan lisan maka Kritisisme tidak bekerja dalam pendekatan yang sama. Kritisisme akan berangkat dari proses-proses yang terjadi terhadap objek kritik tersebut. Ia akan menghindari segala sesuatu yang bersifat dogmatis atau pengandaian atas objek kritik yang lazim dilakukan oleh persona tak berakses data dan informasi obyektif. Fokus Kritisisme dalam bingkai evaluasi mandiri seorang birokrat adalah kerangka transendental yang menjadi latar belakang sebuah kebijakan atau program dicetuskan. Penulis mengajukan pemikiran Kant dalam bukunya yang lain, Kritik Atas Akal Murni (Critique of Pure Reason) yang memuat alur bagaimana Kritisisme terhadap kebijakan atau program dibangun dengan urutan yang ajeg.
ADVERTISEMENT
Pertama, pada taraf Estetika Transendental, kebijakan dan program tidak semata terjadi karena kausalitas. Jika jumlah orang miskin bertambah maka pertumbuhan ekonomi tinggi yang tinggi bukan jawabannya atau dijadikan basis permakluman. Rasionalisme akan mendorong bagaimana orang-orang miskin dapat memenuhi kebutuhannya dengan berbagai bentuk program seperti jaring pengaman sosial. Empirisme akan melihat orang-orang miskin sebagai permasalahan struktural yang meskipun dibantu dalam derajat tertentu akan tetap miskin karena secara induktif permasalahan mereka lebih dari sekadar kemiskinan berdasarkan pengalaman indrawi atau batiniah. Rasionalisme sebagaimana Descartes yakini menemukan kepastian lewat rasio yang dapat diabstraksi, terhubung dan afektif dengan objek. Pengalaman bukan jadi pengungkit kebijakan yang tepat karena semua permasalahan bisa diabstraksi dan dirasionalisasi untuk mencari solusi. Ini semacam kebijakan dan program yang dirumuskan dari menara gading. Terpisah dari praksis kehidupan. Estetika Transendental membuat seorang birokrat meneroka kebijakan yang menjadi basis evaluasi mandiri dengan mencoba merepresentasikan kembali apakah objek kebijakan telah mampu menjadi subjek. Artinya, apakah kebijakan atau program telah membuat orang-orang miskin tadi mampu keluar dari jebakan kemiskinan. Statistik mengenai angka kemiskinan harusnya melihat apakah orang miskinnya itu-itu saja atau telah berganti. Kritisisme pada taraf Estetika Transedental mendorong seorang birokrat untuk memiliki basis ilmiah, logis dan observasi secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Kedua, pada taraf Analitika Transendental, kebijakan dan program yang berangkat dari terma orang miskin dipelihara oleh negara sebagaimana amanat konstitusi justru harus dibongkar. Rasionalisme dan Empirisme melihat pemaknaan tanggung jawab negara dalam proyeksi umum padahal orang miskin bersifat segmented atau jelas siapa orangnya berdasarkan kategori yang telah disepakati. Analitika Transendental mendorong hadirnya logika yang transendental. Ia tak menampik bahwa orang miskin itu ada. Logika transedental akan membantu menganalisis bahwa membantu orang-orang yang terus menerus terdata sebagai miskin untuk keluar dari predikat subjek justru lebih penting daripada sekadar berbicara tentang penurunan angka kemiskinan. Seorang birokrat yang mumpuni akan mampu membangun sintesis dari evaluasi mandiri untuk menghadirkan kebijakan sebagai kombinasi antara data-data indrawi dan unsur akal budi. Sederhananya begini, membantu orang miskin bisa dilakukan dengan memberikan bantuan seperti sembako atau dana sosial. Data indrawi akan merekamnya dalam bentuk foto dan laporan. Penggunaaan akal budi mengupayakan agar ke depan orang-orang yang terekam dalam data indrawi tersebut tidak lagi menerima bantuan karena sudah mampu secara bertahap memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri. Membiarkan orang yang sama miskin terus menerus adalah perbuatan yang tak berbudi. Artinya, kebijakan bantuan sosial atau sejenisnya tidak mungkin berlaku secara terus menerus pada orang sama. Jika hal demikian terjadi maka birokrasi terbukti gagal. Terma ‘memelihara’ dalam konstitusi pada Analitika Transendental justru menemukan pemaknaan sebagai ‘melepaskan’ karena angka kemiskinan terus turun dan subjek atau orang miskinnya tidak pernah sama secara terus menerus.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pada taraf Dialektika Transendental, kebijakan dan program harus dilihat sebagai sintesis antara rasio (Vernunft) dan akal-budi (Verstand). Ide-ide yang transendental hadir karena data-data indrawi diolah dengan rasio dan akal budi. Kritik pada program bantuan sosial untuk orang miskin akan fokus pada penerima manfaat yang tidak tepat. Kritisisme dalam evaluasi mandiri yang dilakukan seorang birokrat justru akan mempertanyakan sudah tepatkah bantuan sosial tersebut diberikan jika ternyata penurunan angka kemiskinan mengandung bias karena orang miskinnya itu-itu saja. Tahapan dialektis dalam evaluasi mandiri akan membuat sang birokrat terus menerus melakukan exercising untuk menemukan formulasi kebijakan dan program yang kontekstual.
Pada akhirnya Kritisisme dalam evaluasi mandiri seorang birokrat berfungsi sebagai model refleksi yang independen. Seorang birokrat sejatinya bukan mesin yang bekerja hanya berdasarkan perintah atau konsensus bernama tugas dan fungsi. Haji Abdul Malik Karim Abdullah atau Buya Hamka pernah berujar, “Kalau hidup sekadar hidup, Babi di hutan pun hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, Kera juga bekerja”. Birokrasi dan Birokrat di era mondial ini sudah seharusnya lebih dari sekedar bekerja dalam terminologi yang sempit. Seorang birokrat tidak hanya mencatat tapi memahami apa yang ditulis. Ia tidak hanya mengetik tapi mampu menyusun alur pikir yang mudah dimengerti bahkan oleh kalangan awam sekalipun untuk dapat diterima dan dilaksanakan
. Ia tidak hanya dapat memberi dan menerima perintah tapi mau mengejawantahkan sintesis antara rasio dan akal budi dalam laku yang egaliter. Pada akhirnya, evaluasi mandiri melalui Kritisisme atau model lainnya akan membuat seorang birokrat terbiasa berpikir dan menulis dengan jernih dan jujur.
ADVERTISEMENT
Mengakhiri tulisan ini, izinkan saya memparafrasekan kutipan milik Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh merasa bekerja atau mengkritik setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Tabik!