Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menuju Kota Transformatif yang Humanis
22 Desember 2024 15:22 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Andy Arnolly Manalu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Andy Arnolly
Perencana, Bappeda Kota Jambi
Saat terpilih menjadi Wali Kota Bogotá, Kolombia pada tahun 1998, Enrique Penalosa memulai salah satu revolusi tata kelola kota yang paling monumental di dunia. Sang wali kota memulai kerjanya dengan membenahi transportasi umum Kota Bogota yang terkenal semrawut. Sekitar tahun 1990-an, transportasi umum Kota Bogotá sangat buruk dan tidak sebanding dengan jumlah pengguna yang tumbuh pesat. Transportasi umum yang buruk pada akhirnya menghasilkan tingkat mobilitas yang lamban, kualitasnya pelayanan yang buruk, operasional yang rendah, waktu tempuh yang lama, kemacetan yang sulit terurai cepat, tingkat kecelakaan yang tinggi, dan polusi udara serta suara yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Penalosa kemudian menggagas TransMilenio sebuah sistem transportasi terintegrasi yang memiliki dua tujuan utama yaitu mengubah sistem transportasi umum Bogotá untuk meningkatkan kualitas hidup warga dan kualitas udara kota, serta meningkatkan produktivitas. Untuk mengimplementasikan program TransMilenio maka yang pertama dilakukan oleh Penalosa adalah mengubah cara pandang masyarakat Bogotá dalam melakukan mobilitas. Mengubah cara pandang terlebih dahulu harus didahului dengan menyediakan pilihan transportasi umum yang terjangkau, melayani banyak rute, memiliki tata kelola waktu yang baik dan manajemen resiko yang handal. Tahap pertama implementasi selesai pada tahun 2002, tahap kedua pada tahun 2006, dan pada tahun 2012, TransMilenio telah memiliki 12 jalur yang beroperasi di kota tersebut dan sekarang diyakini sebagai sistem transportasi bus terbesar di dunia. TransMilenio juga telah mengoperasikan Bus Rapid Transport (BRT) yang menggunakan sumber energi ramah lingkungan untuk menjangkau warga yang tinggal di pinggiran kota.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, Penalosa berhasil melakukan transformasi tata kelola pemerintahan terkait penggunaan lahan dan perumahan bagi kaum miskin, pengurangan polusi, dan kebutuhan mendesak akan ruang publik. Puncaknya, Penalosa berhasil melakukan transformasi sistem transportasi. Program yang kemudian sering diringkas dalam kutipan milik Penalosa, “An advanced city is not one where even the poor use cars, but rather one where even the rich use public transport”. Kota yang maju bukanlah kota yang penduduk miskinnya menggunakan mobil pribadi melainkan kota yang penduduk kayanya menggunakan transportasi umum.” Terkini, Bogotá memiliki sistem transportasi dan sumber daya manajemen yang mampu melayani lebih dari 80% populasi kota. Bogotá berkembang menjadi kota yang efisien yang secara tak langsung mempengaruhi tingkat kesehatan dan kebahagiaan warganya dalam melakukan aktivitas di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Mengenali Masalah Prioritas
Dinamika kota di Indonesia yang berkembang sedemikian rupa menghadirkan tantangan yang semakin berat. Pertambahan penduduk yang tidak bisa diimbangi dengan sarana publik seperti sarana kesehatan, pendidikan dan transportasi. Lapangan pekerjaan yang yang tak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Okupasi sarana dan ruang publik untuk aktivitas ekonomi. Jika tak ada antisipasi yang terarah dan berkesinambungan maka kualitas kehidupan masyarakat kota akan terus menurun.
Dalam konteks terkini, kita dapat menemukan kota yang dipusingkan dengan masalah sampah seperti Yogyakarta dan Pekanbaru. Kota-kota di Pulau Jawa yang berjuang melepaskan diri dari kemacetan seperti Surabaya, Jakarta atau Bogor. Kota-kota yang saban curah hujan deras, warganya berjibaku melawan banjir. Kota-kota yang seperti tak berdaya menyeimbangkan antara utilitas publik dan pengguna ruang publik di tengah alih fungsi lahan.
ADVERTISEMENT
Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahun 2024 menjadi titik masuk yang tepat untuk mencari solusi yang holistik. Belajar dari kasus Bogotá untuk mengenali apa yang harus dilakukan para kepala daerah terpilih dengan segenap kewenangannya untuk lima tahun ke depan. Mengkongkritkan janji politik yang yang menjadi pondasi arah kebijakan dan sasaran pembangunan. Mengejawantahkan visi dan misi yang menjadi fokus administrasi pemerintahan yang berpijak pada skala prioritas dan realitas.
Kota-kota di Indonesia punya similaritas yang tinggi. Permasalahan yang dihadapi cenderung identik dan berefek seperti bola salju. Mendatangkan masalah-masalah ikutan seperti meregangnya kohesi sosial, tata kota yang canggung karena keterbatasan ruang untuk inovasi serta yang kerawanan yang tinggi. Penalosa, memulainya dengan melihat apa yang menjadi inti masalah (core problem) di kota yang dipimpinnya. Ia memilih membenahi transportasi umum karena melihat di sana letak kesemrawutan tata kelola paling utama.
ADVERTISEMENT
Para wali kota terpilih perlu untuk berupaya lebih intens untuk mengetahui inti masalah di wilayahnya. Fakta bahwa mayoritas daerah otonom di Indonesia memiliki keterbatasan anggaran yang disertai mandatory spending menjadi alasan terkuat. Selain itu, batasan kewenangan yang dimiliki wali kota terpilih membutuhkan inisiasi untuk menjadi model-model kolaborasi untuk mencapai target prioritas dimaksud. Seperti halnya, Penalosa memetakan masalah di Bogotá maka wali kota terpilih dapat memilah masalah prioritas yang harus dipecahkan untuk membuat warga kota merasakan adanya denyut perubahan yang sedang berjalan.
Penulis mencoba memetakan tiga permasalahan utama kota yang dapat ditangani dengan relatif cepat dengan kombinasi kebijakan yang tepat sasaran dengan pemanfaatan sumber daya yang efektif dan efisien yaitu pengelolaan sampah, kemacetan dan ruang terbuka publik atau kerap disebut sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). Pemecahan ketiga masalah ini secara bertahap akan mendatangkan manfaat yang besar terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat kota. Tekanan aktivitas yang tinggi, mobilitas yang tersendat dan himpitan ekonomi merupakan kombinasi yang kerap membuat tingkat stress warga kota cukup tinggi. Semisal kemacetan dapat diurai maka jarak tempuh yang semakin cepat akan memberikan kenyamanan bagi penguna jalan. Apabila manajemen pengelolaan sampah telah menggugah kesadaran kolektif maka akan mendorong berkembangnya ruang ekonomi sirkular. Terakhir, apabila ruang publik yang layak tersedia dan bisa diakses berbagai lapisan masyarakat akan menjadi medium merekatkan kembali kohesi sosial beserta aktivitas positif lainnya.
ADVERTISEMENT
Kota Tranformatif-Masyarakat Bahagia
Sedikit menarik ke konteks perencanaan, penulis merasa perlu mengingatkan bahwa transformasi tata kelola merupakan salah satu misi yang bersifat imperatif dalam dokumen RPJPD Tahun 2025-2045. Imperatif artinya merupakan kebijakan berjenjang dari pemerintah pusat sampai ke daerah. Setelah mengenali inti masalah maka dengan tetap mempertimbangkan kemampuan kota maka ada beberapa langkah yang dapat dijadikan pertimbangan untuk mengawali transformasi kota dalam mengatasi ketiga permasalahan prioritas dimaksud.
Pertama, Pengelolaan Sampah. Reformasi pengelolaan sampah juga merupakan salah satu dari 20 upaya transformasi Game Changer dalam RPJPN 2025-2045. Saat ini kurang dari 5% kabupaten/kota yang memiliki Rencana Induk Sistem Pengelolaan Sampah. Data juga menunjukkan daya tampung rata-rata Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) secara nasional diproyeksikan akan penuh pada tahun 2028 atau bisa lebih cepat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut. Saat ini, kondisi pengelolaan sampah belum optimal karena masih rendahnya kesadaran untuk memilah berdasarkan jenis; sistem pengelolaan sampah masih berpusat di hilir (TPA); Praktik open dumping yang masih dilakukan dan berakibat residu sampah ke TPA masih tinggi; Hasil olahan sampah belum memiliki nilai ekonomis; dan terakhir, daerah masih kesulitan memasarkan hasil olahan sampah.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi hal tersebut maka gagasan yang ditawarkan antara lain tidak lagi membangun TPA yang baru namun hanya menyediakan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang berfungsi untuk mengolah sampah yang telah dipilah sebelumnya sehingga memiliki nilai ekonomis. TPA yang ada hanya berfungsi untuk menampung sampah yang tak bisa didaur ulang atau diolah. Untuk mewujudkan efektivitas TPST maka perlu untuk membangun kebiasaan baru di tengah masyarakat dalam mengurangi dan memilah sampah di tingkat rumah tangga. Penyadaran dan pelibatan masyarakat menjadi strategi kunci. Terakhir, pemerintah kota perlu melakukan reformasi tata kelola pengelolaan sampah. Aspek yang menajdi obyek reformasi yaitu kebijakan, kelembagaan teknis, pendanaan, pemberdayaan masyarakat dan pelibatan pemangku kepentingan. Muara dari reformasi kelima aspek tersebut adalah tersedianya platform pengelolaan sampah dari hulu ke hilir yang baku. Platform tersebut akan mampu mengoptimalkan pengurangan timbulan sampah, mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dari sektor sampah dan terakhir mendorong hadirnya aktivitas ekonomis sirkular yang berpotensi membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kedua, tata kelola mengurai kemacetan. Perlu untuk mengakui bahwa sebagian besar tata kota di Indonesia tidak diproyeksikan untuk jangka panjang dan belum menyertakan skenario adaptasi yang layak. Ditambah lagi tingkat kedisiplinan masyarakat dan aparatur negara untuk mematuhi regulasi yang berlaku. Beberapa kebijakan jangka pendek untuk mengurai kemacetan adalah dengan melakukan rakayasa lalu lintas pada jam sibuk. Langkah awal dimulai dengan pemetaan jam sibuk, jalur utama dan alternatif yang melibatkan pemangku kepentingan untuk mempersiapkan skenario rekayasa sesuai dengan kebutuhan. Setelah skenario rekayasa telah disepakati maka perlu melakukan sosialisasi dan diseminasi kebijakan untuk menimbulkan kesadaran kolektif pengguna jalan. Terakhir, Optimalisasi petugas Dinas Perhubungan dalam melakukan pengawasan rekayasa lalu lintas juga memegang peranan penting sebagai antisipasi perilaku pengguna jalan yang belum disiplin. Sepanjang implementasi kebijakan jangka pendek maka dapat dilakukan observasi untuk mendapatkan input dalam rangka pengambilan kebijakan jangka menengah dan panjang untuk memastikan permasalahan kemacetan dapat tersolusi. Kebijakan jangka menengah dan jangka panjang harus disusun berbasis penyediaan sarana transportasi umum dan jaringan operasional. Alasan utamanya karena salah satu cara untuk mengurangi kemacetan adalah meminimalkan warga menggunakan kendaraan pribadi.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Ruang Terbuka Hijau bukan hanya sekedar memenuhi ketentuan spasial dalam rencana tata ruang. RTH memiliki fungsi ekologis, fungsi sosiologis dan fungsi estetika. RTH yang dikelola dengan baik akan mampu memenuhi ketiga fungsi tersebut. Pemerintah Kota dihadapkan pada berbagai tantangan untuk memenuhi ketentuan Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mengatur proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Tantangan paling utama adalah ketersediaan lahan dan anggaran untuk pembebasan lahan. Harga tanah di kota yang cenderung tinggi sementara anggaran pemerintah mesti dipergunakan untuk pembiayaan berbagai program lainnya membutuhkan inovasi untuk tersedianya RTH yang seimbang antara kuantitas dan kualitas. Selain tetap mengoptimalkan upaya yang telah ditempuh sebelumnya, menurut penulis ada beberapa cara yang dapat ditempuh. Pertama, mendorong partisipasi pihak swasta dalam penyediaan RTH dengan kompensasi tertentu. Misalnya, dengan memberikan insentif dalam pemenuhan kewajiban kepada pemerintah atau pemberian ruang promosi secara gratis. Kedua, mengoptimalkan lahan-lahan tidur dengan perjanjian pinjam pakai atau mekanisme lain yang disepakati dengan pemilik lahan untuk dijadikan RTH. Ketiga, mendorong penggunaan area perkantoran pemerintah sebagai RTH mikro yang dapat diakses terbatas dan menyediakan sarana untuk dimanfaatkan sebagai ruang kerja bersama (co working space). Untuk jangka pendek dan jangka panjang, penataan RTH lebih difokuskan pada area bantaran sungai dan drainase kota untuk mengotimalkan fungsi ekologis.
ADVERTISEMENT
Ketika ketiga permasalahan tersebut ditangani dengan tepat oleh Pemerintah Kota maka capaian agregatnya adalah penurunan emisi Gas Rumah Kaca. Penyumbang terbesar emisi GRK di wilayah perkotaan berasal dari sampah dan penggunaan bahan bakar fosil untuk kendaraan bermotor.
Transformasi menuju kota yang humanis berangkat dari hal-hal yang sederhana yang beririsan langsung dengan keseharian warga. Kota yang transformatif menjadikan permasalahan mendasar yang dihadapi warga sebagai semesta dalam pengambilan kebijakan. Kita tahu, bahwa permasalahan warga kota-kota di Indonesia mayoritas masih berkisar di pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Digitalisasi mungkin terdengar canggih dan sophicasted tapi sebenarnya dalam konteks warga kota hanya sedikit yang terhubung dan memanfaatkannya secara konsisten.
Kerasnya kehidupan kota dalam rupa tuntutan ekonomi yang kian tinggi dan persaingan yang ketat membutuhkan kanal-kanal pelepasan. Pemerintah Kota yang berhasil akan mendatangkan kegembiraan bagi warga. Kegembiraan yang menghadirkan sejumput kebahagiaan bagi warganya ketika mampu menyediakan jalan keluar seperti yang telah diuraikan di atas.
ADVERTISEMENT
Kebahagiaan memang punya gradasi yang berbeda-beda bagi setiap orang. Seperti halnya, pariwara komersil sebuah minuman kemasan yang menceritakan kebanggaan seorang anak pada bapaknya yang digambarkan sebagai pengantar kegembiraan pada teman-teman sekelasnya. Sudah saatnya, pemerintah kota di seluruh negeri ini bekerja untuk mendatangkan kegembiraan dan kebahagiaan yang berkelanjutan bagi warganya. Semoga!