Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Ekosistem Karbon Biru dan Mitigasi Perubahan Iklim
26 Januari 2025 12:46 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Angga Hermanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jalan Bagi Pemerintah Menggapai Target Iklim
ADVERTISEMENT
Ekosistem Karbon Biru merupakan ekosistem pesisir yang memiliki kemampuan untuk menyerap, menyimpan, dan mengelola karbon dari atmosfer. Ekosistem Karbon Biru diantaranya hutan mangrove, rawa-rawa payau, dan ladang lamun. Lamun ialah tumbuhan berbunga yang dapat tumbuh dengan baik dalam lingkungan laut dangkal. Kemudian ada juga pendapat yang menggolongkan terumbu karang sebagai kerbon biru, sebab memiliki peran sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim global.
Potensi besar Ekosistem Karbon Biru dimiliki Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 80.000 kilometer. Pendayagunaan karbon biru di Indonesia menjadi satu kunci dalam upaya mitigasi perubahan iklim dunia. Sekaligus mendukung keberlanjutan ekosistem pesisir dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
ADVERTISEMENT
Potensi Karbon Biru Indonesia
Indonesia memiliki sekitar 3,5 juta hektar mangrove atau sekitar 23% dari total luas mangrove dunia. Mangrove adalah salah satu ekosistem karbon biru yang paling efektif dalam menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Studi menunjukkan bahwa mangrove dapat menyerap karbon lebih dari 3-5 kali lipat dibandingkan dengan hutan tropis daratan.
Ekosistem mangrove di Indonesia rata-rata mampu menyerap 52,85 ton CO2 per hektar per tahun. Capaian ini lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan estimasi global (26,42 ton CO2 per hektar per tahun). Selain itu, padang lamun juga memainkan peran penting dalam penyerapan karbon. Dengan estimasi penyimpanan karbon sebesar 0,3 hingga 4,6 teraton CO2 per tahun secara global.
ADVERTISEMENT
Indonesia juga memiliki ekosistem padang lamun yang luas, diperkirakan mencakup sekitar 60% dari total area padang lamun di Asia Tenggara. Padang lamun memiliki kemampuan untuk menyerap karbon yang besar melalui akumulasi organik dalam sedimen bawah laut. Padang lamun di Indonesia memiliki potensi untuk menyerap sekitar 20 juta ton CO2 per tahun. Jika dikelola dengan baik, ekosistem ini dapat memberikan kontribusi besar dalam upaya Indonesia mencapai target pengurangan emisi karbon sesuai dengan komitmen dalam Perjanjian Paris.
Selain itu, rawa-rawa payau yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia berfungsi sebagai penyerap karbon yang signifikan. Ekosistem ini menyerap dan menyimpan karbon dalam bentuk biomassa dan sedimen, yang sangat penting dalam mengurangi kadar CO2 di atmosfer. Keberadaan ekosistem tersebut dapag melindungi pesisir dari bencana alam seperti rob, erosi, dan tsunami. Bencana di psisir yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Menjalankan Komitmen Iklim
Berdasarkan hasil COP29 Perubahan Iklim di Baku, Azerbaijan, yang diselenggarakan November 2024 lalu, bahwa fokus utama kesepakatan antar negara adalah tentang keuangan iklim. Beberapa hasil yang disepakati antara lain: satu, mengalokasikan tiga kali lipat pendanaan untuk negara-negara berkembang, dari target sebelumnya sebesar USD 100 miliar per tahun, menjadi USD 300 miliar per tahun pada tahun 2035.
Kemudian kedua, memastikan upaya semua aktor bekerja sama untuk meningkatkan pendanaan ke negara-negara berkembang, dari sumber publik dan swasta, hingga jumlah USD 1,3 triliun per tahun pada tahun 2035. Ketiga, persetujuan tentang pasar karbon. Kesepakatan ini akan membantu negara-negara menyampaikan rencana iklim dengan lebih cepat dan murah, dan membuat kemajuan yang lebih cepat dalam mengurangi separuh emisi global pada dekade ini--seperti yang dipersyaratkan oleh sains.
ADVERTISEMENT
Mengenai perdagangan antar negara (Pasal 6.2), keputusan dari COP29 memberikan kejelasan tentang bagaimana negara-negara akan mengesahkan perdagangan kredit karbon dan bagaimana registri yang melacaknya akan beroperasi. Negara-negara juga menyetujui standar untuk pasar karbon terpusat di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (mekanisme Pasal 6.4). Secara teks hal ini menguntungkan negara-negara berkembang, yang akan mendapatkan keuntungan dari aliran keuangan baru.
Sasaran keuangan baru dalam COP29 dibangun atas langkah maju yang signifikan pada aksi iklim global di COP27, yang menyetujui Dana Kerugian dan Kerusakan. Kemudian COP28, yang menghasilkan kesepakatan global untuk beralih dari semua bahan bakar fosil dalam sistem energi dengan cepat dan adil, melipatgandakan energi terbarukan, dan meningkatkan ketahanan iklim.
Kebijakan Nasional
Presiden Prabowo dalam Visi ‘Asta Cita’ telah menargetkan percepatan target Net Zero emisi Gas Rumah Kaca melalui upaya carbon sink (menyerap dan menyimpan karbon), carbon offset (mengurangi karbon), dan penurunan jejak karbon. Komitmen iklim pemerintah ini dilakukan dalam kerangka Ekonomi Hijau. Bahkan terdapat wacana pemerintahan Prabowo Subianto akan segera membentuk Badan Karbon atau Badan Pengelola Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Niaga Karbon.
ADVERTISEMENT
Kebijakan tersebut tentu patut menjadi perhatian bersama. Selain daratan, terdapat potensi besar mitigasi iklim di pesisir dan lautan melalui Ekosistem Karbon Biru. Ekosistem karbon biru juga memiliki potensi ekonomi. Ekosistem mangrove dan padang lamun sebagai contoh, tidak hanya berfungsi sebagai penyerap karbon, tetapi juga menjadi habitat bagi berbagai spesies laut yang mendukung industri perikanan lokal. Kekayaan alam yang ada di ekosistem ini, seperti ikan, udang, dan moluska, berkontribusi pada ekonomi masyarakat pesisir.
Namun meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam hal ekosistem karbon biru, pengelolaan dan konservasi ekosistem ini menghadapi berbagai tantangan. Luas tutupan lahan mangrove terus menyusut dari tahun ke tahun. Indonesia dalam 30 tahun diperkirakan telah kehilangan 900 ribu hektare lahan mangrove. Salah satu penyebabnya yaitu konversi dan privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemerintah sesungguhnya telah menetapkan berbagai kebijakan moratorium pengalihan fungsi mangrove, tetapi implementasi kebijakan ini harus lebih ketat.
ADVERTISEMENT
Penyebab lainnya yakni polusi dari industri dan limbah yang mengancam kelestarian ekosistem pesisir. Padahal kerusakan ekosistem ini tidak hanya berimplikasi pada penurunan kapasitas penyerapan karbon, tetapi juga mengurangi kemampuan ekosistem untuk menyediakan jasa ekosistem lainnya, seperti perlindungan pesisir, penyediaan bahan pangan, dan pengaturan kualitas air.
Oleh karnea itu, diperlukan langkah-langkah konkret dalam pengelolaan dan konservasi ekosistem pesisir. Diantaranya bersama masyarakat pesisir melakukan konservasi yang terukur dan sistematis. Kemudian menindak secara hukum privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak sesuai dengan ketentuan dan merugikan rakyat dan kepentingan nasional. Sebagaimana kejadian pemagaran dan pengkavlingan laut yang terjadi di Tangerang dan daerah lainnya.
Langkah selanjutnya yang juga penting yaitu riset dan teknologi untuk memetakan potensi karbon biru secara lebih akurat. Kemudian mengembangkan teknik rehabilitasi yang lebih efektif. Penting juga menjalankan sistem insentif yang mendukung pengelolaan berkelanjutan ekosistem karbon biru kepada rakyat banyak.
ADVERTISEMENT