Indef: Ketimpangan Penduduk Indonesia Akan Semakin Lebar

2 Februari 2017 15:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi kemiskinan (Foto: Reuters/Ezra Acayan )
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka ketimpangan pengeluaran atau rasio gini penduduk Indonesia menurun tipis dari 0,397 pada Maret 2016 menjadi 0,394 pada September 2016. Namun penurunan itu dinilai tidak akan memberikan pengaruh banyak karena angka ketimpangan bergerak stagnan dalam lima tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pemerintah harus waspada dengan angka ketimpangan tersebut karena BPS menghitung ketimpang masyarakat dari sisi pengeluaran. Menurut dia, indeks gini ratio penduduk Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir bergerak sangat stagnan.
“Pasca reformasi ketimpangan menjadi tidak terkendali. Di tahun 1980-an angka ketimpangan lebih baik yakni direntang 0,3-0,32,” kata Bhima kepada kumparan, Kamis (2/2).
Menurut Bhima, dalam penghitungannya BPS hanya memotret ketimpangan penduduk dari sisi pengeluaran. Artinya, inflasi menjadi salah satu komponen dominan. Turunnya ketimpangan pada 2016, kata dia, merupakan efek dari rendahnya inflasi sepanjang tahun lalu yang hanya 3,02 persen, terendah sejak sejak 2010 karena harga komoditas yang turun dan tidak adanya kenaikan harga listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM).
ADVERTISEMENT
Namun, kondisi itu diprediksi akan berbalik arah pada tahun ini. Sebabnya, inflasi di Januari sudah tercatat 0,97 persen, tertinggi sejak tiga tahun terakhir yang disebabkan harga pangan (volatile food) yang bergerak liar dan harga yang diatur pemerintah (administered price) yang mengalami kenaikan seperti pencabutan subsidi listrik dan kenaikan biaya administrasi pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
“Akan menggerus daya beli masyarakat dan mengakibatkan ketimpangan pengeluaran naik hingga 0,4 hingga 0,41,” katanya.
Bhima meminta pemerintah waspada dan tidak terlena dengan penurunan ketimpangan tersebut. Apalagi, kata dia, data BPS belum sepenuhnya mencerminkan ketimpangan karena hanya mengukur komponen pengeluaran, sementara ketimpangan dari sisi pendapatan tidak dihitung.
Padahal, berdasarkan penyerapan kerja pada 2016, terjadi penurunan menjadi 1,39 juta orang dari sebelumnya tahun 2015 sebanyak 1,44 juta orang. “Artinya, pengeluaran seorang penduduk bisa saja meningkat karena didanai dari utang, padahal orang tersebut sedang dalam posisi tidak bekerja alias tidak berpendapatan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Bhima mencontohkan hasil riset dari Credit Suisse tahun lalu yang melaporkan Indonesia merupakan negara nomor 4 paling timpang di dunia. Dalam riset tersebut, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen pendapatan penduduk. Sedangkan Amerika Serikat 42,1 persen.
“Berdasarkan riset Nikkei, Indonesia juga merupakan negara dengan masa jam kerja terpanjang di Asia. Dalam satu minggu 26 persen penduduk bekerja lebih dari 49 jam,” ujarnya.