Pengamat: Pemerintah Tak Perlu Ubah Skema Pajak untuk Freeport

8 Mei 2017 14:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pengolahan mineral PT Freeport. (Foto: Antara)
Persoalan skema pajak yang diberlakukan terhadap PT Freeport Indonesia masih belum menemui titik temu. Negosiasi terkait skema tarif pajak Freeport yang sebelumnya bersifat tetap (nailed down), diubah menjadi sesuai aturan perundang-undangan (prevailing) seperti yang tertuang dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Center of Indonesian Tax Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, menilai wajar jika Freeport menolak mengubah skema tarif pajak. Sebab, kata dia, perusahaan yang berbasis di Arizona, Amerika Serikat, tersebut memiliki rencana investasi tambang bawah tanah sehingga memerplukan kepastian pajak.
Selain itu, Prastowo mengatakan penolakan Freeport juga disebabkan biaya pemurnian yang mahal. Biaya pemurnian tembaga di Indonesia mencapai 60 sen per ton tembaga. Sedangkan ongkos pemurnian tembaha di China hanya 20 persen per tiom tembaga.
"Perbedaan biaya ini jadi salah satu alasan kenapa Freeport tolak prevailing di Indonesia," kata Prastowo dalam diskusi Indonesia Mining Association di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (8/5).
ADVERTISEMENT
Menurut Prastowo, faktor kepastian pada usaha tambang yang membutuhkan biaya besar juga menjadi pertimbangan Freeport. Dengan menggunakan skema prevailing, Freeport sbenarnya hanya membayar pajak 25 persen atau lebih rendah dibandingkan skema pajak nailed down yakni sebesar 35 persen per tahun.
"Tapi kalau saya dikasih prevailing, saya butuh kepastian. Jadi bukan sekadar saya dipungut pajak PPh badan lebih kecil, saya lebih butuh kepastian," ungkapnya.
Prastowo mengatakan Pemerintah sebenarnya tidak perlu mengubah skema pajak dari nail down ke prevailng. Ia mencontohkan, meskipun masih mengunakan skema naildown, pemerintah bisa menaikkan royalti pada 2014, misalnya tembaga dari 3,5 persen menjadi 4 persen, lalu emas 1 persen menjadi 3,75 persen.
"Artinya pemerintah bisa mengubah klausul di aturan pajak nail down, dengan persetujuan kedua pihak. Nah ini menurut saya bisa mengatasi kebuntuan yang tidak perlu seperti sekarang," tuturnya.
ADVERTISEMENT