Peneliti ITB Sebut Tambang Bawah Tanah Freeport Ramah Lingkungan

8 Mei 2017 11:32 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Lokasi tambang Freeport (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Lokasi tambang Freeport (Foto: Reuters)
Rencana PT Freeport Indonesia (PTFI) membangun tambang bawah tanah menjadi kajian utama dalam stabilitas investasi yang diinginkan perusahaan. CEO Freeport McMoran Inc, Richard Adkerson dalam kunjungannya ke Kementerian ESDM pekan lalu, menyebutkan investasi yang akan dikucurkan untuk underground mining mencapai 15 miliar dolar AS (Rp 195 triliun).
ADVERTISEMENT
Investasi yang tidak sedikit tersebut dibenarkan Dosen dan peneliti dari Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB), Ridho Kresna Wattimena. Menurut dia, metode pembangunan tambang bawah tanah yang dilakukan Freeport, block caving, adalah satu-satunya di Indonesia. Dia mengklaim metode ini lebih ramah lingkungan karena memanfaatkan gravitasi​.
"Biayanya sekitar 2-10 miliar dolar AS, development bisa 15-20 tahun. Desainnya juga tidak fleksibel dan harus mengucurkan 70 persen capex (belanja modal) untuk mendapatkan keuntungan. Jadi metode ini memang khusus perusahaan berkocek tebal seperti Freeport," kata Ridho dalam diskusi yang digelar Indonesia Mining Association (IMA), di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (8/5).
ADVERTISEMENT
Metode block caving mahal karena melibatkan peledakan. Proses ini dimulai dengan penggunaan bahan peledak di bagian bawah badan bijih untuk memecah batu. Kemudian batuan disalurkan ke bawah dan dipindahkan. Ruang kosong dalam proses removed memungkinkan gravitasi untuk terus memaksa badan bijih ke bawah. Loader otomatis memindahkan bijih ke kereta, dimana itu diangkut, dihancurkan, kemudian dibawa ke permukaan untuk proses tambahan.
Ridho Kresna Wattimena, pakar tambang ITB (Foto: Edy Sofyan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ridho Kresna Wattimena, pakar tambang ITB (Foto: Edy Sofyan/kumparan)
Panel caving lebih efisien daripada metode penambangan bawah tanah yang lain untuk jenis deposit dan penggunaan gravitasi utama untuk memecahkan batu. Ini memungkinkan perusahaan untuk menambang bijih, sekaligus menciptakan lebih sedikit limbah. "Jadi memang butuh stabilitas investasi, karena memang tambang bawah tanah ini lama pengembangannya dan risikonya tinggi jika berhenti di tengah jalan," ujar Ridho.
ADVERTISEMENT
Ridho menambahkan, masyarakat banyak yang menganggap dengan tambang bawah tanah, akses Freeport ke gunung emas Papua jadi terbuka lebar, sehingga wajar jika pemerintah mengetatkan aturan bagi hasil.
"Kenyataannya, jika Anda melihat batu-batuan kuning di tambang Freeport, itu tidak semuanya emas. Sebagai contoh, jika ada batu yang sebesar saya, saya tingginya 180 meter, beratnya bisa sekitar 5,5 ton. Tapi jangan salah, dari 5,5 ton itu emasnya hanya 5 gram. Ini karena kadar emas di sana hanya 0,8 gram per ton," kata Ridho.
Sehingga, menurut dia, publik jangan hanya melihat dari besarnya cadangan emas Papua, tapi juga investasi dan risikonya. "Batu-batu besar yang semuanya emas itu hanya ada di Komik Donal Bebek, karena untuk mendapatkan emas yang sebenarnya, butuh proses penyaringan," tuturnya.
ADVERTISEMENT
PT Freeport Indonesia sudah beroperasi di Indonesia sejak 1967. Kontrak Freeport kemudian diperpanjang dan mulai mengeruk tambang emas dan tembaga di areal pertambangan Grasberg, Tembagapura, Timika, Papua, sejak 1991.
Saat itu, jumlah cadangan emas dan tembaga Grasberg ditaksir mencapai 3,8 miliar ton. Sejak 1991, perusahaan mengklaim hanya menambang 1,7 miliar ton emas dan tembaga. Sehingga yang tersisa sampai 2041 adalah 2,1 miliar ton.