Sikap Bos Freeport Berubah, Tak Mau Tuntut Indonesia ke Arbitrase

4 Mei 2017 18:40 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ignasius Jonan dan Richard Adkerson. (Foto: Wahyu Putro/Antara - Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ignasius Jonan dan Richard Adkerson. (Foto: Wahyu Putro/Antara - Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Sikap CEO Freeport McMoRan Inc. Richard C. Adkerson kini sudah berubah. Tak seperti saat menggelar konferensi pers pada 20 Februari lalu, tak lama setelah pemerintah Indonesia melarang ekspor konsentrat, Richard kini tak menebar ancaman menggugat pemerintah ke Badan Arbitrase Internasional.
ADVERTISEMENT
"Kami sebenarnya tidak pernah menginginkan ini dibawa ke arbitrase. Kami mencari win-win solution, solusi yang adil kepada kedua belah pihak secara objektif," kata Richard dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (4/5).
PT Freeport Indonesia kini memang sudah bisa melakukan aktivitas ekspor lagi setelah diberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) oleh Kementerian ESDM. Tak seperti perusahaan tambang lainnya, Freeport bisa kembali ke rezim Kontrak Karya jika hingga Oktober mendatang merasa tak cocok dengan IUPK.
Tak hanya itu, kebijakan khusus juga diberikan pemerintah kepada Freeport, yakni tarif bea keluar sebesar 5 persen. Padahal, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), tarif bea keluar 5 persen diberikan kepada perusahaan yang sudah membangun smelter lebih dari 30 persen.
ADVERTISEMENT
Sementara pembangunan smelter Freeport hingga saat ini belum mencapai syarat tersebut. Belum ada angka pasti soal progres pembangunan smelter Freeport . Dalam PMK, jika pembangunan kurang dari 30 persen, maka tarif bea keluar harus 7,5 persen.
Hari ini, Richard ditemani Executive Vice President Tony Wenas dan Juru Bicara Perusahaan Riza Pratama, bertemu dengan Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar beserta pejabat pemerintah lainnya.
Pertemuan yang berlangsung selama hampir 2 jam sejak pukul 15.30 WIB, tersebut merupakan pertemuan perundingan formal pertama antara tim perundingan dari Freeport dan pemerintah.
Ada empat hal yang harus dibahas dalam perundingan, yang pertama tentang stabilitas investasi yang terkait ketentuan fiskal baik pusat maupun daerah, kedua divestasi 51 persen saham, kelangsungan operasi setelah 2021, dan pembangunan​ smelter.
ADVERTISEMENT
Richard mengatakan dalam perundingan pihaknya menekankan soal stabilitas investasi karena ingin terus melanjutkan operasi di tambang Graseber, Tembagapura, Timika, Papua.
"Kami ingin mendapatkan kepastian untuk bisa menggelontorkan dana yang cukup besar untuk mengembangkan underground resources (sumber daya bawah tanah)," ujarnya.