Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sepi di Tengah Ramai: Pelajaran Hidup dari Yogyakarta
27 Desember 2024 15:00 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Anggelina Salma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Yogyakarta, kota yang dikenal dengan keramahan penduduknya, suasana budaya yang kental, dan hiruk-pikuk jalanannya. Bagi banyak orang, kota ini menjadi destinasi impian, penuh warna dan petualangan. Namun, bagi saya, Yogyakarta justru menjadi tempat yang mengajarkan tentang keheningan dan introspeksi, pelajaran yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan.
ADVERTISEMENT
Setahun yang lalu, saya tiba di kota ini dengan semangat membara. Program MSIB yang saya ikuti memberikan harapan besar untuk berkembang, mengenal dunia baru, dan belajar menjadi lebih mandiri. Saya membayangkan hari-hari yang penuh kesibukan, bertemu banyak teman baru, dan menemukan pengalaman yang mengubah hidup. Namun, kenyataan berkata lain.
Hidup di Yogyakarta membawa tantangan yang tidak terduga. Kota ini memberikan kebebasan yang luas, tetapi juga menuntut saya untuk bertanggung jawab atas diri sendiri. Di tengah keramaian, saya sering merasa seperti seorang pengamat—menyaksikan orang-orang berlalu-lalang tanpa benar-benar menjadi bagian dari cerita mereka.
Kesepian menjadi teman setia saya. Pada awalnya, rasa itu terasa berat, seperti beban yang sulit diabaikan. Saya sering bertanya pada diri sendiri, mengapa di kota yang begitu ramai, saya justru merasa hampa? Tidak ada teman untuk berbagi cerita, tidak ada orang yang menemani saat saya berjalan-jalan menyusuri jalanan kota di malam hari.
ADVERTISEMENT
Namun, Yogyakarta juga mengajarkan saya untuk menerima kesepian itu sebagai bagian dari proses. Perlahan, saya mulai memahami bahwa kesepian bukanlah musuh, melainkan ruang untuk berdialog dengan diri sendiri. Saya mulai bertanya: Apa yang benar-benar saya cari? Apa yang membuat saya merasa utuh?
Dalam keheningan, saya menyadari bahwa kehidupan tidak selalu tentang mengejar pencapaian atau kesibukan. Ada nilai yang dalam dalam menikmati momen-momen kecil, seperti secangkir kopi di pagi hari, udara sejuk di sore hari, atau membaca buku di sudut kamar. Kehidupan di Yogyakarta membuat saya lebih peka terhadap hal-hal sederhana yang sering saya abaikan sebelumnya.
Meski saya mampu mengurus diri sendiri dengan baik—mengatur waktu, bekerja, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari—ada rasa kehilangan yang terus menggelayuti. Kehilangan teman-teman dekat yang selalu ada untuk berbagi tawa dan cerita. Kehilangan kenyamanan berada di tengah orang-orang yang memahami saya tanpa banyak kata.
ADVERTISEMENT
Setiap akhir pekan, saya memutuskan untuk pulang ke Purwokerto. Perjalanan kereta selama beberapa jam menjadi rutinitas yang saya nantikan. Bukan karena saya tidak menyukai Yogyakarta, tetapi karena Purwokerto memberikan kenyamanan yang tidak saya temukan di kota besar ini. Rumah menjadi tempat yang mengingatkan saya pada kebersamaan yang hangat, sesuatu yang tidak bisa tergantikan.
Namun, perjalanan pulang itu bukan hanya tentang kembali ke tempat yang akrab. Di setiap perjalanan, saya merenungkan banyak hal. Saya menyadari bahwa meski Purwokerto memberikan rasa nyaman, Yogyakarta telah menjadi tempat yang membantu saya tumbuh. Kota ini memaksa saya untuk berdamai dengan kesendirian, sesuatu yang sebelumnya saya hindari.
Yogyakarta mengajarkan saya pentingnya melambat dan menikmati proses. Dalam keheningan, saya menemukan makna dalam hal-hal yang sebelumnya terasa sepele. Saya mulai memahami bahwa hidup adalah tentang keseimbangan—antara ambisi dan istirahat, antara kebersamaan dan kesendirian, antara meraih mimpi dan menikmati saat ini.
Setiap sudut Yogyakarta menyimpan cerita, tetapi cerita itu terasa berbeda ketika saya menjalaninya sendiri. Kota ini tidak hanya menjadi tempat merantau, tetapi juga tempat saya belajar banyak hal tentang diri sendiri. Pelajaran yang mungkin tidak akan saya dapatkan jika saya tetap berada di zona nyaman.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, Yogyakarta tidak hanya mengajarkan saya tentang kesendirian, tetapi juga tentang keindahan yang ditemukan dalam introspeksi. Kota ini menunjukkan bahwa meski kita bisa hidup mandiri, kita tetap membutuhkan orang-orang terdekat untuk membuat hidup lebih bermakna.
Mungkin suatu hari nanti, saya akan kembali ke Yogyakarta dengan perspektif yang berbeda. Bukan lagi sebagai seorang perantau yang merasa asing, tetapi sebagai seseorang yang telah menemukan makna di setiap langkah perjalanan. Yogyakarta adalah guru yang tidak saya harapkan, tetapi yang saya butuhkan.