Anggur Sihir

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
6 April 2018 19:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
I pray you, do not fall in love with me, for I am falser than vows made in wine. ― William Shakespeare, As You Like It
Kastil itu berdiri di sudut belantara kota. Sudut yang jarang terjamah manusia-manusia metropolis. Bangunan mahaluas beratap lancip itu bak muncul begitu saja dari perut bumi, sama sekali tak sesuai zaman. Pula tak cocok dengan peradaban di teritori itu.
ADVERTISEMENT
Ia terpancang kokoh di tanah. Dikepung runcing rimbun belukar, dililit rapat sulur terjalin, dikelilingi deras arus sungai, ditikam deru dingin angin. Di puri itu, kelindan dahan dan akar pohon menggantikan gerbang baja; aliran kali dari curug di puncak gunung menggantikan parit penyekat kastil dengan area sekitar.
Memasukinya bagai menginjakkan kaki ke dunia lain. Anjani pertama kali melakukannya satu dasawarsa silam, saat ia belum lama bergabung dengan satu korporasi milik pengusaha ternama tanah air. Kala itu, ia tak sendirian menerobos hutan menuju kastil itu, melainkan bersama sejumlah rekan sekantor.
Tak perlu susah-susah mendaki bukit. Minibus menjemput mereka ke kota, lalu bertukar mobil off-road garang di tepi hutan yang dipenuhi barisan semut rangrang. Semua tinggal duduk manis di jok mobil yang berguncang-guncang, sampai tiba di perbatasan kastil. Macam putri-pangeran dijemput kereta kencana menuju pesta agung di istana.
ADVERTISEMENT
Kastil itu bukan punya sang pengusaha, tapi milik salah satu manajer perusahaan itu, atasan Anjani yang misterius. Ia mengundang kolega dan anak buahnya menginap barang semalam di tempat peristirahatan janggalnya itu. Merayakan keberhasilan perusahaan meraup untung besar.
“Ini hasil kerja keras kalian,” ujarnya seraya mengangkat gelas anggur tinggi-tinggi, memimpin seisi ruangan bersulang.
Denting gelas merambat di udara. Riuh rendah desis percakapan, pecah menjadi gelak tawa. Musik berdentam di tengah pegunungan, diredam lebat pepohonan. Pesta dimulai.
Anjani menjauh sedikit dari pusat keriuhan. Perlahan, ia terus bergeser ke tepi ruangan, lalu menyingkir ke luar. Ia tak suka bising dan merasa terasing.
Bukannya tak kenal dengan orang-orang di dalam ruangan itu, hanya saja dia gampang risi bila harus terus-menerus memasang senyum atas nama bersosialisasi. Apalagi obrolan yang dilontarkan nyaring itu mesti ‘bertempur’ dengan entakan lagu, membuat telinganya seperti tuli.
ADVERTISEMENT
Ia berjalan pelan menuju sisi barat kastil, menerka senja di langit barat akan terlihat memukau. Beberapa saat kemudian, langkah Anjani berhenti di depan sebuah taman elok yang seolah menggantung di udara. Ia menarik napas, takjub melihat desain taman itu, lalu masuk ke sana.
Dari taman itu, lanskap pegunungan membentang megah, berhias semburat jingga di langit, tanda matahari segera terbenam. Dia berdiri di sudut taman yang berada di bibir tebing, membiarkan rambut dan gaunnya melambai-lambai tertiup angin.
Dentum musik tak lagi terdengar dari tempat itu. Anjani tenggelam dalam hening. Hanya desau angin dan keretak ranting yang berani mengusik sunyi, sampai suara dalam bariton mengagetkannya.
Nir, manajernya, tiba-tiba berada di belakang dia. Anjani bahkan tak mendengar langkah pria itu (tak mengherankan sebetulnya, sebab taman itu beralas rumput, bukan marmer yang memantulkan bebunyian).
ADVERTISEMENT
“Senang menyendiri, rupanya?” sapa Nir. Anjani tersenyum tipis, agak salah tingkah. “Tak terlalu suka berisik,” ujarnya.
Gelas berisi anggur kemudian terangsur ke arahnya. “Tak doyan bising tak apa, tapi perayaan harus tetap jalan. Nih, minum,” kata Nir setengah memerintah.
Anjani tak sadar Nir membawa dua gelas anggur di tangan. Ia menerima gelas bertangkai itu, menggengamnya dengan jemari, dan menatap lekat cairan merah darah di dalam kaca beningnya, macam menyelidik apakah ada racun terkandung di sana.
“Jangan menolak meminumnya. Ini Chateau Lafite Rothschild Vintage 1990, red wine berkualitas tinggi asli Bordeaux, ibu kota anggur dunia di Prancis. Hanya kukeluarkan untuk acara istimewa,” kata Nir, disambut kernyit di dahi Anjani―yang bahkan tak paham apa beda antara satu anggur dengan yang lain. Ia cuma tahu dua jenis anggur: anggur merah dan anggur putih.
ADVERTISEMENT
“Jadi berapa harga anggur merah yang satu ini?” tanya Anjani penasaran, ingin menakar seberapa spesial minuman itu.
“Sekitar 799 dolar sebotol,” jawab Nir. Anjani menghitung cepat, mengonversi angka-angka itu ke rupiah, lalu memekik, “Lebih dari 10 juta rupiah! Hanya untuk anggur!”
Kaya raya betul bosku ini, pikir Anjani.
Nir, seakan menebak isi kepala anak buahnya itu, buru-buru berucap, “Tunggu dulu, jangan kira aku beli segudang. Aku dapat ini dari seorang kawan di Paris.”
Anjani tersenyum-senyum saja. Nir berujar, “Sudah, ayo minum.”
Mereka pun mengangkat gelas ke udara. “Untuk kita!” seru Nir, diikuti percik heran di hati Anjani, “Kita?”
Tapi bunyi denting gelas beradu yang bercampur rasa pekat anggur, menyihir-menyapu bersih rasa ganjil yang mengganjal.
ADVERTISEMENT
Itu ‘ritual’ minum-bersama Nir dan Anjani yang pertama, lima tahun sebelum anggur-bersama kedua mereka―yang lebih memabukkan―menyusul direguk.
***
Tujuh tahun kemudian, kastil itu masih sama, tertanam kokoh di tanah, dan anggur merah terus mengalir di dalamnya dengan jenis berganti-ganti.
Dominasi red wine baru patah saat Anjani pulang dari Saint Petersburg dan mengumumkan tergila-gila pada vodka.
Pada perjumpaan berikutnya, Nir menyodorkan vodka vanila—yang langsung ditenggak Anjani separuh gelas bak meminum susu.
“Hei hei, ini bukan teh. Pelan-pelan saja minumnya,” ujar Nir.
Mendengar nada cemas itu, Anjani tertawa sambil menjilat sisa vodka di bibirnya, “Ini enak sekali.”
Mereka berdiri di tempat yang sama—taman yang seolah menggantung di udara. Langit tak lagi semburat jingga, tapi hitam jernih berhias cemerlang purnama dan gemerlap gemintang.
ADVERTISEMENT
Anjani bersandar santai ke bahu Nir, tak lagi canggung seperti kali pertama berada di taman itu. Sekarang, Nir bukan lagi atasannya.
“Aku menunggu ceritamu,” ujar Anjani, seperti biasa meminta Nir ‘mendongeng’.
“Bagaimana kalau kamu saja yang bercerita,” sahut Nir, disambut gelengan kepala Anjani. “You first. Kamu yang paling sering bepergian, pasti punya banyak cerita asyik.”
Nir tampak berpikir sebentar, sebelum memulai apapun kisahnya. Dan Anjani menyimak cermat sampai cerita usai, disusul rupa-rupa tanya dan komentar, lalu ganti menceritakan kisahnya.
Malam bergulir cepat sementara kisah belum usai dan kelopak mata tak lagi kuat disangga segala jenis minuman.
***
Pagi merah merekah. Anjani beringsut ke arah cahaya sembari menjinjing laptop. Matanya berat, kelopak dan kornea melekat kuat, tapi pekerjaan tak bisa menunggu lebih lama.
Usai menyeduh kopi sebagai injeksi energi, Anjani mulai mengetik. Bermandikan hangat pendar mentari pagi, jari-jarinya beradu halus dengan keyboard.
ADVERTISEMENT
Matahari mulai merangkak naik kala Nir menghampiri dan mencium ringan pipinya. “Asyik sekali, bekerja dengan pemandangan latar pegunungan begini.”
“Kapan lagi, kan?” sahut Anjani sambil menyesap kopi panas di hadapannya. “Sudah mau berangkat?” tanyanya melihat Nir bersetelan rapi, lengkap dengan harum afthershave menguar ke udara.
“Iya, aku ada meeting. Duluan, ya. Anggap rumah sendiri,” ujar Nir, lalu menambahkan, “Vodka habis, tapi kamu tahu ‘gudang’ anggur di sini. Ambillah sesukamu, bawa kalau mau. It’s always free for you.”
Anjani tersenyum, “Sure.”
“Berangkat jam berapa nanti?” kata Nir lagi. “Tengah hari, kalau macet ke kota sudah terurai,” jawab Anjani
“Oke, bye.” Nir mengecup kening Anjani dan angkat kaki meninggalkan kastil.
Anjani mengangguk, melepas lelaki itu dengan tatapan matanya, lalu melangkah ke lorong suram menuju ruang bawah tanah, mencari larutan sihir untuk membantunya kembali melintasi musim tanpa Nir.
ADVERTISEMENT
***
Pagimu, Untukku
malam jatuh bersama daun-daun musim basah kaki melangkah di bawah bulan bulat penuh
segelas anggur menanti di balik pintu ruang rahasia yang rapat terkunci dan terbuka hanya untukmu, untukku
selalu malam ketika anggur dituang kisah dibuang tangan erat digenggam
selalu malam ketika waktu melambat temaram cahaya merambat api jiwamu kutangkap
dan bila pagi tiba bendungan waktu runtuh ragamu berganti bayang keruh lalu lenyap menyisakan aroma
pagi kamu pergi bersama mentari
mungkin nanti di lintasan masa lain pagimu, untukku
Jakarta, Juni 2017
Prosa dan puisi ditulis putus-sambung pada waktu berbeda. Ilustrasi gambar diambil dari Pexels dan Unsplash.