Dongeng Gelap Untukmu

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
25 Desember 2019 21:15 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
(Pixabay)
ADVERTISEMENT
Manusia menghilang ketika mereka mati. Suara, tawa, kehangatan napas mereka. Daging mereka. Akhirnya juga tulang-tulang mereka. Semua kenangan hidup terhapus. Ini tidak menyenangkan tapi alami. Namun, ada pengecualian pada beberapa orang. Karena dalam buku-buku yang mereka tulis, mereka tetap hidup.
ADVERTISEMENT
Kita dapat menemukan mereka kembali. Gurauan, nada suara, suasana hati mereka. Melalui tulisan, mereka dapat membuatmu marah atau membuatmu bahagia. Mereka dapat menghiburmu. Mereka dapat membuatmu bingung. Mereka dapat mengubahmu.
Semua dapat terjadi, walau mereka telah meninggal. Seperti lalat-lalat di batu ambar, seperti mayat beku dalam es, yang menurut hukum alam seharusnya sudah hilang, namun dengan mukjizat tinta di atas kertas, mereka tetap terjaga. Ini semacam keajaiban.
Seperti orang yang merawat kuburan, begitulah aku merawat buku. Aku membersihkannya, memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil, menjaganya tetap dalam kondisi baik. Setiap hari aku membuka satu atau dua judul, membaca beberapa baris atau halaman, membiarkan suara-suara mereka yang telah mati dan terlupakan menggema kembali dalam kepalaku… [The Thirteenth Tale, Diane Setterfield]
ADVERTISEMENT
Aku mulai membaca lembar-lembar buku itu secara tak sengaja pada suatu malam, dengan pikiran berkecamuk. Setelah menyusuri paragraf-paragraf itu, angin ribut di kepalaku seketika mereda, dan aku langsung tahu: ini buku yang dibuat untukku dan pasti tuntas kubaca dalam beberapa hari.
Kadang, perasaan itu—“Ini buku untukku”—datang begitu saja. Dan itu hampir tak pernah salah. Mungkin masing-masing orang punya buku yang seolah dibuat untuknya. Dengan kata lain: sangat sesuai dengan seleranya, atau sangat menggugah hatinya.
Sebetulnya, buku itu, The Thirteenth Tale, sudah lama berdiam di rakku. Bertahun-tahun dia ada di sana, bersemayam tenang. Itu bukan bukuku, tapi buku adikku, yang kutaruh di rakku karena raknya sendiri sudah terlalu penuh.
Ia tak keberatan buku itu menghilang dari pandangan. Kelihatannya bukan salah satu literatur favoritnya. Yang jelas, buku itu kini jadi salah satu kesukaanku, dan hampir pasti aku akan mencari buku-buku karya pengarang yang sama—Diane Setterfield—untuk dibaca lagi.
ADVERTISEMENT
Aku tahu persis kenapa merasa cocok dengan buku itu. The Thirteenth Tale disebut novel bergenre gothic suspense. Bisa diterka, nuansa muram kental membayangi buku itu. Gotik—serba-hitam, serba-kelam. Ini dongeng gelap yang mungkin kurang cocok buat anak kecil. Dan justru di situlah aku tertipu mentah-mentah.
Sampul The Thirteenth Tale versi terjemahan Bahasa Indonesia. (Anggi Kusumadewi)
Semula, kupikir The Thirteenth Tale buku anak-anak. Itu sebabnya aku menempatkannya pada deret buku anak-anak bersama karya-karya Roald Dahl, Enid Blyton, Eva Ibbotson, Kate DiCamillo, Astrid Lindgren, dan Morris Gleitzman. Supaya anak perempuanku dapat dengan mudah melihat dan menariknya dari rak bila minat bacanya sedang datang.
Lagi pula, kover The Thirteenth Tale versi Bahasa Indonesia, meski berlatar hitam, penuh ilustrasi yang biasa ditemukan pada dongeng anak. Kombinasi antara goresan gambar, liukan huruf, dan pilihan judul—yang mengandung kata “Tale”—pada sampul begitu sempurna sebagai sketsa buku anak. Sampai kau mulai membaca isinya.
ADVERTISEMENT
… Bantuan apa, penghiburan macam apa yang terkandung dalam kebenaran, jika dibandingkan dengan dongeng? Apa gunanya kebenaran, pada tengah malam, dalam kegelapan, ketika angin meraung seperti beruang dalam cerobong asap? Ketika kilat menerakan bayang-bayang di dinding kamar tidur dan hujan mengetuk-ngetuk jendela dengan kuku-kukunya yang panjang?
Tidak. Ketika perasaan takut dan dingin membekukanmu menjadi patung di tempat tidur, jangan berharap kebenaran dengan tulangnya yang keras terbungkus kulit akan datang menolongmu. Karena yang kaubutuhkan adalah kenyamanan sebuah dongeng. Dusta yang memberikan perasaan aman yang membuai dan menenangkan.
Pada halaman 17 itu, aku benar-benar mengernyitkan dahi, karena dua alasan.
Pertama, alih bahasa buku ini sangat bagus (Ya, aku tahu buku-buku terjemahan terbitan Gramedia memang bagus. Namun yang satu ini bukan cuma bagus, tapi juga kuat). Kedua, pilihan kata-katanya tampak terlalu dalam untuk dongeng anak (Meragukan kegunaan “kebenaran” dengan setajam itu!)
ADVERTISEMENT
Aku lalu membalik buku itu, dan benar saja… pada sampul belakang di sudut kanan bawah tercantum keterangan “Novel Dewasa”. Ah, itu sebabnya ada pepatah “Don’t judge a book by it’s cover”—literally.
Tulisan suram, entah kenapa, memang kusukai. Muram-kelam dari awal sampai akhir. Itu juga kenapa buku yang pernah kutulis, Arca Jingga, penuh spektrum kelabu. Hmm, bukannya aku menyama-nyamakan, jangan salah tangkap. Dalam perkara fiksi, aku amatir. Aku cuma mau bilang: aku suka nuansa kelam.
Begitu sadar The Thirteenth Tale bukan buku anak-anak, aku batal menyodorkannya untuk putriku, meski ia tak bakal kularang kalau mau membacanya.
Aliyah, putriku, yang melihat buku itu tergeletak di kasur, spontan bertanya, “Oh, Bunda baca ini, ya? Kukira Bunda ambil itu buat bacaan liburanku.”
ADVERTISEMENT
Aku menyeringai sembari mengangsurkan salah satu seri Goosebumps kepadanya. “Bagaimana kalau kamu baca ini dulu? Belum pernah baca yang ini, kan?”
Aliyah senang-senang saja menerima buku hantu karangan RL Stine itu. Dia memang punya minat pada bacaan horor, dan protes ketika buku Dial-a-Ghost Eva Ibbotson yang kurekomendasikan untuknya ternyata tak mengerikan—“Ini judulnya ‘Ghost’ tapi isinya nggak serem, Bun.”
Aku mengangkat bahu, “Hantu juga seperti manusia. Ada yang baik, ada yang jahat. Casper, misalnya, hantu baik.” Dia menukas, “Tapi aku mau yang serem.
Aku merogoh almari lawas lebih dalam, dan menemukan beberapa buku Goosebumps entah punyaku atau adikku. Ditambah janji untuk beli buku baru, Aliyah cukup puas. Ia segera membawa buku-buku itu ke kamarnya, siap bertemu hantu-hantu yang ia rindukan. Sementara aku kembali berkubang dengan dongeng gelapku.
(Francesco Ungaro/Pexels)
… Kita hidup seperti penonton yang datang terlambat di bioskop: kita harus mengejar ketertinggalan sebaik-baiknya, menebak permulaan dari bentuk peristiwa-peristiwa lanjutannya. Berapa kali aku telah kembali ke perbatasan memori dan mengintip ke kegelapan di baliknya?
ADVERTISEMENT
Tapi bukan hanya ingatan yang mengapung di perbatasan itu. Ada segala jenis rangkaian imajinasi dan mimpi yang menghuni ranah itu. Mimpi-mimpi buruk anak yang kesepian. Dongeng-dongeng yang dicuri oleh pikiran yang haus cerita. Fantasi-fantasi gadis kecil yang resah ingin menerangkan pada dirinya hal-hal yang tak dapat dijelaskan …
Untaian kata-kata itu betul-betul bikin aku jatuh cinta pada penulisnya, Diane Setterfield. Seperti waktu aku jatuh hati pada Milan Kundera, Haruki Murakami, Etgar Keret, Nukila Amal, Linda Christanty, dan lain-lain. Ah, betapa dunia yang berlimpah rupa-rupa kisah karya sepasukan pengarang dari berbagai negeri dan pelbagai zaman ini patut disyukuri.
Aku jadi ingat momen “aha”—“Ini buku untukku”—ketika membaca Cala Ibi karangan Nukila Amal. Dari paragraf pertama saja, novel itu sudah menjeratku.
ADVERTISEMENT
Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku mawar merah di taman, dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan. Melahirkanku. Bayi merah muda kemboja. Bunga kuburan.
Buku Cala Ibi. (Anggi Kusumadewi)
Aku semakin yakin buku itu “dibuat untukku” kala menapaki lebih jauh halaman-halamannya.
Ia menasihatiku agar lebih menaruh perhatian pada dunia tak nyata di malam hari, tentang bijaknya intuisi, perlunya mengingat mimpi, perlunya bermimpi. Katanya lagi, semakin kau peduli pada mimpi malam hari, ia juga akan lebih peduli padamu, lebih rajin datang mengunjungimu, lebih tak terlupa, lebih tajam jernih.
Kau akan semakin mengerti apa-apa yang ada di bawah tampakan, yang di luar tampakan, makna siratan-siratan. Kelak, kau akan mengingat tempat-tempat di kejauhan yang belum pernah kau datangi, tapi pernah ada dalam mimpi, telah kau datangi.
ADVERTISEMENT
Ia bicara tentang mimpi, bunga tidur yang menyiksaku tanpa ampun semasa remaja. Saat itu, siang atau malam sama saja bagiku. Aku nyaris tak pernah beristirahat kala petang datang. Alih-alih tidur nyenyak, aku diserbu seribu mimpi.
Mimpi-mimpi itu kadang datang bergantian, kadang serempak sambung-menyambung. Satu yang pasti: mereka tak pernah berhenti barang sejenak. Setiap malam, selalu ada mimpi. Pagi di sekolah, malam di hutan. Siang di sekolah, malam di gurun. Pagi di sekolah, malam di jurang. Siang di sekolah, malam di menara. Pagi di sekolah, malam di negeri antah-berantah.
Mimpi-mimpi mengacak hari-hariku, menderaku setahun penuh. Nilai-nilai pelajaranku merosot drastis karena aku kelelahan hidup di dua dunia macam itu—siang dan malam. Lupakan masa remaja yang manis menyenangkan. Aku tumbuh dewasa dikelilingi deru mimpi buruk. Dan aku menyimpannya rapat-rapat waktu itu.
ADVERTISEMENT
Setelah setahun, aku mencoba berdamai dengan hantu-hantu malamku, dan melerai pertentangan siang-malam. Sejak itu keadaanku berangsur-angsur pulih. Nilai-nilaiku pun membaik seiring konsentrasiku yang meningkat pada dunia siang.
Sesekali, mimpiku masih menakutkan. Suatu malam, aku melihat tubuhku terbaring di ranjang, sementara aku melayang di langit-langit kamar. Mungkin itu salah satu mimpi—atau bukan—yang paling mengerikan buatku. Kurasa, kalau aku tak bisa menggapai tubuhku, aku akan selamanya meninggalkan dunia terang. Tapi rupanya aku masih menemukan jalan kembali, entah bagaimana.
Pengalamanku dengan seribu mimpi di masa lalu itu mungkin membentukku seperti sekarang—menggemari kisah serba-kelam, walau aku sangat tidak suka dikitari hantu-hantu gentayangan. Aku senang nuansa kelam, tapi tak suka horor.
(Thomas Budach/Pixabay)
“Bun, kenapa nggak nulis cerita hantu? Bunda kan pernah bikin buku. Nah, bikin aja lagi. Soal hantu,” kata putriku usai menamatkan satu seri Goosebumps. Aku kemudian menatapnya sambil mengerutkan kening, karena dua alasan.
ADVERTISEMENT
Pertama, aku menulis satu buku itu—Arca Jingga—hanya untuk senang-senang, yang sayangnya kurang kuseriusi. Semacam penasaran bagaimana cara bikin buku, lalu kubukukan setumpuk cerita dan puisiku yang berserak, dengan tambahan seutas benang penguat kisah. Sesederhana itu.
Kedua, semua kisahku sesungguhnya cerita hantu. Dongeng gelap dari hantu-hantu malam. Suatu hari nanti, putriku akan tahu.
Wangi melati menguar dari salah satu makam. Di sana, perempuan berambut merah menjinjing sekeranjang penuh kembang segar. Ia membersihkan pusara sebelum menabur kembang. Jemari lentiknya, yang berlingkar cincin permata jingga, dengan cekatan menjumputi daun-daun kering, menggosok tanah dan debu yang melekat di nisan.
Nisan itu telah bersih kini. Aku tertegun. Ada namaku di sana. [Arca Jingga]