Tak Ada Bahagia Selamanya

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
4 Januari 2020 14:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Josh Miller/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
(Josh Miller/Unsplash)
ADVERTISEMENT
“Dongeng! … Habis ini kau bakal ngoceh tentang ‘hidup bahagia selama-lamanya’. … Tak ada hidup bahagia selamanya…” [The Book of Lost Things, John Connolly]
ADVERTISEMENT
Adakah orang yang “hidup bahagia selama-lamanya”? Aku belum pernah bertemu yang semacam itu. Kalau ada, jangan-jangan dia bukan manusia.
Realitas dan fantasi berkelindan. Cerita dan sinema sama saja. Tak semua berakhir bahagia. Happy ending bahkan mungkin dianggap sebagian orang terlalu klise, sehingga muncullah tragic ending lewat versi-versi lebih kelam yang mendebarkan.
Kisah-kisah kelam macam itu misalnya bertebaran di sepanjang alur cerita The Book of Lost Things, novel fantasi karya John Connolly—penulis Irlandia yang eks jurnalis The Irish Times dan mantan bartender.
Sang pengarang bak bereksperimen dengan dongeng-dongeng Eropa. Ia mengubah deretan kisah itu menjadi narasi gelap yang tak cocok buat anak kecil. Tak heran The Book of Lost Things diberi label “novel dewasa” terlepas dari karakter utamanya yang bocah lelaki, dan latar ceritanya yang kental nuansa negeri dongeng.
ADVERTISEMENT
Kisah Little Red Riding Hood, contohnya, di tangan Connolly jadi kunci penciptaan manusia-serigala (bukan werewolf alias manusia yang berubah jadi serigala, melainkan makhluk setengah manusia-setengah serigala).
Pada cerita ini, alih-alih ada serigala yang mengincar anak perempuan, justru si gadislah yang memburu serigala. Connolly menggubah Red Riding Hood menjadi sosok perempuan jelita, cerdas, agresif, sekaligus gila, keji, dan mengerikan.
(Lucas Sankey/Unsplash)
… si gadis bermantel merah suka berjalan-jalan di antara pepohonan seraya menikmati buah-buah beri liar dan buah-buahan lain yang aneh-aneh di dalam hutan. Suatu hari, ketika dia sedang berjalan di hutan gelap itu, datang seekor serigala. Serigala itu takut padanya dan mencoba menyelinap pergi tanpa terlihat, namun indra-indra si gadis sangat tajam. …
ADVERTISEMENT
Ketika serigala itu berbalik untuk pergi, dia mengikutinya, masuk semakin jauh ke dalam hutan, lebih jauh daripada yang pernah ia lakukan selama ini. Serigala itu mencoba melepaskan diri darinya dan pergi ke tempat-tempat yang jalurnya sukar, tak ada jejak untuk diikuti, namun si gadis pintar berhasil terus membuntuti. Dan pengejaran itu pun berlanjut berkilo-kilo jauhnya.
Akhirnya si serigala merasa lelah dan berbalik menghadapi si gadis. Mulutnya menyeringai memamerkan taring-taringnya dan dia menggeram sebagai peringatan, tapi gadis itu tak takut. … Diulurkannya tangannya dan disentuhnya kepala serigala itu. Dibelainya bulu-bulu si serigala dan ditenangkannya binatang itu. …
Dari mereka lahirlah makhluk yang lebih mirip manusia daripada serigala. … dan masih banyak lagi makhluk seperti dia yang menyusul kemudian, sebab banyak perempuan lain datang, terbujuk oleh si gadis bermantel merah. … Namun ada juga gadis-gadis yang ikut secara sukarela, sebab ada perempuan-perempuan yang memang memimpikan tidur dengan serigala.
ADVERTISEMENT
Bukan dongeng kebanyakan, kan? Dan mungkin sedikit banyak mengingatkanmu pada film horor Red Riding Hood yang diperankan Amanda Seyfried meski ia tak manipulatif seperti gadis imajinasi Connolly di atas.
(Xin/Unsplash)
Ada juga versi akhir-tak-bahagia kisah Hansel and Gretel. Alih-alih cerita berakhir dengan dua kakak beradik itu hidup bahagia selamanya, Connolly justru “membunuh” salah satu dari mereka.
Ia juga mengubah karakter Hansel menjadi pendengki, penakut, muram, dan pasif. Ia benci kepada saudarinya yang lincah, bahagia, brilian, dan dominan.
Meski Gretel menyelamatkannya dari perempuan tua di rumah kue yang hendak memanggang mereka, Hansel meninggalkan saudarinya itu—hanya untuk bertemu perempuan mirip ibu mereka yang kemudian merebusnya.
(Jeremy Bishop/Unsplash)
Bila Connolly memberikan sentuhan kelam pada sejumlah dongeng, Disney justru gemar mengubah tragic ending story menjadi a happy ending one. Aku menyinggungnya dalam salah satu bab bukuku, Arca Jingga.
ADVERTISEMENT
Adalah Disney yang menciptakan kebohongan melalui frasa “Ariel and Prince Eric married and lived happily in a castle by the sea” demi mewujudkan kebahagiaan manis di hati bocah-bocah cilik penonton filmnya.
Oh well, tentu saja tak ada yang seperti itu. Cerita itu palsu. … Si penulis, Hans Christian Andersen, bukan jenis pengarang yang selalu mengakhiri cerita dengan “happily ever after”.
Lihat saja apa yang ia lakukan pada Gadis Penjual Korek Api. Ia memilih mencabut nyawa si gadis agar gadis itu mengakhiri penderitaan duniawinya, ketimbang menyadarkan orang-orang di sekeliling si gadis bahwa ia butuh pertolongan.
Penghabisan kisah The Little Mermaid bahkan lebih kelam. Putri yang telah dibuatkan kaki manusia oleh penyihir laut—dan sebagai imbalannya terancam mati bila tak mendapatkan cinta pangeran yang ia selamatkan ketika kapalnya karam saat badai, ternyata bukan gadis pilihan sang pangeran.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian ditawari keselamatan bila berhasil menikam jantung si pangeran. Pilihannya hanya dua: ia atau sang pangeran yang mati. Dan duyung yang telah diberi belati itu memilih mati. Cinta mati membuatmu mati.
Pesan moralnya: 1) jangan mencintai berlebihan; 2) tak ada bahagia selamanya.
Manusiawi saja, kan?
“Hmm, jadi Bunda lagi baca buku ‘hilang’ ini atau Story Girl atau Black Book atau Anak Malam atau yang buku merah?” kata Aliyah, putriku, sambil memegang-megang The Book of Lost Things yang tergeletak di meja kerjaku.
Aku mendongak memandangnya. Wah, rupanya dia sekarang memperhatikan—bahkan hafal!—buku-buku yang keluar dari rak dan bertebaran seantero rumah.
The Story Girl yang mengambil kisah di Kanada awal 1900-an kutaruh di atas bantal; The Black Book, novel misterinya Orhan Pamuk yang dari dulu tak rampung kubaca dan kuniatkan untuk menyambungnya kembali, kutaruh di side table yang biasa kutenteng ke taman kalau tak hujan; Anak Malam alias Midnight’s Children karangan Salman Rushdie—yang juga tak pernah beres kubaca—kutaruh sembarang di meja makan; dan buku (sampul) merah pinjaman rekanku Ratmia, Rumah Kopi Singa Tertawa-nya Yusi Avianto Pareanom, kugeletakkan dekat tas.
ADVERTISEMENT
Bisa diterka, yang terakhirlah yang lebih dulu khatam. Cerita-cerita pendek memang asyik dan ringan dibawa-bawa.
Aku menjawab putriku, “Buku merah dan buku ‘hilang’ sudah selesai. Sekarang baca The Story Girl.
Aliyah kembali ber-“hmm…” sambil berlalu menjinjing buku Tintin-nya.
(Leópold Kristjánsson/Unsplash)
Cerita-cerita menjadi hidup saat dituturkan. Tanpa suara manusia yang membaca keras-keras, atau sepasang mata lebar terbelalak menyusuri huruf demi huruf…, cerita-cerita itu tak benar-benar eksis di dunia kita. Mereka seperti biji-bijian yang menempel di paruh burung, menunggu jatuh ke bumi, atau seperti nada-nada lagu yang dituliskan di selembar kertas, merindukan alat musik untuk menghidupkannya. Mereka tertidur semu, menanti-nanti kesempatan terjaga. Begitu seseorang mulai membaca cerita-cerita itu, mereka mulai berubah. Mereka menancapkan akar dalam imajinasi, dan mengubah pembacanya. Cerita-cerita itu ingin dibaca… ingin kita memberi mereka kehidupan. [The Book of Lost Things, John Connolly]
ADVERTISEMENT
Imajinasi tentu tak muncul dari ruang hampa. Ia ada karena realitas, dan realitas dengan gamblang berseru: tak ada yang namanya bahagia selamanya!
“Apa kami kelihatan bahagia? Tak ada hidup bahagia selamanya… Lebih cocok dikatakan kami hidup menderita selama-lamanya,” kata kurcaci Kamerad Saudara Nomor Satu yang, seperti enam kurcaci budak Snow White lainnya, terobsesi ditindas dalam buku Connolly.
Tawaku nyaris tersembur membaca bagian ini. Tak seperti dongeng-dongeng lain yang disulap Connolly jadi kelam, yang satu ini justru jadi semacam parodi.
… lalu datang pangeran sialan itu dan menciumnya... Dia muncul begitu saja, entah dari mana, menunggangi kuda putih… Tahu-tahu dia turun dari kudanya dan langsung menghampiri Snow White, seperti anjing pemburu merangsek lubang kelinci.
ADVERTISEMENT
Heran, mau apa sebenarnya orang itu, luntang-lantung sambil asal cium perempuan tak dikenal yang kebetulan sedang tidur waktu dia lewat.
Kisah Snow White yang dicium pangeran adalah versi Disney, sedangkan cetakan pertamanya oleh The Brothers Grimm tak begitu. Di situ, tak ada adegan pangeran mencium Snow White. Yang ada ialah: ia melihat putri yang terbaring di peti mati kaca, kemudian meminta dengan sopan kepada para kurcaci untuk membawa jenazahnya ke istana.
Ketika peti mati diangkat oleh para pengawal kerajaan, salah satu dari mereka tersandung sehingga peti terguncang. Karena guncangan itu, apel beracun yang ditelan Snow White terlontar keluar dari kerongkongannya dan ia hidup kembali.
Happy ending? Mungkin… Tapi, mari tilik kelanjutan cerita versi Grimm itu.
ADVERTISEMENT
Snow White dan pangeran penyelamatnya menggelar pesta pernikahan megah. Mereka juga mengundang ratu kejam yang merupakan ibu tiri si putri, yang karena apel beracunnyalah Snow White sempat mati.
Kala itu, si ibu tiri belum tahu bahwa pengantin perempuan adalah Snow White. Setiba di lokasi resepsi, barulah ia sadar. Ia lantas dipaksa berdansa mengenakan terompah besi yang panas membara sampai ambruk dan mati.
Jadi, mana yang lebih kejam: Snow White dan pangerannya, atau si ibu tiri?
(Leo Cardelli/Pexels)
Aku akan akhiri ocehanku. Pesan moralnya: things are not always what they seem.
Happy ending? Sad ending? Tragic ending? Semua serba-relatif dan tergantung perspektif. Tak ada yang namanya bahagia selamanya, dan memangnya kenapa? Tiap orang pasti menyadarinya di hati.
ADVERTISEMENT
Aku jadi ingat perbincangan dengan seorang kawan. Begini kira-kira katanya, “Mau menghindari masalah dengan pergi dari satu tempat, malah menghadapi masalah baru di tempat lain. Kesimpulanku: ya sudahlah, hadapi saja. Di mana-mana ada masalah.”
Selalu ada yang bisa dipelajari di tiap cerita. Seperti kata Connolly, hidup diwarnai kesedihan, tapi juga kebahagiaan. Ada penderitaan dan penyesalan, juga kemenangan dan kepuasan.
That’s the way life goes—in reality or fantasy.