Horor #MakanMayit dalam Seni Eksperimental

3 Maret 2017 12:52 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Roti isi keju asi di jamuan makan mayit. (Foto: Twitter/@abangsimpson)
zoom-in-whitePerbesar
Roti isi keju asi di jamuan makan mayit. (Foto: Twitter/@abangsimpson)
Petang itu, Sabtu (25/2), sekitar 15 orang berkumpul di ruangan temaram. Mereka duduk mengelilingi meja makan panjang dalam balutan busana putih formal. Fine dining segera dimulai. Sang waitress, atau ia menyebut perannya sebagai suster, tampak berkeliling memastikan “kenyamanan” tamu-tamunya. Namanya: Natasha Gabriella Tontey.
ADVERTISEMENT
Hidangan dibuka dengan sajian keju dan roti yang terbuat dari air susu ibu (ASI) dan fermentasi keringat bayi bercampur ragi. Menyusul disuguhkan sup jamur kuping dengan bentuk menyerupai kuping bayi. Sementara kuah sup ialah adonan santan yang ditempatkan dalam kantung ASI sebagai wadah.
Santap malam terus berlangsung dalam iringan musik dan tata cahaya yang telah diatur sehingga pas dengan menu tak wajar yang dihidangkan. Sebagai wadah pengganti mangkok, boneka bayi berperut kosong dengan kepala yang terpisah dari badan menjadi pilihannya. Di dalam rongga cekung kepala boneka tersebut, sayur-mayur seperti brokoli ditaruh sedemikian rupa mirip otak jabang bayi.
Sup jamur kuping bukan suguhan terakhir. Ada bihun dan tahu berwarna merah darah berbentuk bayi supermungil. Sampai tibalah pada hidangan penutup mahamenyeramkan: sponge cake yang dirancang seperti otak bayi.
ADVERTISEMENT
Semua itu adalah menu lengkap jamuan #MakanMayit, bagian dari proyek Little Shop of Horrors karya sang “waitress” --seniman muda Indonesia, Natasha Gabriella Tontey, seperti diceritakan rekan kerjanya, Elia Nurvista, dalam website kelompok studi makanan Bakudapan.
Pranala luar website Bakudapan itu ditaruh Natasha di akun Instagram-nya yang dikunci, @roodkapje, kemungkinan sebagai ganti penjelasan lisannya atas kontroversi jamuan #MakanMayit. Natasha sendiri, lewat media sosialnya, belum berhasil kami hubungi.
Petisi makan mayit. (Foto: change.org)
zoom-in-whitePerbesar
Petisi makan mayit. (Foto: change.org)
#MakanMayit memantik kegeraman. Tak butuh waktu lama sejak para tamu undangan mulai mengungggah foto-foto hidangan mengerikan --yang sebenarnya menu vegetarian-- via akun media sosial masing-masing, proyek seni eksperimental tersebut berujung pada petisi #ProtesMakanMayit via change.org.
Hingga siang ini, Jumat (3/3), petisi tersebut telah memperoleh lebih dari 7.500 dukungan. (Baca: )
ADVERTISEMENT
Apa sesungguhnya seni eksperimental yang dimaksud Natasha pada #MakanMayit?
Penulis dan seniman AD Jameson dalam artikelnya, What Is Experimental Art, mengatakan:
“Experimental art is that which takes unfamiliarity as its dominant --even to the point of schism (split). The experimental artist wants her artwork to be different… She desires that her results be unusual, unfamiliar to the point of looking peculiar, perplexing. … distorting and estranging the entire thing.”
Sementara Jill Bennet, Profesor dan Direktur National Institute for Experimental Arts, College of Fine Arts University of New South Wales, dalam jurnal Studies in Material Thinking menyatakan:
“... art is apt to exceed any institutional designation, confounding expectations about what it is and where it belongs. At this level, its experimentality manifests as a disposition, a drive to question, transgress and reinvent that in turn inflects the particular exploratory processes or 'methods' of art making. When we describe art as 'experimental', then, we are often referring not to a formal testing procedure but to the inclination to test social boundaries and conventions.”
ADVERTISEMENT
Itulah yang dilakukan Natasha: menggarap sesuatu yang berbeda, tak biasa, aneh, asing, membingungkan, menyimpang, melanggar, menerabas tradisi dan batas-batas norma sosial, sehingga memancing pertanyaan serta perdebatan.
Hal tersebut juga dikemukakan mitra seniman Natsha, Elia Nurvista, yang menggarap proyek jamuan #MakanMayit bersamanya, dan memaparkan prosesnya secara komprehensif --dilengkapi deretan foto-- di Bakudapan dalam tulisan berjudul Makan Mayit Sebagai Usaha Membicarakan Ketakutan.
Seniman Natasha Gabriella Tontey. (Foto: Facebook/Natasha Gabriella Tontey)
zoom-in-whitePerbesar
Seniman Natasha Gabriella Tontey. (Foto: Facebook/Natasha Gabriella Tontey)
Lewat jamuan horor, menurut Elia dalam tulisannya, Natasha --yang lebih sering disapa Tontey-- ingin mengeksplorasi rasa takut yang memiliki spektrum luas dan sulit dibicarakan atau didefinisikan. Dalam pandangan Tontey, rasa takut cenderung bersifat abstrak, kadang tak jelas penyebabnya.
“Tontey ingin kembali pada hal paling mendasar, yaitu mengapa rasa takut ada dalam hampir setiap manusia? Apa pemicunya? Bagaimana ia timbul dan tenggelam?” ujar Elia.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, lanjut Elia, Tontey menyimpan kecurigaan yang ingin ia bicarakan. “Bagaimana jika rasa takut itu tidak hanya muncul secara alamiah dengan dipicu oleh hormon-hormon tertentu, tapi juga timbul karena dibangun, dibentuk, dan dikonstruksi terus-menerus oleh sesuatu yang bersifat eksternal dari tubuh, misalnya norma.”
Pada titik ini, Tontey lantas mengaitkan rasa takutnya akan kanibalisme. Ya, ini juga soal ketakutan personal Tontey. Ia, menurut Elia, berhenti makan daging hewan kecuali ikan (menjadi pescetarian) setelah menonton film horor tentang kanibal.
Bagi Tontey, kanibalisme ialah hal paling mendasar, momen saat seseorang memakan sesuatu yang asing, memasukkan benda asing itu ke dalam tubuhnya, yang mungkin menyebabkan campuran perasaan antusias dan takut ketika ia melakukannya.
ADVERTISEMENT
Dari sini, ketakutan individual Tontey lantas dibawa ke ranah kolektif. Dan makan yang mestinya bersifat privat, sesuai selera individu, diragukan sekadar urusan pribadi.
“Seseorang tidak bisa memaksakan kepada orang lain untuk makan atau tidak makan sesuatu. Tetapi apa iya itu benar-benar ada di wilayah privat dan tidak diatur oleh sebuah otoritas? Jangankan kasus Sumanto yang berujung dipenjarakannya dia, kasus warung makan yang tetap buka saat puasa pun bisa jadi panjang urusannya. Orang bisa jadi tidak makan siang di bulan puasa lebih karena takut digropyok FPI ketimbang menghormati Muslim,” ujar Elia, menjelaskan pemikirannya bersama Tontey.
Sumanto yang disebut Elia ialah seorang kabinal atau pemakan daging manusia asal Purbalingga, Jawa Tengah. Lelaki yang kini berusia 44 tahun itu pada 2003 mencuri mayat seorang nenek dan memakannya. Kanibalisme saat itu diyakini Sumanto bisa mendatangkan kekuatan gaib atau supernatural.
ADVERTISEMENT
“Kami kemudian tertarik untuk mengangkat masalah makanan dan ketakutan akan kanibalisme, dalam proyek seni. Dalam kerangka seni ini, ada latar belakang dan narasi, tidak hanya berdiri sendiri sebagai sebuah objek foto atau benda,” kata Elia.
Adanya narasi itulah yang membuat Tontey memainkan peran sebagai suster dalam jamuan #MakanMayit --di mana para mayitnya direpresentasikan dalam wujud boneka bayi. Dalam perannya, Tontey tampil dengan gaun putih beserta penutup kepala macam kerudung biarawati.
Lewat karakter suster itu, Tontey membangun kisah atau konstruksi cerita. Pada jamuan #MakanMayit, Tontey berperan sebagai pemilik panti asuhan yang amat mencintai anak-anak, termasuk bayi-bayi mungil.
ADVERTISEMENT
Saking cintanya --ini yang jadi luar biasa keterlaluan menurut pandangan umum-- ia melakukan praktik endocannibalism bersama para tamu undangan.
Endocannibalism ialah ritual memakan mayat. Pada beberapa kasus di masa kuno, praktik ini merupakan wujud dari penyatuan jiwa si mati dengan si hidup yang memakan dagingnya. Agar dia yang mati tetap berada dalam tubuh si pencintanya yang hidup selamanya.
Bagi masyarakat kebanyakan, hal tersebut tak bisa diterima. Menyalahi norma agama dan sosial. Meski pada suku tertentu, hal itu mungkin tak terlalu asing.
Beda adat istiadat, beda penerimaan.
Eksperimen Makan Mayit oleh Natasha (Foto: instagram/@suazadmedia )
zoom-in-whitePerbesar
Eksperimen Makan Mayit oleh Natasha (Foto: instagram/@suazadmedia )
Praktik kanibalisme yang tabu tersebut diusung Tontey dan Elia ke ruang publik lewat jamuan #MakanMayit yang mereka sebut sebagai performative dinner. Keduanya ingin memancing perbincangan tentang hal itu secara terbuka.
ADVERTISEMENT
Jika hal tabu yang bersifat “individu” diubah menjadi “komunal”, dalam kasus ini lewat santap malam resmi yang dihadiri belasan tamu undangan, apakah orang-orang jadi bisa lebih terbuka membicarakan hal tabu tersebut?
“Mengapa kita, minimal saya dan Tontey, lalu menerima (non-kanibalisme) sebagai norma yang sudah terberi tanpa pernah mau berpikir lagi?”
Demikian pertanyaan yang menggayut di benak Elia dan Tontey.
Tentu saja, imbuh Elia, terdapat banyak rujukan tentang pelarangan kanibalisme, baik dari berbagai kitab suci sampai buku-buku antropologi dan etnografi. Bahwa kanibalisme adalah praktik tak etis, tak berbudaya, dan tak manusiawi.
Makan malam "horor" dengan tema #makanmayit. (Foto: Instagram @roodkapje)
zoom-in-whitePerbesar
Makan malam "horor" dengan tema #makanmayit. (Foto: Instagram @roodkapje)
Tontey dan Elia merancang konsep jamuan makan malam dengan unsur teatrikal --dengan narasi, pemeran, skrip, pencahayaan, visual, tata suara, sampai detail menu masakan.
ADVERTISEMENT
“Drama kami rancang mulai dari yang bernada halus tentang mempertanyakan kanibalisme, hingga yang secara visual menganggu karena kevulgaran (menu yang disuguhkan),” ujar Elia.
Seni eksperimental tersebut, dengan demikian, memang didesain untuk sengaja “menyimpang, melanggar, dan menerabas batas.”
Tapi apa tujuan Tontey dan Elia "mengganggu" masyarakat?
Menurut Elia, itu semua tak lain merupakan bentuk kritik dan gugatan mereka atas situasi sosial secara luas.
Tontey yang berperan sebagai suster pemilik panti asuhan dalam jamuan #MakanMayit itu, menceritakan tentang kegelisahannya yang kerap menemukan bayi yang dibuang dan tewas.
Kendati telah menyiapkan segalanya dengan matang, lengkap pula dengan kritikan sosial, Elia mengaku performative dinner tersebut punya sejumlah kekurangan besar.
Antara lain: berlangsung di toko fashion, dan peserta disyaratkan membayar tiket cukup mahal sehingga seni eksperimental itu lagi-lagi cuma dikonsumsi serta dimengerti kelas tertentu.
ADVERTISEMENT
“Seni akan tetap dilihat sebagai sesuatu yang elite… yang datang terbatas dari kalangan itu-itu saja,” ujar Elia.
Sementara kekurangan yang paling fatal ialah: mengunggah jamuan tersebut ke media sosial.
“Menjadikan event ini seolah hanya perayaan makan kelas menengah,” kata Elia.
Kericuhan yang dimunculkan seni eksperimental #MakanMayit ini pada akhirnya, ujar Elia, membuat dia dan Tontey berpikir ulang. Mereka ingin menciptakan karya seni yang dapat menjangkau masyarakat luas.
Seni untuk semua kalangan tampaknya penting untuk membangun interaksi dua arah dan menghindari kesalahpahaman.
Yohana Yembise. (Foto: Commons Wikimedia)
zoom-in-whitePerbesar
Yohana Yembise. (Foto: Commons Wikimedia)
Prahara akibat jamuan #MakanMayit tak kurang datang dari pemerintah. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise ikut mengecam.
Pada level ini, pemerintah maupun mayoritas masyarakat tak peduli tentang jenis seni yang diusung Tontey maupun wacana kritis yang ditampilkannya. Seni, menurut Yohana, mestinya mengandung unsur keindahan, bukannya melanggar norma kesusilaan, kepatutan, dan agama.
ADVERTISEMENT
“Negara ini melindungi anak-anak Indonesia sejak mereka masih dalam kandungan. Hal tersebut tidak tercermin dalam karya seni ini,” kata Yohana pedas.
Kemarahan Yohana serupa dengan banyak ibu. Makanan berbentuk tubuh dan otak bayi, keju terbuat dari ASI dan keringat bayi, sungguh tak lazim dan tampak seperti di luar akal sehat. (Baca: )
“Belum lagi dampaknya bagi anak-anak yang melihat visualisasi itu melalui media sosial,” ujar Ibu Menteri.
Sekalipun seni eksperimental dibuat untuk “mendobrak” sekat, seni sarat kontroversi yang tak dikomunikasikan justru akan menjadi bumerang. Upaya pekerja seni melemparkan kritik sosial demi memperjuangkan masyarakat, bakal berbalik membuat dirinya “diserang” masyarakat.
Apakah justru itu yang dicari? Keributan untuk memancing diskusi panjang? Tetapi, bukankah masyarakat Indonesia sudah terlampau bising dengan huru-hara? Atau masih kurang?
Natasha Gabriella Tontey. (Foto: Youtube/mes56tv)
zoom-in-whitePerbesar
Natasha Gabriella Tontey. (Foto: Youtube/mes56tv)
ADVERTISEMENT