Konten dari Pengguna

Liong Bulan si Kopi Naga

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
21 November 2017 15:56 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kopi Liong Bulan (Foto: Anggi Kusumadewi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kopi Liong Bulan (Foto: Anggi Kusumadewi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Siapa yang ambil kopi aku?!
Saya menyahut santai, “Aku. Kopi hitam, kan? Kirain buat minum mamang tukang.”
ADVERTISEMENT
Saat itu, rumah keluarga kami sedang direnovasi, dan kopi sudah tentu jadi menu wajib para tukang bangunan. Untuk injeksi stamina mereka saat mengangkat-angkat material berat atau mengaduk semen.
Bukaan, itu kopi Te Yas. Nanti gantiin, ya!
“Oke,” jawab saya, enteng. Soalnya, itu kopi murah. Kasarnya--tanpa maksud merendahkan, mungkin sebangsa kopi rakyat jelata atau kaum proletar.
Di Indomaret atau Alfamart saja, kopi itu tak ada (saya pernah cari). Ia hanya tersedia di pasar dan toko-toko kelontong yang tak semodern dan sewangi minimarket.
Kopi Liong Bulan versi sachet. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kopi Liong Bulan versi sachet. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
Saya sebetulnya lebih sering minum kopi mix, alias kopi instan yang sudah bercampur susu dan gula. Tapi, saat itu darurat. Mata lima watt, editan belum tamat, hidup berat, dan kopi mix di dapur habis. Celaka betul.
ADVERTISEMENT
Saya sungguh-sungguh perlu kopi--apapun jenisnya, apapun rasanya--untuk menyangga kelopak mata agar tak terkatup.
Maka si kopi Liong yang tergeletak di lemari dapur langsung saya comot. Bungkusnya biasa saja, tak terlalu menarik hati. Khas kemasan kopi-kopi tradisional, tak banyak polesan.
Kemasan kopi itu berwarna dasar cokelat tua, dengan warna biru langit di bagian muka, berhias gambar bulan sabit kuning tersenyum dan naga hijau (tanpa api). Tercantum tulisan di atas naga bulan itu: KOPI + GULA Cap LIONG BULAN.
Kenapa harus disebut “Liong”? Sudah jelas, karena gambarnya memang liong alias naga--yang tiruannya biasa muncul pada pertunjukan arak-arakan Tahun Baru China atau Imlek.
Tarian naga atau barongsai saat Imlek. (Foto: Deanda Dewindaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tarian naga atau barongsai saat Imlek. (Foto: Deanda Dewindaru/kumparan)
Dalam bahasa Tiongkok, naga si ular besar itu disebut “liong”. “Dragon” dalam bahasa Inggris, dan “draken” dalam bahasa Skandinavia.
ADVERTISEMENT
Naga, reptil raksasa yang makhluk mitologi tersebut, diyakini sakti.
Dan demikianlah Liong Bulan menunjukkan kesaktiannya. Ia--yang disebut telah “mati”--hidup lagi. Oke, tentu saja saya melebih-lebihkan di sini.
Kopi Liong memang tak mati seperti semula diributkan di jagat maya. Yang sesungguhnya terjadi: salah satu toko kopi Liong di sebelah Pasar Anyar, Kota Bogor, tutup. Tapi tidak dengan pabrik kopinya di Nanggewer, Cibinong, Kabupaten Bogor.
Untung saja, sebab saya belum sempat menggantikan kopi Liong adik saya yang galak itu (tak lebih galak dari kakaknya, sih).
Kalau sampai kopi Liong berhenti berproduksi, maka adik saya itulah yang akan menjelma naga--dan menyemburkan api.