Mencintamu adalah Pasti

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
7 Januari 2018 14:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hidup memang tak pasti, tapi mencintamu adalah pasti―sampai mati.
Terik siang itu membakar kulit. Anjani berdiri di muka bangunan tiga lantai yang sebagian sisinya dikelilingi kawat. Ia membiarkan panas matahari menghanguskannya. Ia tak peduli, seperti biasa. Anjani satu dari golongan orang di dunia yang masa bodoh dengan penampilan. Hanya sekali ia tampil manis: saat bersantap malam dengan lelaki mimpi di ruang merah darah wangi dupa.
ADVERTISEMENT
Dua tahun telah berlalu sejak saat itu, dan Anjani heran dia belum juga mati. Alih-alih mati, kini Anjani menyambangi tempat penghasil mayat. Ia berada di halaman Museum Genosida Tuol Sleng, bangunan yang mengisap darah dan memangsa musnah 14.000 sampai 20.000 ribu orang pada masa Khmer Merah.
Sejak awal Anjani menyusun rencana perjalanan ke Kamboja bersama seorang sahabat, dia langsung menempatkan Museum Genosida itu di urutan pertama, membuat sang kawan geleng-geleng kepala.
“Kita akan pergi melepas jenuh penat, dan kamu malah ingin mengunjungi tempat mengerikan,” ujar temannya, mencorat-coret notes sambil menatap layar laptop di depan mereka untuk mengecek jadwal bus dari Sihanoukville ke Phnom Penh.
Anjani tersenyum tipis padanya―her partner in crime, lalu menimpali ringan, “Kamu kan tahu kegelapan selalu menarikku. Kamu tak perlu ikut ke sana kalau tak mau.”
ADVERTISEMENT
Sebetulnya Anjani pun tak tahu apa yang ia cari di tempat itu. Ia hanya tahu, kelam senantiasa mengisapnya. Dan tempat orang-orang pernah mati terasa tak menakutkan baginya―tidak kala kau sesungguhnya sudah separuh mati.
Kini di tengah kompleks Museum Genosida Tuol Sleng yang asri (kau tak bakal mengira ia pernah jadi lokasi penyiksaan jika melihat tamannya yang tertata apik cantik), Anjani berdiri. Ia menyapukan pandangan ke lorong-lorong suram yang menyimpan bayang seram masa silam, dan pintu-pintu kayu yang dahulu berderit-derit bersama jerit orang-orang yang meregang nyawa.
Anjani lalu melangkahkan kaki ke dalam.
Ia menyusuri koridor-koridor, memasuki ruangan-ruangan, naik turun tangga, membaca kisah-kisah pedih yang terpancang pada papan-papan tiap ruang, memindai percik noda darah yang tak pupus oleh waktu (atau sengaja dibiarkan demikian sebagai warisan autentik masa lampau), memotret apapun yang bisa diabadikan (meski terdapat tanda dilarang memfoto di sana), menghirup getar getir tempat itu, dan berbicara dalam hening dengan hantu-hantu.
ADVERTISEMENT
Pada satu sketsa yang terpampang di dinding, tergambar seorang lelaki bersimpuh dengan kedua tangan diangkat ke atas kepala, mencoba melindungi tubuhnya dari sabetan tongkat besi. Anjani menerka, upaya pria itu bertahan hidup sia-sia belaka, seperti orang-orang malang lain yang potret wajahnya dipasang berderet-deret di dinding, termasuk perempuan-perempuan yang menggendong bayi di lengan.
Betapa hidup sedemikian kejam pada mereka. Alih-alih langsung dibunuh, mereka disiksa tanpa batas. Dipukuli hingga darah mengalir keluar dari punggung, lalu luka menganga di punggung itu dituangi air garam agar nyeri kian tak terperi.
Lebih sinting lagi, para tahanan tak boleh menangis ketika disiksa―dicambuk, dijambak, dipukuli, disepak, disetrum. Lupakan kemanusiaan. Khmer Merah bukan manusia, tapi iblis. Di tangan mereka, 1,4 juta hingga 2,2 juta manusia tewas musnah. Jumlah itu sekitar 21 persen populasi penduduk Kamboja.
ADVERTISEMENT
Mata-mata nanar mengitari Anjani, membuatnya sedikit pening. Ia kemudian berjalan keluar ruangan, menarik napas panjang, dan teringat pada tragedi berdarah di negeri sendiri. Jika di Kamboja pada 1968-1975 pemerintahan komunis melakukan pembantaian, di Indonesia tahun 1965-1966 komunislah yang dicincang pemerintah.
Anjani merasa mual. Mesin pembunuh paling efektif―itulah manusia, desisnya. Manusia semestinya mati atas kehendak sendiri, bila bukan karena kemauan si pemberi jiwa.
Melambatkan langkah, Anjani naik ke lantai berikutnya. Di atas, suasana lebih sunyi dan angin bertiup semilir, membelai sejuk wajahnya. Tapi teduh sontak hilang ketika Anjani memasuki jajaran ruangan di lantai itu. Gelap langsung membungkus.
Ruang-ruang yang disekat-sekat itu sesungguhnya ruangan kelas (ya, Tuol Sleng adalah gedung sekolah menengah atas sebelum “disulap” menjadi penjara rahasia). Di sana, berdiri sel-sel sempit dari kayu dan bata.
ADVERTISEMENT
Hawa dingin mengalir ke tengkuk Anjani ketika ia melongokkan kepala ke dalam salah satu sel. Begitu sempit bilik itu, hingga seorang manusia tak bakal bisa tidur dengan posisi berbaring sempurna. Setidaknya, ia harus meringkuk atau menekuk lutut.
Jangan bayangkan ada tikar atau dipan dalam sel. Ranjang besi―tanpa kasur―hanya terdapat di ruang penyiksaan, lengkap dengan penjepit dan tongkat besi, serta rantai. Ranjang itu jelas bukan untuk tidur, tapi untuk merajam orang. Sementara di sisi lain, tengkorak-tengkorak berbaris rapi dalam rak-rak almari.
Anjani bergidik membayangkan kebengisan yang menguasai bangunan itu. Ia berbisik, betapa manusia begitu senang menjadi Tuhan. Merenggut nyawa sesamanya dengan mudah hampir seperti merayakan kehidupan.
Lama-kelamaan, hawa kembali panas pengap. Sebab jendela-jendela ditutup rapat membuat udara tersekap. Anjani menoleh ke kanan kiri, tak melihat orang selain dia―dan arwah-arwah korban keganasan Khmer Merah.
ADVERTISEMENT
Anjani jadi jeri. Pun bila ia kerap bertemu setan-setan antah-berantah di mimpi kelam malamnya, dia tak berharap berjumpa roh-roh gentayangan-penasaran yang kemudian bisa menguntitnya ke mana-mana.
Cepat-cepat ia keluar ruangan, dan nyaris jatuh tersandung kayu melintang di pintu. Sesampai di luar, dia langsung memenuhi paru-parunya dengan udara segar, lalu turun menuju taman hijau di tengah kompleks museum, melindungi diri dari terik dengan bernaung di bawah rimbun pepohonan.
Anjani merogoh tas, mengambil ponsel yang dibisukan. Sejumlah pesan masuk. “Kamu di mana?” tanya temannya.
Sahabatnya tak suka berlama-lama di museum kematian itu. Anjani membalas, “Pergilah dulu melihat-lihat Istana. Kita bertemu di Sisowath Quay* nanti sore, duduk di tepi sungai menangkap senja jingga.”
ADVERTISEMENT
Andai dia ada di sini, ujar Anjani dalam hati, teringat lelaki mimpi yang entah di mana.
Satu pesan lagi masuk ke ponsel. “Hai, apa kabar?” Seketika, jantung Anjani berdegup. Jari-jarinya menari cepat di layar ponsel, “Hai, aku baik, sedang di Phnom Penh. Kamu bagaimana?”
“Oh, jalan-jalan lagi? Aku di Chiang Mai. Biasa, kerja. Di sini panas sekali, 40 derajat Celcius! Apa di sana sama?”
Anjani mengulum senyum, lalu mencari bangku terdekat untuk duduk nyaman, berkonsentrasi pada ponselnya. “Ini bukan ‘jalan-jalan lagi’,” Anjani mengoreksi. “Di sini 37 derajat Celcius, tapi pekan lalu suhu di Siem Reap juga 40 derajat. Turis Inggris yang berbagi kamar denganku terkena heat stroke. Memang sedang panas di mana-mana.”
ADVERTISEMENT
Sebentar kemudian, mendung di hati Anjani pergi. Ia berbincang riang lewat abjad-abjad yang terbang seribu kilometer lebih dari tempatnya berpijak. Ancaman dunia arwah lenyap sekejap. Semesta Anjani berpusat pada ponsel yang ia genggam erat.
Lembayung sore semburat kala Anjani memasukkan ponsel ke tas dan bergegas mencari tuk-tuk** untuk mengantarnya ke Sisowath Quay. Senyum terus terlukis di wajah Anjani, seiring kembang yang mekar di hati.
Senja itu, di seberang Istana beratap emas, ia duduk santai memandang riak sungai dan perahu-perahu yang hilir mudik. Bersama sahabatnya, Anjani menyesap tebu manis. Semanis penutup harinya saat itu.
Ah, betapa gelap-terang bisa berayun cepat hanya karenamu.
***
*) Sisowath Quay adalah jalan besar sepanjang tiga kilometer di persimpangan Danau Tonle Sap dan Sungai Mekong, Phnom Penh. Kawasan yang terletak di lokasi strategis ini dipenuhi deretan kafe, restoran, dan hotel di pinggir kanan-kiri jalan, dan merupakan pusat keramaian di ibu kota Kamboja itu―yang uniknya, meski riuh, memiliki atmosfer santai dan tenang.
ADVERTISEMENT
**) Tuk-tuk ialah transportasi publik populer di Kamboja dan beberapa negara Asia lain. Semacam andong atau kereta roda dua yang ditarik dengan motor.
Ketakabadian
Sepekan–tujuh, enam, lima, empat tiga, dua, satu hari lagi Hitungan mundur dimulai Lembayung senja ganti-berganti fajar merah pagi
Bermula di satu hari tawar kala dunia kecil pecah berkeping “Kamu gelisah?” tanyamu lewat abjad-abjad di layar “Bisakah aksara bertukar suara?” balasku dalam hening
“Kita bertemu,” katamu segera Tawaku memecah senyap bersama banjir ingatan akan rencana-rencana yang terbuang ke segara “Kali ini sungguh,” ujarmu, bertetap
Di semesta lain tanganmu menggenggam Kasar ilalang bertemu lembut sakura menghantarkan semua rindu terpendam
Satu-dua bulan, satu-dua tahun, hati membatu Hujan bersulih kemarau, sedu beralih gelak Musim berputar mengiringi laju waktu Melodi mengalun mengarungi cinta berjarak
ADVERTISEMENT
Lara membawamu menjejak tanah-tanah asing melintasi batas ruang membasuh duka, menjauhi bising mencari sunyi, membeli masa luang
Tapi dua jiwa tak benar-benar terberai “Phnom Penh, 37 derajat Celcius, berpayung rimbun pepohonan.” “Chiang Mai, 40 derajat Celcius, terkurung kubah bangunan.” Terpisah 1.300 kilometer, tawa mengalir berderai
“Changi, transit, aku teringat kamu.” “Jakarta, kerja, kamu tak pernah kulupa.” Senyum mengembang di wajahku, wajahmu Sebelum pusaran poros bumi menggilas lagi segala
Seutas benang tipis terjalin rapuh Melintang sembarang di jagat sarat ketakabadian Mentari merekah, hitam pekat robusta kembali diseduh Mari teguk habis, di tengah buai ketakpastian
Phnom Penh, Mei 2016
Catatan
- Cerita di atas adalah fragmen dari rangkaian kisah yang putus-sambung ditulis―sesuka hati, seada waktu, semau-mau. Prosa dan puisi ditulis pada waktu berbeda. - Gambar-gambar pada cerita ini diambil dari dokumen pribadi penulis, Pixabay, dan Wikimedia Commons.
ADVERTISEMENT