Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Nyala Api Anak-anak Minoritas China di Xinjiang
12 Mei 2017 14:41 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Mereka begitu bersemangat belajar. Wajah-wajah bersih, rambut terikat rapi, pakaian pun rapi. Mereka ialah anak-anak minoritas di China.
ADVERTISEMENT
Berasal dari desa-desa terpencil, anak-anak itu memiliki semangat tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata. Mereka menuntut ilmu di Sekolah 66, Urumqi, Xinjiang --Daerah Otonomi Uighur di barat laut China.
Sekolah 66 cukup besar. Ia didominasi warna merah khas China, dan dikelilingi pemandangan memukau --hamparan bukit-bukit hijau yang menyejukkan.
Ini sekolah asrama (boarding school) dengan fasilitas terbilang lengkap. Asrama para murid pun nyaman. Satu kamar berisi 4 kasur bertingkat. Sama sekali tak sempit karena kamar cukup luas.
Sebuah boneka beruang putih besar terlihat duduk manis di salah satu kasur.
Tiap kamar dijaga oleh seorang staf yang bertugas memastikan terpenuhinya kebutuhan makan anak-anak, sekaligus menjaga mereka agar bisa berkonsentrasi dalam belajar.
Siswa-siswi yang belajar di sini berasal, seperti disinggung di atas, berasal dari wilayah-wilayah terpencil di Xinjiang seperti Kashgar, Karamay, Korla, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Di daerah asal masing-masing, para siswa itu berprestasi sehingga mereka terpilih untuk mendapatkan fasilitas pendidikan lebih baik di Sekolah 66.
Salah satu murid yang mencuri perhatian itu misal Tujinsa Abuduany, siswi perempuan kelas 2 SMP yang berasal dari Kashgar, kota di bagian barat China yang menjadi tempat tinggal minoritas Muslim China.
Saat diperkenalkan oleh kepala sekolah kepada rombongan jurnalis lintas negara yang berkunjung ke sekolahnya, Tujinsa begitu bersemangat. Awalnya, ia memperkenalkan diri menggunakan Bahasa Inggris.
“Hello, my name is Tujinsa Abuduany. I’m from Kasghar. I’m 14 years old.”
Ia kemudian berhenti, tertawa kecil, dan melanjutkan perkenalannya dengan bahasa lokal --yang kemudian diterjemahkan oleh seorang penerjemah.
Dari sedikit ceritanya, tampak bahwa Tujinsa penuh vitalitas. Ia ibarat api yang terus berkobar. Amat aktif dan cemerlang di bidang akademis.
Kashgar, daerah asal Tujinsa, berjarak belasan jam berkereta dari Urumqi, ibu kota Xinjiang tempat Sekolah 66 berada. Kashgar terletak dekat perbatasan Pakistan, Tajikistan, Kirgizstan, dan Kazakhstan.
ADVERTISEMENT
“Saya begitu senang sekolah di sini. Saya akan belajar sungguh-sungguh agar orang tua saya di kampung halaman senang melihat saya berprestasi,” kata dia dengan senyum merekah.
Tujinsa begitu asyik berbagi pengalamannya. Sampai tak terasa ia berbicara hampir 10 menit, dan perwakilan sekolah memotong ceritanya karena waktu yang terbatas --sabar ya, Tujinsa.
Perwakilan sekolah mengatakan, pemerintah mendukung penuh pengembangan Sekolah 66, dengan membiayai sepenuhnya kegiatan operasional sekolah itu, baik jenjang SMP maupun SMA.
Setiap tahunnya, pemerintah Xinjiang memberikan tak kurang dari 6 juta Yuan yang dipergunakan untuk seluruh aktivitas di sekolah itu, termasuk biaya hidup 200 orang lebih siswa di dalamnya.
Meski boarding school, Sekolah 66 menerapkan kurikulum yang sama dengan sekolah lain. Bedanya, 3 bahasa diajarkan di sana, yakni Mandarin, bahasa lokal Xinjiang, dan Inggris.
ADVERTISEMENT
Metode belajarnya pun modern. Di kelas, tampak para siswa tengah asyik megikuti pelajaran Bahasa Inggris. Mereka memerhatikan sang guru yang menggunakan sejumlah alat ajar modern seperti proyektor dan mikrofon.
Dalam beberapa tahun terakhir, para siswa minoritas di Sekolah 66 berhasil menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mereka masuk ke perguruan-perguruan tinggi ternama di kota-kota besar China seperti Beijing dan Shanghai.
Semoga Tujinsa dan kawan-kawannya pun demikian. Terbang tinggi mengejar mimpi mereka. Sampai jumpa lagi, Tujinsa.
Laporan jurnalis kumparan.com Wisnu Prasetiyo dari Xinjiang