Perempuan Seribu Jari

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
15 Mei 2019 9:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. (Min An/Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. (Min An/Pexels)
ADVERTISEMENT
Kenapa kamu selalu minta yang lain bukakan pintu tak bisa sendiri?
ADVERTISEMENT
Mesin fingerprint tak berfungsi untukku tak bisa baca ini sepuluh sidik jari
Mungkin kamu setengah peri
Bukan, aku bukan peri. Tapi aku memang tak punya sidik jari, dan itu rupanya jadi masalah besar di masa kini. Bayangkan saja, mesin pemindai sidik jari ada di mana-mana, dari kantor hingga bandara. Tiba-tiba jari jadi identitas diri mahapenting.
Aku tak bisa masuk ke kantorku sendiri kalau biometric fingerprint scanner tak mengenali sidik jariku. Aku tak punya iPhone karena ponsel pintar itu menggunakan sensor sidik jari—yang bakal gagal membaca jemariku. Aku kesulitan terbang ke luar negeri karena mesin fingerprint tak dapat menangkap pola sidik jariku saat membuat paspor.
Pun ketika aku berhasil mengantongi paspor, aku terancam ditangkap petugas imigrasi di bandara saat—lagi-lagi—mesin sialan itu tak bisa mendeteksi sepuluh jari tanganku. Aku tekankan: tidak satu jari pun.
ADVERTISEMENT
Masih bagus bila aku disangka dedemit. Masalahnya, bagaimana kalau aku dikira kriminal yang sengaja mengaburkan sidik jari demi lolos dari jerat hukum? Padahal, aku tak lebih dari adermatoglifia—orang yang tak punya sidik jari. Sudah, begitu saja.
Namun peradaban modern tampaknya begitu menghamba pada sidik jari, dan aku rentan menjadi semacam mutan yang tersisih hanya gara-gara tak punya sidik jari.
Baiklah, aku mungkin memang mutan karena adermatoglifia yang kelainan genetik langka itu terjadi akibat gen SMARCAD1-ku mengalami mutasi. Dan makhluk hidup yang mengalami mutasi kromosom sejatinya adalah mutan—setidaknya secara verbatim.
Mungkin kau bertanya-tanya: apa itu SMARCAD1? Well, ini tak ada hubungannya dengan SIM card atau smart card.
SMARCAD1 ialah istilah genetika. Sederhananya, ia gen protein kulit. Rumitnya, ia kependekan dari SWI/SNF-related matrix-associated actin-dependent regulator of chromatin subfamily A containing DEAD/H box 1. Hmm… asal kau tahu, aku menyontek saat menuliskannya. Aku bukan ahli biologi.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, mutasi pada gen SMARCAD1-ku itu tak lantas membuatku merasa perlu pergi ke dokter. Tak ada obat untuk adermatoglifia. Aku tak perlu buang-buang waktu.
Sidik jari. (Pixabay)
Tentu aku jemu mendengar pertanyaan “Kenapa tak mendaftarkan sidik jari pada mesin fingerprint?” ketika minta tolong pada rekan kerja atau office security untuk membukakan pintu kantor.
Aku selalu menjawab jujur, “Bukannya tak mau, tapi aku memang tak punya sidik jari.” Dan mereka biasanya hanya menatapku kosong bak menerawang pesakitan.
Bayangkan apa jadinya jika aku menjawab dalam terminologi medis, “Karena aku seorang adermatoglifia.” Mereka sangat mungkin akan balik bertanya, “Ader… what??” atau malah sekadar memutar bola mata sambil menyahut, “Whatever.”
Sampai suatu hari kala aku bosan setengah mati menerima pertanyaan yang sama—“Kamu belum registrasi sidik jari?”, aku memandang dingin si penanya sembari berkata, “Tak apa kalau kau tak mau ‘meminjamkan’ sidik jarimu. Aku punya jari cadangan.”
ADVERTISEMENT
Aku lalu mengeluarkan potongan telunjuk dari dalam tas bahuku, menempatkannya dengan hati-hati pada scan area, dan pintu langsung terbuka diringi ucapan “Thank you” dari mesin fingerprint.
Aku tersenyum senang dan nyaris bersorak. Sudah lama aku tak memakai telunjuk itu dan menahan diri menggunakannya, sebab aku belum menguji kelaikan fungsinya setelah bertahun-tahun mendekam di bejana tua.
Namun hari itu, ia membuktikan kualitasnya sebagai perkakas bermutu tinggi. Dan sejak saat itu, kolegaku yang satu itu, yang batal membukakan pintu kantor untukku, selalu menghindar bila bertemu denganku, seolah aku tukang jagal.
Biarlah, itu bukan masalah. Yang penting kini aku akan memakai lagi seribu jari—sempurna dengan sidik jari. Potongan telunjuk itu cuma salah satunya. Masih banyak jari lain yang bisa kugunakan bergantian sesuai keperluan.
Ilustrasi. (Zun Zun/Pexels)
***
ADVERTISEMENT
Sepuluh tahun sebelumnya...
Aku sudah lama diam-diam mengamatinya. Perempuan itu selalu menoleh ke kanan dan ke kiri saat hendak memasuki pintu kaca kantor kami. Ia mencari kawan untuk masuk. Kawan yang bisa membukakan pintu untuknya.
Lebih dari sekali aku melihatnya menekan layar fingerprint scanner berulang kali di depan pintu kaca sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan putus asa. Pastilah alat pemindai itu tak merespons sidik jarinya.
Kalau sudah begitu, biasanya ia akan mengangkat ponsel dan menelepon temannya yang berada dalam ruangan untuk minta tolong dibukakan pintu, atau mengetuk-ngetuk pintu kaca dengan wajah memelas seraya melempar isyarat tolong-bukakan-pintu kepada siapa pun orang di dalam ruangan yang berada dekat pintu itu.
Sekali waktu aku pernah tiba berbarengan dengannya, dan ia segera tersenyum sambil mempersilakan aku membuka pintu. Aku lantas bertanya padanya, “Kenapa kamu selalu minta yang lain bukakan pintu, tak bisa sendiri?”
ADVERTISEMENT
Ia menjawab sambil mengangkat bahu, “Mesin fingerprint tak berfungsi untukku, tak bisa baca ini sepuluh sidik jari.” Aku menggodanya, “Mungkin kamu setengah peri.” Kulihat pipinya bersemu merah.
Di kemudian hari, sidik jarinya yang tak terbaca itu mulai menimbulkan kesulitan. Ia mendapat tugas ke luar negeri, dan mesin fingerprint di kantor imigrasi sama sekali tak bisa mendeteksi sidik jarinya. Tidak satu jari pun.
Petugas imigrasi yang kelelahan menungguinya memindai jari—dan terus-menerus gagal—mencoba membantu. Ia mengecek apakah layar mesin fingerprint tergores, lalu membersihkan alat itu kalau-kalau kotor sehingga mengganggu permukaan sensor.
Ia juga memeriksa jari-jari perempuan itu, apakah kesepuluh jemarinya berkeringat atau basah sehingga menghalangi proses identifikasi; atau malah kulitnya kering atau pecah-pecah sehingga pola sidik jari jadi tak terbaca.
ADVERTISEMENT
Sepuluh jari perempuan itu terbuka di depan mata petugas kantor imigrasi. Melihat jari-jari itu, sang petugas mengerutkan kening. Kulit jemari itu terlampau halus ketimbang orang kebanyakan. Tak tampak lingkaran-lingkaran yang biasa menjadi pola sidik jari.
Petugas itu bertanya apakah perempuan itu membawa pelembap, dan memintanya untuk mengoleskan pelembap pada tangan sebelum mencoba kembali memindai jari. Tapi lagi-lagi tak berhasil. Sang petugas lantas memanggil rekan-rekannya. Mereka saling berbisik sebelum akhirnya membiarkan perempuan itu membuat paspor tanpa memindai sidik jari.
Semula, aku tak tahu perkara kegagalan proses pemindaian sidik jari di kantor imigrasi itu. Aku tak mengira persoalan jari saja bisa sedemikian serius, sampai aku menerima telepon dari perempuan itu. Ia sedang berada di Bandara JFK New York.
Bandara. (Riccardo Bresciani/Pexels)
Perempuan itu tertahan di bandara karena sidik jarinya tak terdeteksi. Ia sudah dua jam di sana, dan memutuskan meneleponku—atasannya—untuk membantunya menjelaskan kepada petugas bandara tentang penugasannya di AS, dan tentu perihal sidik jarinya yang tak terbaca.
ADVERTISEMENT
Ia bicara tenang di ujung sambungan telepon meski dilanda penat menanti pemeriksaan imigrasi usai.
“This is quite frustrating. But I don’t think I’ll be the next Viktor Navorski,” ujarnya, masih mencoba berkelakar dengan menyinggung film Steven Spielberg, The Terminal, yang menceritakan seorang pria (Viktor Navorski aka Tom Hanks) yang terjebak di Bandara JFK selama berbulan-bulan.
Lewat ponselnya, aku kemudian berbicara kepada petugas imigrasi Bandara JFK. Di antara percakapan kami, petugas itu berkata heran: she has no fingerprints—not a single one.
Persoalan tersebut tentu bisa kuatasi, dan perempuan anak buahku itu akhirnya melenggang tenang dari bandara menuju riuh kota New York.
Sebulan kemudian barulah aku bertemu dia. Ia belum seminggu pulang dari New York, dan di satu siang menjulurkan jari-jarinya ke hadapanku sambil bercerita betapa jengkelnya ia ketika melihat setengah lusin petugas Bandara JFK saling berbantah saat memeriksa jemarinya.
ADVERTISEMENT
“They said ‘Of course you have fingerprints. You must have. Everyone has. You’re doing the wrong way with the scanner.’ Well, anyway, from my brief research after that, I found out that possibly I’m an adermatoglyphia, and people call this thing as an ‘immigration delay disease’. So true, right?”
Ia begitu ekspresif ketika bercerita, membuatku menahan senyum. Aku lalu meraih tangannya untuk mengamati lebih dekat. Sejenak ia terlihat canggung, namun membiarkanku menyentuh jemarinya. Jari-jari itu memang terlalu mulus—dan tanpa sidik jari.
Situasi itu di satu sisi menjadi keuntungan. Bila ia memang seorang adermatoglifia—hanya perlu sedikit tes untuk mengeceknya, ia bisa jadi kandidat tepat untuk sejumlah misi berbahaya. Bayangkan saja, ia bisa melakukan apa pun tanpa meninggalkan sidik jari di mana pun. Aku hanya perlu memberinya seribu jari sebagai bekal kamuflase.
ADVERTISEMENT
***
Ilustrasi. (Lucas Pezeta/Pexels)
Ambang penghabisan...
Seribu jari bagiku berarti seribu wajah. Aku lelah. Aku ingin berhenti dari misi tak berujung ini. Bila dulu aku ingin membuktikan diri, kini aku tahu aku tak tertandingi. Segala bahaya telah kuterjang dan aku tak juga mati. Kenapa gerangan aku macam makhluk abadi?
Lelaki itu mengatakan aku berpedang api dan berselimut magi. Bingkisan para dewa untuk membantunya memecahkan teka-teki dunia peri. Yang lihai memperdaya musuh hanya dengan menari. Tapi sampai kapan aku harus ikut mencari dan membongkar misteri ini?
Dan apa untungnya hidup begitu lama—dengan banyak nama? Lihat tumpukan jari di bejana kaca itu, dan deretan paspor yang berjejer rapi di laci. Sebanyak itulah identitasku.
Oh ya, aku belum memperkenalkan diri padamu. Aku Scheherazade. Seperti kubilang tadi, aku punya seribu wajah dan seribu jari—juga seribu satu kisah untuk kuceritakan. Akan kubuka satu per satu untukmu. Kau tenang-tenang saja mendengar dongengku yang berikutnya.
ADVERTISEMENT