Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Purnama Merah
28 Januari 2018 15:03 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
… the moon remained silent; it told no stories. All it did was embrace the heavy past with a cool, measured detachment. On the moon there was neither air nor wind. Its vacuum was perfect for preserving memories unscathed.
― Haruki Murakami, 1Q84
Acara demi acara bagai tak berkesudahan, terajut rapat dari hari ke hari. Seminar, simposium, konferensi, mediasi, diskusi, lokakarya, kuliah umum, dan entah sederet agenda lain apapun namanya itu. Begitulah hidup Nir berputar pada porosnya. Ia matahari dan agenda-agenda itu planet-planet yang beredar mengitarinya.
ADVERTISEMENT
Malam ini Nir sedang menyambangi salah satu planet itu. Ia duduk di kursi tamu undangan, dan menyimak pidato dari salah satu pebisnis yang hadir di sana. Sesekali, seperti hadirin lain, ia bermurah hati bertepuk tangan. Mengapa tidak, toh di lain waktu ia ganti berdiri di atas panggung sebagai pembicara atau panelis.
Sembari mendengar sang pebisnis berbicara, Nir menengok ponselnya. Pesan-pesan nyaris tak berhenti masuk. Tak semua ia lihat, tak semua ia baca. Jelas tak ada waktu untuk menjawab semua sekaligus. Ia merespons berdasarkan skala prioritas saja.
Oke, mungkin tak selalu begitu. Seperti malam ini saat pesan tak penting masuk ke smartphone-nya. “Hai, sibuk?”
Nir sudah hafal pertanyaan standar membosankan itu. Pasti dari Anjani―yang biasa menyapa rutin. Kadang dua pekan sekali, sebulan sekali, tapi tak mungkin tidak sama sekali.
ADVERTISEMENT
Karena tak sedang kelewat sibuk, Nir segera membalas, “Biasa saja, sedang di acara para pengusaha, mendengar mereka berpidato.”
Ia memandang bosan ke sekeliling, dan tiba-tiba didera rindu. Sudah cukup lama Nir tak berjumpa Anjani. Kini bukan hanya ia yang sibuk, Anjani pun tampaknya bertambah repot.
“Kamu sudah pulang?” tanya Nir. Anjani menjawab, “Sudah, masih di jalan.”
“Pulang ke rumah?” tanya Nir, macam melontarkan pertanyaan tak perlu, membuat Anjani bingung, dan balik melempar tanya, “Tentu saja, memang mau ke mana?”
“Ah ya, maksudku semula kupikir mungkin kita bisa bertemu dulu,” kata Nir. Anjani heran, “Malam ini?”
“Iya, sebentar lagi acaraku selesai. Tapi kamu sudah jalan pulang,” ujar Nir, agak kecewa.
Anjani berkata, “Tumben. Biasanya aku ajak kamu ngopi saja sampai tujuh purnama susah sekali. Sampai kupikir kita baru akan bertemu di lain masa.”
ADVERTISEMENT
Nir menampik, “Jangan begitu, ah.” Anjani membalas lagi, “Aku bukannya melebih-lebihkan. Tapi bikin janji sama kamu itu sesukar mau bertemu presiden.”
“Ya sudah, kita atur jadwal yang pas. Kapan sempat?” ujar Nir, tak hendak berdebat.
Anjani menjawab setengah ‘mengancam’, “Besok, atau lusa, atau pekan depan, atau tidak sama sekali, tunggu kita menyeberang ke lain dunia.”
“Besok,” kata Nir memutuskan. “Sekarang sudah sampai rumah?” ia kembali bertanya.
“Belum, masih di jalan. Coba kamu lihat ke langit, purnama penuh dilingkari cincin. Bagus sekali,” ujar Anjani.
“Oh, aku belum lihat. Aku masih di dalam ruangan,” kata Nir.
Sayang sekali, bisik Anjani, sambil terus menengadah memandang purnama yang menggantung di malam berbintang.
Ia memang tak harus menunggu ratusan purnama untuk bertemu Nir. Tidak seperti Cinta dan Rangga dalam film roman fenomenal itu. Tapi, bahkan hingga ratusan purnama terlewati nanti, Nir tak akan menjadi bagian dari hidupnya. Jadi, mana lebih buruk?
ADVERTISEMENT
Anjani segera menggusah pikiran suram yang bergentayangan di kepalanya. Setidaknya, ia bisa berjumpa Nir satu dalam 12 purnama. Tak ada jadwal pasti, tentu saja. Mereka tak lebih dari dua orang asing yang kebetulan bertemu, lalu saling mendekat terisap medan magnet lubang hitam, dan mengganggu satu sama lain.
Tapi, apa iya ada kebetulan di dunia ini, pikir Anjani, kembali sinis.
Anjani ingat purnama-purnama lain, saat ia dan Nir berencana bertemu, kemudian kandas karena ragam sebab. Kebanyakan karena kesibukan Nir yang menggunung. Anjani telah terbiasa―meski berulang kali dilibas kecewa.
Pada beberapa purnama yang tak tertahankan, Anjani melongok rekeningnya, menghitung isinya, dan jika menurutnya oke, ia akan memutar globe dan menetapkan satu tujuan, lalu memesan tiket perjalanan ke sana sambil mengatur jadwal cuti. Mencari cara menghilang ditelan purnama.
ADVERTISEMENT
Ia kerap setengah berharap tak mesti kembali dari perjalanannya. Ia bermimpi menemukan gerbang ke dunia lain yang bebas dari rasa sakit (koyakan di jantungnya kian melebar, Anjani tak tahu sampai kapan ia bisa bertahan), atau mengangankan menjumpai lorong menuju semesta paralel macam trilogi His Dark Materials Philip Pullman―yang membuatnya bisa meletakkan perih dan memulai hidup baru.
Sejauh ini, gerbang dan lorong itu belum ia temukan. Jika ia merasa sudah hampir menemukannya, waktu yang tak kenal kompromi bergegas menariknya pulang. Sungguh menjengkelkan. Dan alih-alih melepas bayang Nir dengan berkelana, bayang itu justru menguntitnya ke mana-mana.
Saat ia berada di Phnom Penh, Nir melambaikan tangan dari Chiang Mai. Saat ia menyambangi Saint Petersburg untuk mencari hantu Anna Karenina, Nir menyapa dari Praha. Ah, sama-sama pergi kenapa tak pernah bersilang jalan, pikir Anjani gemas.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, di kamarnya yang menghadap Prospekt Nevsky, jalan utama di St. Petersburg, Anjani tengah membuka lembar-lembar The Unbearable Lightness of Being karangan Milan Kundera―penulis asal Ceko―yang banyak mengambil lokasi cerita di Praha.
Ia baru mulai membaca bab pertama, tepat pada bagian pertemuan dua karakter utama kisah itu―Tomas dan Tereza―di jalanan Praha, Ceko.
She arrived the next evening, a handbag dangling from her shoulder, looking more elegant than before. She had a thick book under her arm. It was Anna Karenina.
Kepala Anjani langsung serasa dihantam. Jantungnya berdegup cepat. Ia menggenggam erat buku pinjaman seorang kawan itu, lalu mendekapnya di dada.
Praha, Nir, Milan Kundera, Anna Karenina, St. Petersburg… semua berputar-putar di benak Anjani. Ia nyaris yakin ada benang tipis terentang saling menjerat di sekelilingnya. Atau ia saja yang terlalu perasa dalam menangkap momen-momen kebetulan itu.
ADVERTISEMENT
Anjani kembali mendongak ke angkasa. Ia mulai ingin berbicara dengan bulan yang menggayut di sana―seperti Aomame-nya Haruki Murakami dalam 1Q84 (apakah kau sudah membaca novel―yang lagi-lagi menyoal semesta paralel―itu?)
Purnama malam itu agak berbeda. Mereka menyebutnya supermoon―saat bulan terlihat lebih besar dan lebih terang dari purnama biasa. Anjani menatap lama-lama bulan benderang itu, terpesona dengan kilau kuatnya.
Keesokannya, purnama masih terlihat bundar sempurna. Di bawah pendarnya, Anjani beringsut menuju kastil di sudut belantara kota. Nir menanti .
Mobil yang membawa Anjani tengah memasuki gerbang kastil, kala ia melihat purnama itu seolah membesar, dengan permukaan kian memerah.
Anjani tertegun dan menggosok mata. Warna merah makin menyelubungi bulan itu. Purnama merah.
ADVERTISEMENT
Ia memutar kunci dan melangkah masuk. Nir menyambut dengan segelas anggur merah di tangan.
***
Malam
Kepada malam senyap
yang menyimpan rahasia dalam lipatan
kubah pekat jagat
dan kepak hantu bersayap
Kau tengadah ke langit
mencari kuas tipis bening
Jemari menari menyapu hening
mengukir nama, wajah, di angkasa raya
Kepada Yang Maha Mengetahui
isi hati manusia dan lapis demi lapis semesta
Aku tak mengenal hitam dan putih
Selamanya kelabu bertakhta
Dingin angin menusuk belikat
kau meramu hangat sihir pemikat
cairan jernih dalam botol kaca tersumbat
Buka, tuang, dan beri jampi pengikat
Kepada yang menghuni relung jiwa
penggoda rupawan kiriman dewa
Kenapa larutan bermantra tak boleh kuteguk habis?
sementara bibirku kau reguk manis
ADVERTISEMENT
Helai-helai perak rambutmu berkilau tertimpa sinar redup
membawa keping-keping misteri yang rapat terkatup
Gurat keras jejak hidupmu tergores di paras
merentang sisa kisah pergumulan beringas
Aku menjelajah peta buta
mengikuti aliran sungai padang belantara
menyerahkan diri pada malam
tempat jiwa-jiwa sunyi bersemayam
Jakarta, Oktober 2016
Gambar diambil dari Pixabay dan Unsplash. Prosa dan puisi ditulis pada waktu berbeda.