Sayap Patah

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
9 Maret 2018 20:52 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
A certain type of darkness is stalling me. Under a quite mask of uncertainty, I wait for light like water from the sky. And I am lost again. ― Christina Perri, Sea of Lovers
Perempuan itu sudah satu jam lebih berbaring mengambang di tengah kolam. Ia menatap lurus-lurus bulan di atas kepalanya. Mungkin diam-diam berbicara dengan purnama yang menggantung kokoh di langit. Entah apa yang mereka bincangkan. Barangkali masa lalu, masa kini, masa depan, atau adonan ketiganya.
ADVERTISEMENT
Ker mengamati lekat-lekat perempuan itu dari tempat persembunyiannya yang aman. Ia tak berani lagi menampakkan wajah di depan si perempuan, mengingat dua pertemuan mereka yang terdahulu tak bisa dibilang mulus. Perempuan itu amat keras kepala, bahkan di ambang kematian.
Sekilas pandang, Ker tahu perempuan itu menanti maut. Ia menanti dengan tenang. Tenang yang cenderung getir. Pun meski tak tahu betul kapan ajal menjemput (dan adakah manusia yang bisa tahu persis kapan kematian akan mendatanginya?)
Bila perempuan itu burung, sayap-sayapnya telah patah. Nyawanya hilang separuh. Digerogoti hatinya yang remuk. Dikerat jantungnya yang koyak. Yang tersisa hanya kesabaran menunggu semua berakhir.
Jika kehidupan adalah lintasan masa yang panjang, maka perempuan itu tak masuk di dalamnya. Ia tak ada di mana-mana. Tak punya masa depan, tak berjalan di masa lalu, tak menapak masa kini. Masa depan akan menjadi masa lalu baginya, masa lalu ialah bayang masa kininya, dan masa kini adalah kolam kematiannya.
ADVERTISEMENT
Ia tak punya fase kehidupan. Ia mengabaikan waktu, dan pergi berlayar melintasi musim menuju telaga akhir. Bersama bayang seorang lelaki yang menjadi cinta matinya. Cinta mati yang akan membuatnya mati. Dan perempuan itu menerima nasibnya dengan tenang.
Andai dia melepas lelaki itu dari hatinya, tentu ia tak perlu pergi ke telaga akhir. Tapi ia terlampau keras kepala. Menjaga cermat belati hitam pemberian si lelaki mimpi, dan mengubah hidupnya menjadi anarki tak berkesudahan.
Ker jadi gemas. Sudah dua kali dia mencoba merebut belati hitam itu. Yang pertama mungkin kelewat kasar―dan agak meleset dari perhitungan. Mau bagaimana lagi, ia terbiasa dengan kebrutalan.
Saat itu ia melempar badik ke arah si perempuan. Ker bukannya mau melukai perempuan itu, hanya menyasar belati yang ia genggam. Kalau saja perempuan itu tak meloncat gesit, tentu badiknya akan menghantam belati milik si perempuan, dan belati itu akan terpental sejauh beberapa meter―untuk kemudian cepat ia ambil.
ADVERTISEMENT
Tapi Ker salah perhitungan. Meski kaki perempuan itu terkilir, nalurinya cukup kuat untuk menghindari bahaya. Alhasil, rencana Ker merampas belati itu gagal. Dan kali kedua ia hendak mengambil belati itu diam-diam, si perempuan lagi-lagi cepat menyadari geraknya. Namun Ker sesungguhnya telah berhasil, kalau saja Ana (atau Anna) tak ikut campur. Menjengkelkan, memang.
Anna sejak lama tak setuju dengan upaya Ker mengambil belati itu. Menurut dia, perjalanan Anjani, nama perempuan itu, menuju telaga akhir tak dapat―dan tak semestinya―dihentikan. Dan Anna menjaganya dalam senyap sepanjang pelayaran, memastikan Anjani tak lenyap sebelum tiba di tujuan.
Ker mendengus jengkel mengingat perdebatannya dengan Anna. “Bila ia tak keberatan binasa, maka biarlah. Que sera, sera,” kata Anna. Ker tak sependapat. “Sudah terlalu banyak perempuan celaka gara-gara belati yang dicuri dari Negeri Mimpi itu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Anna hanya tersenyum geli dan berkata, “Belati itu tak dicuri. Ia menemukan sendiri pemiliknya. Biarkan ia menjadi milik Anjani kini.” Baiklah, Ker tak lagi mencoba mengambil belati itu. Namun ia ganti memburu si lelaki mimpi―matahari hitam dalam galaksi Anjani. Ker berniat meledakkan bintang neutron itu.
***
Anjani tenggelam dalam kesunyian. Ia senang telah menemukan tempat itu―hening, terasing, tapi memiliki segala yang ia cari. Dan betapa kebetulan, sebab ia datang bertepatan dengan purnama raya―ketika bulan bulat penuh.
Kapan lagi ia bisa bersantai mengapung di tengah kolam seorang diri, dengan terang bulan hangat menyinari (atau air kolam itu yang hangat?) dan angan mengembara bebas ke angkasa. Anjani tak mau keluar cepat-cepat dari air yang menenangkan.
ADVERTISEMENT
Sejak dulu ia amat suka berendam, membuat tubuh sesekali terbenam. Tak ada olahraga yang ia sukai kecuali berenang, dan Anjani bisa bolak-balik ke laut puluhan kali tanpa merasa bosan tiap punya kesempatan.
Anjani kerap mengira, mungkin pada kehidupan sebelumnya ia adalah duyung. Dan si duyung jatuh cinta kepada pangeran darat yang ternyata tak bisa ia miliki, sehingga ia patah hati dan menghilang menjadi buih. Dan lingkaran itu berulang, pikir Anjani sinis.
Adalah Disney yang menciptakan kebohongan melalui frasa “Ariel and Prince Eric married and lived happily in a castle by the sea” demi mewujudkan kebahagiaan manis dalam hati bocah-bocah cilik penonton filmnya.
Oh well, tentu saja tak ada yang seperti itu. Cerita itu palsu. Anjani tahu betul kisah asli The Little Mermaid. Si penulis, Hans Christian Andersen, bukan jenis pengarang yang selalu mengakhiri cerita dengan kata-kata “happily ever after”.
ADVERTISEMENT
Lihat saja apa yang ia lakukan pada Gadis Penjual Korek Api. Ia memilih mencabut nyawa si gadis agar gadis itu mengakhiri penderitaan duniawinya, ketimbang menyadarkan orang-orang di sekeliling si gadis bahwa gadis itu butuh pertolongan.
In the dawn of morning, there lay the poor little one, with pale cheeks and smiling mouth, leaning against the wall. She had been frozen to death on the last evening of the year; and the New-year’s sun rose and shone upon a little corpse!
The child sat, in the stiffness of death, holding the matches in her hand, one bundle of which was burnt. “She tried to warm herself,” said some. No one imagined what beautiful she had seen, nor into what glory she had entered with her grandmother, on New-year’s day.
ADVERTISEMENT
Penghabisan kisah The Little Mermaid tak jauh berbeda, bahkan lebih kelam. Putri yang terancam mati karena tak mendapatkan cinta sang pangeran―yang ia selamatkan ketika kapalnya karam saat badai―padahal telah dibuatkan kaki manusia oleh penyihir laut, ditawari keselamatan apabila berhasil menikam jantung si pangeran.
Pilihannya hanya dua: ia atau sang pangeran yang mati. Dan duyung bodoh yang telah diberi belati itu memilih mati. Cinta mati membuatmu mati.
The Little Mermaid cannot bring herself to kill the sleeping prince lying with his new bride, and she throws the knife and herself off the ship into the water just as dawn breaks. Her body dissolves into foam…
Anjani membiarkan dirinya terbenam seolah ia si duyung dungu, sebelum lamat-lamat mendengar seruan seseorang dari tepi kolam.
ADVERTISEMENT
“Miss, Miss, hello Miss. What do you want for dinner? The restaurant will be closed soon.”
Anjani muncul ke permukaan air dan berenang ke tepi kolam. Ia tersenyum kepada pelayan penginapan itu, dan menjawab, “Makanan apa yang enak, ya? Kalau bisa yang berkuah.”
Pelayan itu tertegun mendengar Anjani menyapa dalam Bahasa Indonesia. “Saya pikir Nona orang India, sebab sore tadi saya lihat Nona mengobrol dengan tamu dari India. Dan wajah Nona juga keindia-indiaan.”
Anjani tertawa. “Oh, saya berkenalan dengan pasangan India itu. Mereka ramah.”
Pelayan itu mengangguk-angguk. “Saya harap Nona senang tinggal di sini, dan semoga tahun depan bisa ke sini lagi.”
Anjani tersenyum, meski tak tahu apakah tahun depan ia bakal sekadar mengambang di kolam, atau terjun ke laut seperti duyung berkaki manusia yang lalu menjadi buih itu.
ADVERTISEMENT
***
Nir tertegun melihat foto-foto unggahan Anjani. Laut, laut, laut. Belakangan ia sering bepergian.
“Kamu pergi sama siapa? Cuti lagi?” sapa Nir lewat pesan singkat.
Dua jam kemudian, pesan itu baru dijawab. “Plus mengambil jatah libur yang tertunda.”
“Sendiri?” ujar Nir, masih tergelitik rasa penasaran.
Anjani menangkap sedikit aroma cemburu. Ia menjawab, “Iya, sendiri. Aku kan nggak suka ramai-ramai. Kenapa, sih?”
Nir menjawab cepat, “Aku cuma tanya.”
Entah kenapa, Anjani jadi jengkel. Bagaimana bisa ia tertawan lelaki ini. Mungkin di purnama berikutnya, ia akan berubah jadi serigala dan menggunakan taringnya untuk mencabik Nir, supaya dia tahu rasanya seperti apa punya jantung terkoyak.
Tapi Anjani tahu, ia duyung dungu. Alih-alih mencabik Nir, hatinyalah yang akan tercabik dan ia berakhir buih di lautan.
ADVERTISEMENT
Anjani menggenggam ponsel sambil duduk di lantai kayu kamarnya. Ia memangku belati hitamnya, dan seperti mencium bau darah.
Nir mengakhiri percakapan. “Aku mau boarding. Kamu hati-hati di sana, ya.”
Anjani ganti bertanya, “Ke mana lagi sekarang?” “Kopenhagen,” jawab Nir.
“Ah, mau bertemu Hans Christian Andersen rupanya,” seloroh Anjani. “Ok, safe flight.”
Ia meletakkan ponsel dan membungkus kembali belatinya dalam beledu merah.
Belum saatnya. Belum. Sedikit lagi.
***
Rindu
kamu tahu apa itu rindu? ketika memandangmu tak jemu meski kau di seberang waktu meski kau di balik keruh kelambu
kamu tahu apa cinta tanpa syarat? ketika kau kuhargai 24 karat lalu kubawa bayangmu tanpa berat ke manapun langkahku mendarat
ADVERTISEMENT
kamu tahu apa itu jarak? ketika hatiku berderak mendengarmu merintih serak tanpa kubisa memberimu arak
kamu tahu apa itu asa? ketika kau melintasi masa hingga sepuluh dasawarsa tanpa hasratmu kedaluwarsa
kamu tahu apa itu pedih? ketika kau mendambanya berlebih benakmu tak bisa berpikir jernih tapi kau menahan semua rasa hingga jantung mendidih
kamu tahu apa itu fatamorgana? ketika kau berkelana mengejar belahan jiwa hingga sabana lalu melihatnya lenyap ditelan gerhana
kamu tahu apa itu kelam? ketika kau dalam menyelam ketika kau berteriak di tebing malam dan dia tetap sosok maya yang diam
kamu tahu siapa aku? yang selalu mengingatmu meski gelombang menyapu pantulanmu meski mati dan hidup dan mati dan hidup lagi mesti kulalui untukmu
ADVERTISEMENT
Jakarta, Februari 2017
Gambar diambil dari Pexels dan Unsplash. Prosa dan puisi ditulis putus-sambung pada waktu berbeda.