Konten dari Pengguna

Si Mbah dan Kutukan Insomnia

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
28 Desember 2017 17:26 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Si Mbah dan Kutukan Insomnia
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ia tampak kurus kering, tulang berbalut kulit. Tubuh ringkih, pendengaran tak lagi sempurna, tapi berjalan kuat saja. Untuk perempuan berusia 83 tahun, bagi saya ia terlihat baik dan sehat--terlepas dari obat (minimal tiga jenis) yang mesti rutin ia konsumsi.
ADVERTISEMENT
“Jam segini biasanya waktu Mbah istirahat, mboten?” tanya saya--yang beberapa detik kemudian saya ulangi dengan intonasi lebih tinggi, karena si Mbah tak mendengar ucapan saya bila saya tak setengah berteriak seperti orang marah.
Setelah si Mbah ngeh apa yang saya tanyakan, ia menjawab cepat, “Nggak ada waktu tertentu buat istirahat. Kadang malam pun cuma tidur satu jam. Susah tidur. Awak rasane ra penak.
Saya bertanya lagi, “Insomnia?”
Si Mbah mengangguk. “Aku iki insomnia ket enom, dari 21-22 tahun. Lek insomnia, mbiyen aku mesti digowo nang Suroboyo, ke dokter-dokter Belanda. Aku sik eling jeneng-jenenge lan rupane dokter-dokter Londo kuwi.
Saya tersenyum, meski heran bagaimana ia bisa terlihat cukup sehat dengan insomnia mendera tiap malam. Si Mbah sendiri tampak tak sadar tampilannya bugar. Ia tak nyaman dengan badannya sendiri, merasa ada yang salah dengan bagian-bagian tubuhnya di sana sini.
ADVERTISEMENT
“Aku wes kakehan penyakit. Wes operasi ginjal, paru, tumor. Kok nggak ndang dipundut wae ben gak ngerepoti wong,” kata si Mbah, mengeluhkan ajalnya yang belum juga datang.
Saya jadi bingung mau bicara apa. Pun saya tak mahir menghibur orang, apalagi orang sepuh yang sudah ingin mati.
“Aku ini sudah minum banyak obat, tapi penyakit malah tambah banyak. Kulit selalu gatal-gatal meski sudah dikasih obat gatal, awak mambu apek,” ujar si Mbah lagi.
Saya makin bingung, soalnya saya tak mencium bau apak dari badan si Mbah. “Mboten mambu kok, Mbah,” kata saya dengan dahi berkernyit.
Tapi ya mungkin indra penciuman si Mbah dan saya berbeda. Bisa jadi hidung saya kurang peka karena terlalu sering terpapar polusi ibu kota; dan si Mbah yang sudah hidup puluhan tahun dengan aroma tubuhnya, hafal betul saat bau badannya itu berubah.
ADVERTISEMENT
Bila pun aroma apak--bau tak sedap karena lapuk--benar menguar dari tubuh si Mbah, rasanya kok tak aneh. Sebab raga rentanya memang sudah usang, layaknya orang-orang sepuh lain.
Saya lalu menghitung-hitung kapan kiranya si Mbah lahir. Tahun ini, 2017, dikurangi 83 tahun usia hidupnya hingga kini. Jadi, si Mbah kira-kira lahir tahun 1934 atau 11 tahun sebelum Indonesia merdeka.
Dan ia mulai terserang insomnia sekitar tahun 1955, di awal usia 20-an. Pada umur semuda itu, ia sudah berkeluarga, seperti juga banyak perempuan lain yang kawin cepat di masa itu.
Si Mbah dan Kutukan Insomnia (1)
zoom-in-whitePerbesar
Lagi-lagi insomnia. Banyak sekali sih orang dengan problem itu, dan saya jadi merasa beruntung karena sekarang jarang terkena insomnia. Pernah memang dulu di masa remaja, tapi saat ini bisa dihitung jari.
ADVERTISEMENT
Bagaimana mau insomnia, kalau kepala kena bantal langsung terlelap. Alih-alih insomnia, saya lebih seperti Papa Setya Novanto yang gampang tidur.
Badan penat, tidur. Kepala pusing karena duit kurang, tidur. Hati kesal karena pekerjaan tak rampung-rampung, tidur. Pokoknya buat saya: tidur adalah solusi segala.
Bukan berarti dengan tidur semua masalah dunia selesai. Tapi, tidur itu sangat efektif untuk menghalau energi negatif. Setidaknya buat saya yang bukan makhluk nokturnal yang beraktivitas pada malam hari.
Berkebalikan dengan kaum nokturnal, saya golongan diurnal yang beraktivitas di siang hari. Jadi, insomnia jarang menyerang, kecuali hati sedang gundah bukan main, atau mendadak depresi karena hal tertentu (kadang ini tak terelakkan meski syukurnya masih selalu bisa diatasi).
ADVERTISEMENT
Nah, resah dan depresi itu memang terkait erat dengan insomnia alias susah tidur. Penyebab lain adalah kurang olahraga dan memiliki penyakit kronis. Insomnia biasanya mulai banyak terjadi pada usia remaja, dan paling banyak menimpa mereka yang berada pada usia produktif hingga sepuh.
Bila si Mbah terserang insomnia mulai umur 20-an awal, teman saya terkena insomnia--yang dibarengi skizofrenia--pada akhir usia 20-an. Hmm, mungkin itu rentang usia berbahaya bagi sebagian orang, termasuk saya. Saat ragam pikiran berperang dan berkecamuk di benak.
Bedanya, jika insomnia membuat teman saya menggemuk--meski itu tentu bukan faktor tunggal penyebab ia gemuk, hal itu tak berpengaruh pada si Mbah. Si Mbah tetap kurus ringan ringkih.
Memang apa hubungannya insomnia dengan gemuk? Hmm, jadi begini...
ADVERTISEMENT
Menurut sebuah artikel di Telegraph, 8 surprising ways insomnia affects your body, insomnia antara lain menyebabkan kegelisahan meningkat, marah tanpa alasan, sulit konsentrasi, dan nafsu makan berlebih.
Jangan-jangan, itu pula salah satu sebab saya menggendut. Sebab, meski tak insomnia, waktu tidur saya tak bisa dibilang teratur dan cukup, tapi sungguh amburadul, membuat saya mesti “disuntik” kafein tiap pagi dan sore untuk menopang daya pikir, menjaga konsentrasi, dan menghindari mata terkatup.
ADVERTISEMENT
Oke, tapi si Mbah jelas-jelas tidak gemuk. Ia pengecualian. Mungkin tak semua kasus dapat dipukul rata. Dan si Mbah memang tak pernah gemuk, dari muda sampai sekarang. Mengurus iya, menggemuk tidak.
Ia kini seperti orang tua yang tak sabar menanti maut. Tak heran sih, sebab dua saudari dan suaminya sudah lebih dulu pergi menjemput abadi. Suaminya bahkan pergi sejak lama. Ia mati muda, saat usia Mbah Putri 31 tahun. Artinya, saat itu 1965--salah satu tahun paling berdarah dalam sejarah Indonesia. Katanya, Mbah Kakung sakit jantung.
Jadi, anak-anak si Mbah yang empat orang--tiga putri dan satu putra yang paling bungsu--tak terlalu mengenal seperti apa ayah mereka. Setelah sang ayah tiada, mereka berempat dibesarkan bersama oleh Mbah Putri beserta dua saudarinya.
ADVERTISEMENT
Untungnya, bocah-bocah itu cerdas. Banyak yang dapat beasiswa sejak bangku sekolah hingga perguruan tinggi. Jadi buat mereka, kuliah apa tak jadi soal. Yang penting: universitas dan jurusan apa yang menyediakan beasiswa. Sudah, begitu saja.
Itu juga kenapa, mungkin, banyak di antara mereka yang memilih menjadi pegawai negeri sipil. Hidup PNS relatif stabil terjamin (negara). Dapat gaji tetap, tunjangan, tidak terancam pemutusan hubungan kerja macam pegawai swasta. Pokoknya abdi negara tulen, tenang dalam naungan pemerintah Republik Indonesia. Kira-kira begitulah.
Pikiran semacam itu tak aneh mengingat latar belakang keluarga mereka yang serbasulit di masa lampau. Bagaimana tidak, jika sejak kecil anak-anak itu tak lagi berayah. Semua harus bisa mandiri, sebab ekonomi keluarga pas-pasan.
ADVERTISEMENT
Bila bikin dadar saja misal, telur cuma satu tapi ditaburi tepung banyak, supaya itu dadar gemuk, mengembang, berisi, dan bisa dibagi-bagi untuk seluruh anggota keluarga. Cerita semacam itu mungkin banyak ditemui pada zaman dahulu.
Kondisi susah pada masa lalu sepertinya sedikit banyak berdampak secara psikologis kepada si Mbah, meski ia sendiri amat mungkin tak sadar. Ia jadi banyak pikiran, cenderung terus resah, dan mencemaskan hal-hal yang sebetulnya tak perlu.
Ah iya, namanya Mbah Kus. Ia Mbah Putri saya. Setelah saya pikir-pikir, ia panjang umur betul. 83 (tahun) bukan angka yang sedikit. Ia sudah hidup delapan dekade, dan punya enam cucu serta enam cicit.
Si Mbah dan Kutukan Insomnia (2)
zoom-in-whitePerbesar
“Wah, coba Mbak Anggi datangnya kemarin, bisa ketemu Fira. Fira sudah kembali ke kampus sekarang,” kata si Mbah.
ADVERTISEMENT
Saya nyengir saja, sambil berkata, “Gampang Mbah, aku bisa nyambangi kosan dia sembari pulang. Nanti tinggal SMS (maksud saya sesungguhnya WhatsApp).”
Si Mbah tetap tampak menyesalkan ketidaksinkronan jadwal kedatangan saya dan Fira, sepupu saya itu. Mungkin ia pikir, lebih enak semua bertemu langsung di bawah satu atap. Sementara kami yang berbeda generasi, tak terlalu pusing dengan itu, sebab komunikasi mudah saja sekarang. Bisa telepon, SMS, WhatsApp, video call. Tinggal pilih.
Saat saya datang, si Mbah tak langsung ingat wajah saya. Dia semula tak ingat sama sekali siapa saya. Lagi pula, bagaimana mau ingat kalau saya memang jarang datang menjenguk.
Barulah saat anak sulungnya, bude saya, memberi tahu siapa saya, si Mbah berangsur ingat. Ia lalu menanyakan kabar adik-adik saya.
ADVERTISEMENT
Selain keluhan-keluhan tentang penyakitnya--yang saya tak ingat satu per satu, si Mbah bisa berjalan dengan sempurna. Memang sesekali dipapah salah satu putrinya, tapi untuk nenek sepuh berusia 83 tahun, menurut saya fisiknya cukup sehat.
Semisal, dibandingkan dengan mertua saya yang berusia di akhir 70-an dan kini sulit berjalan tanpa bantuan, usai jatuh beberapa waktu lalu. Tapi, si mamak mertua yang parasnya mirip putri saya--yang galak--itu tetap terlihat kokoh bak karang, walau kesulitan hidup macam apapun menerpa.
Well, menyambangi para tetua memang membuat pikiran saya lari ke sana ke mari. Apalagi saya jarang-jarang mengunjungi mereka.
Si Mbah dan Kutukan Insomnia (3)
zoom-in-whitePerbesar
Insomnia seperti si Mbah? Ah, semoga saya tak sering-sering mengalaminya. Kata Christopher Winter, penulis The Sleep Solution: Why Your Sleep is Broken and How to Fix It, ada beberapa kiat yang patut dicoba untuk menghindari insomnia, di antaranya: rileks, tidur dalam kondisi temaram atau gelap, mandi air hangat.
ADVERTISEMENT
Untuk dua yang terakhir, saya kerap melakukannya. Dan mungkin itu sebabnya saya jadi “Putri Tidur” alias gampang tidur. Padahal kadang, saya ingin bisa tak cepat mengantuk supaya sempat membaca buku.
Saya selalu kagum pada mereka yang di sela kesibukannya, bisa disiplin meluangkan waktu untuk membaca. Tapi saya belum bisa begitu--dan tetap berharap bisa begitu.
Kalaupun saya bangun di sepertiga malam terakhir, saya biasanya langsung bekerja--entah mengedit, entah mengetik. Sehingga waktu membaca tetap terpinggirkan.
Bahkan bila sebelum tidur saya membawa buku dengan niat untuk dibaca santai barang satu jam, baru 5-15 menit saja, saya sudah tertidur pulas. Buku, bagi saya, mungkin malah jadi semacam instrumen untuk tidur cepat.
Lah, saya kok jadi ngomong ngalor ngidul begini, ya? Apa sih sesungguhnya yang saya tulis? Well, apa sajalah, suka-suka hati, mumpung bisa.
ADVERTISEMENT
Eh, saya sudah ditunggu Fira. Ok, see ya in another story ;)
***
Semua gambar ilustrasi pada cerita ini diambil dari Unsplash.