Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.9
Konten dari Pengguna
My Schizophrenia Friend
26 Desember 2017 15:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Satu hari beberapa tahun lalu, seorang teman kuliah di Jember berkirim pesan singkat via WhatsApp yang isinya cukup bikin kaget, semacam “Nggi, tolong adikku. Dia dalam bahaya. Tolong hubungi polisi. Kamu kan wartawan, punya banyak kenalan polisi.”
ADVERTISEMENT
Saya, sambil menggerundel dalam hati, “Sejak kapan gue punya banyak kenalan polisi”, menghubungi adik teman saya itu--yang bekerja di Jakarta seperti saya, mengecek apakah benar dia dalam bahaya, dan bahaya apa gerangan yang dimaksud.
Hasilnya: sang adik baik-baik saja, sehat walafiat tak kurang apapun.
Tapi dari situ saya jadi tahu: yang tak sehat adalah kakaknya--teman saya yang brilian semasa kuliah.
***
“Aku harus minum obat setiap hari, sebelum tidur malam, buat menenangkan diri, menstabilkan emosi,” kata teman saya itu ketika saya mampir ke rumahnya semalam, mumpung sedang di Jember menyambangi keluarga.
Obat apa persisnya, saya tak tahu dan tak berminat bertanya detail bak petugas medis. Yang jelas, kata teman saya, itu obat skizofrenia, resep dari dokter.
ADVERTISEMENT
Ya, teman perempuan saya itu didiagnosis skizofrenia--penyakit jiwa yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir dan merasa, kerap ditandai oleh halusinasi.
Menyitir hasil pencarian via Google, penyebab pasti skizofrenia tak diketahui pasti. Bisa karena perubahan senyawa kimia pada otak, misal. Tapi kenapa senyawa kimia itu berubah, entahlah, saya tak ahli soal kejiwaan meski merasa punya potensi sakit jiwa.
Pada orang yang menderita skizofrenia, ia dihinggapi realitas palsu--mengalami dan merasakan sesuatu yang sesungguhnya tak nyata alias berhalusinasi, yakni pengalaman indra tanpa adanya perangsang pada alat indra terkait. Contoh paling banyak ditemukan--pun pada teman saya: mendengar suara tanpa ada sumber suara.
“Kadang aku dengar suara ‘Kuwi jupuken lading (ambil pisau itu),’ terus aku ngomong sendiri atau teriak-teriak ‘Lading, lading, endi lading (pisau, pisau, mana pisau)? Kalau sudah begitu, mamaku langsung bilang, ‘Minum obatnya ya, segera minum. Istigfar,’” kata teman saya, bercerita seperti apa semisal suara-suara di kepalanya sedang muncul.
ADVERTISEMENT
Mendengar ceritanya, saya sontak trenyuh. Tak bisa membayangkan bagaimana ia--si sulung yang dulu mandiri, cemerlang, dan bisa diandalkan dalam hal apapun--mendadak mengalami ketidakstabilan emosi.
Saya tercenung, berpikir betapa jalan hidup manusia sungguh tak terterka. Dan tolong, jangan buru-buru bergunjing atau menghakimi jika tak tahu akar masalah.

“Aku mulai dengar suara-suara itu tujuh tahun lalu, tahun 2010,” kata teman saya.
“Wah, sudah cukup lama,” bisik saya, sambil mencoba mengingat, sedang sibuk apa saya tahun 2010 itu.
Ah ya, itu tahun ketika putri saya lahir, dan saya mulai dilatih menjadi asisten redaktur. Tahun yang sibuk, seperti juga tahun-tahun setelahnya, pun hingga kini.
Pekerjaan memang menyita waktu dan kehidupan. Tapi di sisi lain, mungkin, (rutinitas) itu pula yang membuat kewarasan saya terjaga--meski garis batas tipisnya bisa berayun cepat ke arah kejemuan akut yang bikin depresi.
ADVERTISEMENT
Sedihnya, ternyata, di tahun-tahun sibuk itu, seorang kawan jatuh dalam tekanan mental tanpa uluran tangan memadai. Sahabat-sahabat dekatnya, termasuk saya, sudah berpencaran ditelan aktivitas dan rutinitas padat.
Kehidupan memang jarang semanis madu, saya tahu. Tapi tak bisa membantu sahabat sendiri sungguh membuat mati kutu.
Bukan cuma tak bisa membantu, saya bahkan tak bisa langsung membalas kala teman saya itu berkirim pesan singkat. Padahal, dia butuh seseorang untuk berbagi cerita.
“Nggak apa-apa, Mbak. Pasti semua orang sibuk,” kata mamanya, ketika saya bertamu dadakan samalam.
Ia sesekali mengawasi putri sulungnya--yang berbincang dengan saya--dari balik kelambu. Sekadar memastikan semua baik.
Teman saya itu, semasa kuliah, amat ambisius. Ia punya mimpi tinggi, dan tahu punya modal cukup untuk mewujudkannya. Tapi di sisi lain, ia juga harus mengurus keluarganya. Ayahnya tak sehat (kini almarhum), dan adiknya agak ringkih.
ADVERTISEMENT
Dia, teman saya itu, selalu memprioritaskan keluarga. Well, saya sudah bilang, dia anak yang sungguh bisa diandalkan dan bertanggung jawab.
Hingga mungkin, pada satu titik, semua terasa “penuh” di kepalanya, dan mulailah halusinasi datang menerjang.
Ia tidak gila, jangan salah. Skizofrenia, seperti saya kutip dari berbagai sumber, mungkin membuat ucapan dan perilaku seseorang menjadi tidak teratur karena daya ingat dan konsentrasi terganggu, tapi bukan berarti ia gila macam hilang ingatan.
Ingatan teman saya itu bahkan amat baik, meski mungkin terkadang terlalu tajam pada hal-hal tertentu yang bernuansa negatif baginya.
Wahyuni Susilowati dalam tulisannya di Kompasiana, Skizofrenia Bukan Gila, Bung!, mengutip ucapan Bagus Utomo pendiri Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia, bahwa skizofrenia--yang muncul akibat kerusakan parah susunan sel syaraf otak--adalah penyakit yang bisa disembuhkan atau setidaknya dikendalikan pada ambang wajar.
ADVERTISEMENT
Namun, tak sedikit penderita skizofrenia yang tak menerima kenyataan ia tengah sakit, sehingga ia menolak menjalani pengobatan atau putus pengobatan. Tak jarang--dan ini yang memperburuk situasi: ia dikucilkan.
Memang, kadang maksud hati bukan hendak mengucilkan, hanya tak tahu mesti berbuat apa menghadapi ceracau penderita skizofrenia yang halusinasinya sedang kambuh. Sama, saya pun begitu.
Baru berpikir hendak menyusun kalimat apa yang tepat untuk membalas WhatsApp janggal sahabat saya, kesibukan menghantam menimbun, hingga akhirnya saya lupa membalas, atau sepekan sesudahnya baru membalas.

“Nggi, aku tunjukkin gambar. Ini nih, cowok yang aku suka. Tapi dia sekarang di Medan, dan dia udah punya pacar di sana,” katanya lagi.
Saya melihat foto seorang lelaki yang di-print di selembar kertas HVS putih, menghela napas, lalu--sembari berupaya berkelakar santai--bicara tegas:
ADVERTISEMENT
Kalau begitu, jangan sering lihat foto dia, ya. Nanti kamu kepikiran terus. Bisa baper, masuk ke hati. Sudah, gambarnya ditaruh saja.
Saya bicara demikian sambil melipat kertas putih itu, dengan wajah lelaki pujaannya tertekuk dalam lipatan.
Untunglah dia tak marah atau kesal. Dia kemudian menunjukkan hasil karyanya--puisi untuk sang lelaki idaman yang tak tergapai.
“Nggi, kamu suka nulis puisi kan? Aku paling suka ceritamu yang judulnya ada ‘jingga’-nya. Apa ya? Topeng Jingga? Patung Jingga?”
“Memahat Arca Jingga,” kata saya, tersenyum.
“Ah iya, itu. Bagus. Aku juga punya puisi. Aku bacain, ya.”
Dia lalu membuka diary-nya dan mulai membaca puisi untuk lelaki mimpinya. Panjang sekali, dan dalam Bahasa Inggris--yang seperti bahasa ibu baginya, sebab ia sempat menghabiskan masa kecil di Australia, ikut sang ayah yang dulu berkuliah di sana.
ADVERTISEMENT
Diary atau buku harian adalah benda penting dalam hidupnya kini.
Sama seperti saya yang harus menulis (mengetik, tepatnya) untuk “membuang” energi negatif atau menyalurkannya melalui medium yang pas, ia pun demikian. Diary jadi salah satu instrumen yang membantu.
Buku hariannya yang tebal terlihat sudah penuh coretan tangan sampai halaman akhir. “Kamu harus ganti buku baru,” celetuk saya.

Pada titik tertentu, saya melihat diri saya padanya. Sebetulnya, sejak kuliah, kami relatif mirip--ambisius dan perfeksionis. Itu pula sebabnya dalam kelompok belajar kami (entah bagaimana itu terbentuk, namun secara natural kami kerap berkumpul berenam), saya dan teman saya itu kerap jadi “tumpuan harapan” jika kami dapat tugas presentasi atau diskusi.
Dan sampai sekarang, teman saya itu masih memantau kelima teman segrup masa kuliahnya. Kadang ia mengunggah foto kami saat masih bersama--yang sialnya, saat kami sedang santai di kosan mengenakan tank top.
ADVERTISEMENT
Saat menemukan foto itu beredar di timeline media sosialnya, saya gemas dan cemas, tapi akhirnya masa bodoh. Sebab meski foto itu sebetulnya bukan untuk konsumsi publik, ia sama sekali tak berniat buruk. Ia hanya sedang kangen teman-temannya dan mengenang masa lalu--kebersamaan kami yang asyik dulu. Sudah, begitu saja.
“Aku lihat foto kamu di Rusia, dan foto Reancy di Amerika. Hebat deh,” katanya kemarin, sambil menyebut nama salah satu anggota kelompok kami yang sekarang di Jakarta dan kerap bertemu atau bepergian dengan saya.
Saya termangu, dan berucap, “Ah, itu bukan apa-apa. Aku cuma pergi sebentar ke Rusia, dan Reancy kebetulan ada omnya di Amerika. Jadi semacam kunjungan keluarga.”
“Ada juga foto kamu dan Reancy di Bali,” katanya. Saya menjawab, “Ah ya, itu sudah lama, tiga tahun lalu. Kami kebetulan sama-sama ke Ubud Writers & Readers Festival, dan saat mau kembali, Gunung Rinjani meletus. Alhasil, terjebak di Bali dan extend bersama, deh.”
ADVERTISEMENT
Teman saya itu rupanya cukup intens mengamati media sosial kami, meski mungkin tak ingat persis tanggal tiap kejadian yang ia lihat via medsos.
Pembicaraan lalu lari ke pencapaian-pencapaian para kawan di masa kini. Dan saya dengan halus menggiring ke sejumlah kisah di balik layar: tak semua sebagus kelihatannya. Masing-masing punya deretan kegagalan, dan mimpi-mimpi yang tidak (atau belum) tercapai.
“Jalan orang beda-beda. Nggak perlu semua dipikir serius atau dimasukkan ke hati. Kalau nggak begitu, nanti kita pusing sendiri, karena masalah nggak bakal habis. Berkurang belum tentu, bertambah pasti,” kata saya, sok bijak.
Dalam hati saya misuh-misuh dan merutuki diri sendiri, “Kayak gue udah bener aja.” Soalnya saya tahu pasti, hidup saya sendiri semrawut, dan kepala saya berisi benang kusut.
ADVERTISEMENT
Sungguh, saya seperti bisa merasa apa yang ia rasa, sebab sifat kami sebetulnya begitu serupa. Rasanya semacam… kenapa semua melaju cepat, sedangkan aku diam di tempat?

Tahun lalu, tepatnya Juli 2016, beberapa bulan setelah saya curiga teman saya itu tak sehat, adiknya membuat pengumuman mengejutkan di media sosial dalam dua bahasa--Indonesia dan Inggris, mengingat sejumlah kawan mereka berasal dari luar negeri:
My sister has been diagnosed with severe insomnia for 5 years. Last December (2015), she relapsed til hospitalized. Then in March, she collapsed. She was diagnosed with Guillain-Barre Syndrome (GBS). This is considered rare in Indonesia, and it attacks the immune and nerve systems til the patient is paralyzed.
ADVERTISEMENT
She passed the 10 critical days but the doctor says she will need to do physiotherapy for nearly a year… Today, she can walk slowly even though she looks frail. However, the medication from her insomnia and GBS has its side-effects. She sometimes suffers paranoia, hallucination, and memory loss.
If you have been contacted by her in the past few weeks and she tells you she is panicking because she cannot find me, then this is the reason.
***
Teman saya itu kini tak lagi menggunakan kursi roda. Fisiknya sehat, dan ia bergerak berjalan lincah. Hanya, suara-suara itu kadang masih mengganggunya, dan ia rutin meminum obatnya untuk mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam diri.
ADVERTISEMENT
“Kamu capek nggak nih, aku bertamu malam?” tanya saya dengan rasa bersalah.
“Nggak, tidurku malam sekali, kok. Kadang jam satu malam (dini hari) baru tidur, habis minum obat. Masih insomnia,” jawabnya.
Saya termenung lagi, teringat dengan salah satu cerita yang saya tulis, Dua Dunia, yang di dalamnya menyinggung tentang skizofrenia--yang sesungguhnya itu racikan antara goresan fiksi dan pengalaman pribadi si penulis: saya.
Betapa kebetulan.

“Adikmu gimana kabarnya, Nggi?” tanya dia.
Nah kan, daya ingatnya amat kuat. Dia ingat saya punya dua adik perempuan gembul (ya, lebih gembul dari saya), dan salah satunya terkena lupus--penyakit ketika sistem kekebalan tubuh berbalik menyerang jaringannya sendiri.
Saya menjawab, “Baik semua. Yang nomor satu juga baik. Tetap minum obat rutin setiap hari, tapi sehat asal tak terlalu kecapekan.”
ADVERTISEMENT
“Nggak bisa sembuh?” tanyanya, lagi.
“Nggak bisa, tapi bisa dikendalikan dan harus kontrol teratur,” jawab saya.
Tiba-tiba, segala penyakit “aneh-aneh” itu berputar-putar di kepala saya: punya teman dengan Guillain-Barre Syndrome + skizofrenia + insomnia akut, adik lupus, teman lain di Jakarta depresi, dan... saya sendiri belum tentu waras benar, kan?
Tapi, seperti kata orang, “Kalau semua serba-mudah, bukan hidup namanya.”
Entahlah, yang jelas saya berdoa semoga teman saya itu diberi kesehatan dan ketenangan diri--hal yang mewah bagi sebagian orang.
Saya tak perlu menyebut namanya. Teman-teman sekampus, terutama yang seangkatan dan sejurusan dengan kami, sudah pasti tahu siapa dia.
“Dia perlu teman untuk jalan dan ngobrol, yang sama-sama muda,” kata mamanya, dalam pesan singkat kepada saya, sehari usai saya berkunjung.
ADVERTISEMENT
Dan izinkan saya mengulang lagi ucapan adik teman saya itu tahun lalu:
Jika anda sedang mudik ke kota kecil bernama Jember, mohon luangkan waktu 1-2 jam untuk mengunjunginya… Dia hanya butuh teman untuk mengobrol dan tertawa.

Post Scriptum:
- Catatan ini saya tulis untuk semua kawan seangkatan saya di Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember di manapun kalian berada. Salam sayang.
- Gambar-gambar ilustrasi pada tulisan ini diambil dari Pixabay.