Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Saya Kanker Tiroid dan Saya Sudah Vaksin COVID-19
7 September 2021 12:58 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Anggita Aprilyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
September 2017, saya divonis menderita kanker tiroid. Empat tahun kemudian, 2021, ketika pandemi telah melanda, muncul pertanyaan atas kondisi saya: Bolehkah saya—penderita kanker tiroid—disuntik vaksin COVID-19?
ADVERTISEMENT
Saya menanyakan pertanyaan tersebut ke dokter pada Desember 2020 meskipun waktu itu belum ada vaksin corona masuk ke Indonesia. "Boleh vaksin, tapi sebelum vaksin kamu harus tes darah dulu," kata dokter onkologi yang merawat saya.
Vaksin telah masuk ke Indonesia pada Januari 2021. Presiden Joko Widodo jadi orang pertama yang mendapatkan suntikannya.
Pada Februari 2021, Kementerian Kesehatan menggelar vaksinasi gelombang pertama khusus untuk wartawan. Saya dan seluruh wartawan kumparan lain akan mengikuti vaksinasi ini.
Pertanyaannya: Amankah saya divaksin? Begini jawaban dokter:
Thyroglobulin adalah jenis protein yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid di leher bagian depan. Protein menjadi bahan dasar hormon tiroid dan berperan untuk mengatur metabolisme tubuh.
Untuk mengatur thyroglobulin, saya harus minum obat Thyrax setiap hari—bahkan mungkin selama sisa hidup saya ke depan. Kenapa? Karena kedua Tiroid saya sudah diangkat, dan di sanalah tempat induk kanker saya hidup.
ADVERTISEMENT
Kembali ke vaksinasi, hari H pun tiba.
Orang yang akan divaksin disarankan untuk tidur cukup. Saya malah tidak bisa tidur dan hanya tidur dua jam saja. Ini membuat tensi darah saya melonjak menjadi 170, untung saja masih di bawah batas maksimal (180).
Jam setengah 6 pagi saya sudah mengantre di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Selatan. Urusan administrasi seperti KTP dan Kartu Pers telah beres.
Kepada suster dan dokter yang memeriksa tensi darah saya, saya menyebutkan bahwa saya menderita kanker tiroid—sekaligus menanyakan apakah saya boleh lanjut vaksin.
Suster itu menanyakan surat dari dokter yang membolehkan saya vaksin, tapi saya tidak punya. Alhasil, percakapan WhatsApp saya dengan dokter itulah yang menjadi pengganti suratnya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya saya disuntikkan Vaksin Sinovac untuk pertama kalinya.
Ada "masa observasi" dalam setiap vaksin, yaitu menunggu selama 30 menit untuk berjaga-jaga siapa tahu ada gejala parah usai vaksinasi. Alhamdulillah, saya tidak bergejala berat: Hanya mengantuk dan lapar.
Vaksinasi kedua, dua pekan kemudian, sama saja. Alhamdulillah.
Setelah mendapatkan dua suntikan vaksin itu, saya ke RS St Carolus, Salemba, untuk menemui dokter onkologi saya.
Sang dokter menjelaskan, bahwa penderita kanker yang tidak boleh divaksin itu adalah mereka yang masih rutin treatment nuklir. Saya diperbolehkan karena saat ini hanya menjalani perawatan rutin tanpa nuklir.
Tahun depan jadi tahun kelima saya sebagai cancer survivor, doakan selama perjalanan menuju angka 5 itu tidak ada kekambuhan atau penyebaran kanker lagi. Dokter saya bilang, kalau tahun kelima bersih, saya dinyatakan sembuh dari kanker!
ADVERTISEMENT
Buat teman-teman, jangan takut vaksin ya!