Ritual Pemakaman dan Festival Peringatan Jepang, Osougi dan Kijitsu

Anindya
Mahasiswi di Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
2 April 2024 8:43 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anindya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jepang dikenal memiliki ritual pemakaman yang khas diikuti festival peringatan kematian. Kematian merupakan hal yang tidak terduga bagi banyak orang. Seseorang mungkin akan memiliki perasaan bahwa seseorang akan mendekati ajalnya, sedangkan seseorang lain tidak tahu menahu mengenai ajal orang lain. Melewati masa-masa setelah kepergian seseorang juga bukan merupakan hal yang mudah. Biasanya, keluarga orang yang telah pergi akan saling membantu dalam duka yang meliputi perasaan semua orang. Hal ini dilakukan agar mereka yang ditinggal pergi tidak berlarut-larut dalam perasaan duka sehingga mengganggu keseharian dan jalannya kehidupan orang itu sendiri. Jepang adalah negara dengan jumlah kematian yang lebih tinggi dibanding angka kelahiran. Pada tahun 2021, dilaporkan jumlah kelahiran menurun hingga 831 ribu kelahiran, terhitung kurang dibanding dengan jumlah kematian yang melampaui 1,44 juta jiwa di tahun yang sama.
ADVERTISEMENT
Penyebab kematian di Jepang yang paling utama adalah stroke, penyakit jantung, serta kanker. Stroke menjadi salah satu penyebab kematian terbesar karena metode konsumsi dan diet masyarakat Jepang yang cenderung rendah lemak, tetapi mengandung kadar garam tinggi. Namun dewasa ini, jumlah penderita stroke makin berkurang. Ini bisa dikaitkan dengan metode diet yang mulai berubah dari konsumsi garam yang berlebih, menjadi diet konsumsi makanan dengan kadar garam rendah.
Di Jepang, cara seseorang menghadapi kematian orang lain mungkin berbeda dari tradisi di negara lain. Tradisi pemakaman di Jepang tetap meliputi kegiatan yang biasa ditemui dalam tradisi pemakaman pada umumnya, seperti datang mengunjungi keluarga yang berkabung untuk menyampaikan belasungkawa, mengucapkan salam perpisahan atau selamat tinggal pada jenazah mendiang sebelum dikremasi atau dikebumikan, lantas memperingati kematian mendiang setelah beberapa masa berlalu. Cara kerabat maupun kenalan mendiang menyampaikan belasungkawa juga bisa dibilang tidak terlalu berbeda dengan tradisi yang sudah kita ketahui. Datang berkunjung di rumah duka menggunakan pakaian berkabung, membicarakan hal-hal yang baik mengenai mendiang, mengikhlaskan kematian mendiang, dan tidak menyinggung hal buruk yang berpotensi melukai perasaan keluarga yang ditinggalkan.
Ilustrasi melawat (Sumber: Canva)
Ketika ada kabar kematian, seseorang akan dikabari sesuai dengan keterkaitan seseorang tersebut pada mendiang. Orang-orang yang tergolong keluarga inti, seperti orang tua, suami/istri, serta anak, tergolong dalam isshintou (一親等), atau kelompok satu. Kakek atau nenek, sepupu, serta cucu tergolong dalam nishintou (二親等) atau kelompok dua. Sedangkan kakek buyut, cicit, paman, bibi, keponakan tergolong dalam sanshintou (三親等) atau kelompok tiga. Semakin kecil angka dalam kelompok golongan, menandakan semakin dekat hubungan orang tersebut dengan mendiang, artinya dia pantas dikabari sesegera mungkin apabila ada kabar kematian. Menanggapi kabar kematian seseorang, kerabat atau rekan yang diberi kabar diharuskan mengucapkan Okuyami atau ungkapan duka mengenai kondisi kematian yang telah terjadi untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan.
ADVERTISEMENT
Tradisi pemakaman di Jepang sebagian besar menganut cara pemakaman dalam kepercayaan Buddha. Meski tidak dipungkiri beberapa masyarakat Jepang melaksanakan pemakaman dengan kepercayaan Kristen dan sebagainya. Pemakaman biasanya melibatkan biksu untuk mengantar roh ke alam akhirat dengan baik. Dengan prosesi yang lebih umum dikenal sebagai ritual Otsuya, Osougi, dan juga Obon.
1. Otsuya
Lebih umum dikenal dalam istilah bahasa Inggris sebagai ‘wake’ atau kegiatan terjaga semalaman di satu malam terakhir sebelum jenazah mendiang keluarga dikremasi. Otsuya berasal dari kanji ‘通’ yang berarti menyebrang, serta kanji ‘夜’ yang berarti malam, dan secara harfiah bisa diartikan terjaga sepanjang malam untuk menghabiskan waktu-waktu terakhir bersama jenazah mendiang. Dewasa ini, Otsuya tidak lagi dilakukan semalaman karena beberapa kendala personal keluarga. Kondisi beberapa anggota keluarga yang tidak memungkinkan untuk terjaga semalaman membuat ritual Otsuya hanya dilakukan sekitar 2-3 jam sebelum diakhiri. Selama Otsuya, rumah duka akan diberi gantungan bambu di bagian belakang pintu masuk yang bertuliskan hari peringatan kematian. Keterlibatan biksu juga dibutuhkan untuk memberikan gelar atau nama-nama baik pada mendiang sesuai dengan aturan Buddha, yang biasa dikenal dengan kaimyou (戒名).
Sumber: Canva
2. Osougi
ADVERTISEMENT
Osougi adalah ritual yang dilaksanakan sebelum jenazah dikremasi. Osougi merupakan kesempatan bagi kerabat, rekan kerja, dan kenalan untuk datang ke rumah duka guna menyampaikan ucapan duka atau Okuyami secara langsung pada keluarga yang ditinggalkan, lalu membakar dupa. Normalnya, biaya pemakaman di Jepang dapat menghabiskan hingga 2,3 juta yen atau setara 251 juta rupiah. Harga yang tiap tahun naik ini disebabkan oleh tingginya harga yang dipatok oleh vendor yang mengurus pemakaman di Jepang. Pada saat Osougi, pelawat diminta untuk membawa koden atau uang duka. Nominal uang koden tidak memiliki patokan minimal atau maksimal, seorang pelawat bisa saja memberikan hanya satu yen dalam amplop khusus koden dan mengikuti Osougi dengan biasa. Namun, pelawat yang datang tentunya memiliki kesadaran tersendiri mengenai jumlah uang yang sepantasnya diberikan untuk menunjukkan tanda berduka, serta untuk membantu keluarga yang ditinggalkan supaya tidak terlalu terbebani mengurus biaya pemakaman, mengingat harga yang telah disebutkan di awal. Sehingga kemudian, didapati rata-rata uang koden yang berjumlah kisaran 5.000 yen sampai 30.000 yen setiap kali seorang pelawat memberikan amplop koden. Amplop koden ini merupakan amplop khusus dengan warna-warna monokrom seperti hitam dan putih dengan isi yang dibuat khusus untuk acara duka. Amplop koden tidak boleh mengandung warna selain warna monokrom, apalagi merah, karena merah sering kali dikaitkan dengan perayaan atau selebrasi. Selain itu, pelawat juga diminta untuk datang mengenakan pakaian duka dan mengurangi memakai perhiasan atau aksesori. Setelah prosesi Osougi berlalu, maka berikutnya adalah proses kremasi. Biasanya, hanya keluarga, kerabat dekat dan orang-orang yang diundang saja yang dapat menghadiri proses kremasi. Tidak sembarang pelawat diizinkan mengikuti proses kremasi, kecuali yang telah meminta izin terlebih dahulu.
Ilustrasi amplop koden (Sumber: Canva)
3. Obon
ADVERTISEMENT
Obon merupakan festival tradisional dan bukan merupakan hari libur. Tetapi pada masa Obon biasanya diberikan waktu cuti hingga 5-7 hari yang dikenal sebagai pekan Obon. Obon dilaksanakan dengan tujuan memperingati kematian anggota keluarga serta leluhur, dan biasanya dikenal sebagai Kijitsu (hari peringatan). Obon sendiri dilaksanakan pada periode di antara 13-15 Agustus mengikuti bulan ketujuh kalender Lunar. Akan tetapi, akibat perubahan perhitungan kalender, sebagian daerah di Jepang memperingati Obon di bulan Juli berdasarkan perhitungan kalender daerah mereka sendiri, meski mayoritas masih memperingati di bulan Agustus. Hal-hal yang biasanya dilakukan selama Obon adalah pergi ke makam dan membersihkan makam mendiang, leluhur sambil menceritakan kabar. Festival Obon biasanya meliputi kegiatan tari-tarian yang disebut sebagai Bon Odori.
Ilustrasi festival Obon (Sumber: Canva)
Ciri khas lain dari Obon adalah konsumsi sayur-sayuran tiga kali sehari sebagai bentuk persembahan hidup sehat pada roh leluhur yang singgah. Urut-urutan Obon adalah, prosesi memanggil roh di hari pertama (13 Agustus), festival dan Bon Odori di hari kedua (14 Agustus), dan yang terakhir, adalah mengantar roh kembali ke alam akhirat di hari terakhir (15 Agustus). Kegiatan di hari pertama Obon meliputi pemasangan lentera di sekitar area rumah atau di pintu masuk untuk memandu roh. Kegiatan di hari kedua adalah berkunjung ke kuil untuk memanjatkan doa atau mengundang biksu datang ke rumah, menceritakan hal-hal baik mengenai mendiang serta menyajikan makanan vegetarian. Sedangkan kegiatan di hari terakhir, adalah menyalakan api unggun untuk memandu roh leluhur kembali ke alam akhirat. Di beberapa daerah, dilakukan Toro Nagashi, yakni menyalakan lentera dan membiarkannya mengalir di sungai.
Ilustrasi Toro Nagashi (Sumber: Canva)
Peringatan kematian di Jepang bisa digolongkan sebagai peringatan kematian yang unik, karena tidak hanya diperingati keluarga yang ditinggalkan, tetapi diperingati sebagai bentuk hari libur nasional, yang artinya, seluruh bagian negara beramai-ramai melakukan peringatan kepergian orang-orang yang mereka sayangi dalam kegiatan ritual dan tari-tarian, guna menyambut dan mengantar kepergian roh-roh yang datang singgah.
ADVERTISEMENT